Selasa, Maret 19, 2024
HomeCurhatLebaran di Rumah Sakit? Siapa Takut!

Lebaran di Rumah Sakit? Siapa Takut!

on

Apakabar hari ini? Semoga kalian dan keluarga selalu dalam keadaan sehat, ya!

Menyambung cerita sebelumnya yang berjudul Pengalaman Sakit di Bulan Ramadhan, dalam postingan kali ini gue ingin membagikan pengalaman gue ketika merayakan lebaran di rumah sakit. Begini ceritanya…

Gue kira, gue bisa merayakan lebaran dengan tenang karena sudah tidak diare dan demam lagi. RUPANYA TIDAK SEMUDAH ITU. Sakit di minggu terakhir puasa itu hanya permulaannya saja. Karena sakit yang sesungguhnya baru muncul di hari lebaran.

Pada lebaran tahun ini gue sama sekali tidak pulang ke kampung karena tidak ingin membawa virus atau penyakit ke rumah. Karena enggak pulang, di hari lebaran, gue merayakannya sendirian di kamar.

Beruntungnya, nafsu makan gue saat itu sudah membaik, jadi gue bisa makan biskuit kaleng yang sudah gue beli seminggu sebelumnya.

Di malam lebaran pertama, karena enggak ada makanan, gue mencoba cari makan di depan. Mencoba menemukan penjual bakso atau makanan berkuah lainnya karena malam itu udara terasa sangat dingin.

Akhirnya gue menemukan warung bakso yang buka. Setelah mendapatkan bakso yang gue inginkan, gue segera pulang dan makan di kos.

Satu jam setelah makan, gue segera bersiap untuk tidur. Sebenarnya saat itu kaki gue sudah mulai terasa berat. Ketika gejala itu muncul, firasat gue mulai nggak enak, mengingat sebelumnya gue pernah merasakan ini.

Tapi, gue mencoba untuk berpikir positif dan mencoba menempelkan koyo ke betis dan paha. “Paling juga karena pegel.”

Lalu, gue pun tidur. Yang gue syukuri ketika sedang sakit adalah gue bisa tidur cepat. Di mana itu tidak bisa gue lakukan ketika sedang sehat. Mungkin terdengar aneh, tapi selalu ada hikmah di setiap kejadian kan?

Tengah malamnya, gue terbangun karena kebelet pipis. Gue melirik jam yang ada di meja, rupanya baru jam 1 dinihari. Gue berjalan ke toilet dengan bersusah payah karena kedua kaki gue terasa lebih berat dibanding sebelumnya.

Untungnya, gue bisa kembali ke tempat tidur dengan selamat. Gue pun melanjutkan tidur. Berharap paginya kaki gue bisa segera membaik.

Jam 3 dinihari gue kembali terbangun karena kebelet pipis. Kali ini, perasaan gue sudah kacau karena gue kesulitan untuk bangkit dari tempat tidur. Kedua tangan gue pun terasa kaku. Dalam keadaan seperti itu gue tetap berusaha bangkit karena gue enggak mau kasur ini basah karena pipis.

Saat hendak cebok, tiba-tiba badan gue jatuh. Untungnya gue sempat berpegangan ke dinding. Saat berjalan ke kamar, lagi-lagi badan gue jatuh. Untungnya gue sempat menahan badan gue dengan berpegangan ke dinding.

Pukul 3 dinihari itu juga, gue langsung nelpon bokap. Menceritakan kejadian yang gue alami barusan. Awalnya gue ragu untuk nelpon ke rumah karena ketika itu sedang pukul 3 dinihari. Tapi, karena situasinya darurat, gue tetap menelpon ke rumah dan untungnya 30 menit setelah gue nelpon, bokap nelpon balik.

“Yah, nanti tolong telpon paman, ya? Kaki abang lagi kambuh, tangan abang juga lemes. Abang perlu ke rumah sakit.” kata gue, memberitahu kondisi gue saat itu.

Paginya, paman gue tiba di kos sekitar jam 9 pagi. Saat itu gue langsung merasa lega karena ada yang jagain. “Kayaknya Reza harus ke IGD,” kata gue, ke paman.

“Kalau bisa jangan dulu. Biar paman dulu yang urus Reza. Nanti, kalau rasanya memang perlu ke rumah sakit, baru kita ke rumah sakit.”

Mendengar sarannya paman, jujur gue merasa bimbang. Satu sisi gue kesal karena merasa seperti dihalangin, tapi paman ada benarnya juga, karena di situasi pandemi seperti ini sangat riskan untuk mengunjungi fasilitas kesehatan. Di lain sisi, kondisi gue ketika itu harus mendapat pertolongan medis.

Gue pun mengikuti saran paman. Tapi dengan syarat jika jam 1 siang nanti kondisi gue tidak segera membaik, maka siang itu gue harus dibawa ke rumah sakit. Paman pun setuju dan kami bersepakat untuk memakai cara itu.

Usaha yang gue lakukan untuk memulihkan kondisi kaki gue yang lemas adalah dengan menyantap buah pisang yang dibawakan paman. Pisang adalah salah satu buah yang dapat membantu gue untuk pulih dari penyakit gue yang sedang kambuh ini.

Makan pisang yang dibawa paman
Makan pisang
Photo by: Alexandr Podvalny from Pexels

Buat yang belum tau, dulu, ketika kelas 3 SMA, gue pernah mengalami kejadian seperti ini dan ketika itu gue sampai di rawat di rumah sakit karena kondisinya memang sangat membutuhkan pertolongan medis. Dokter di rumah sakit itu menyarankan gue untuk makan pisang yang banyak karena pisang memiliki kandungan Kalium yang tinggi.

“Jadi kamu sedang mengalami hipokalemia atau kekurangan kadar kalium di dalam tubuh. Karena kalium kamu rendah, jadi kamu harus banyak makan pisang biar kakinya nggak lemes.”

Maka dari itu, setiap kali gue merasakan tanda atau gejala kaki lemas, biasanya gue akan segera membeli pisang.

Tapi lain cerita, ketika gue dirawat oleh paman, situasinya sedang dalam suasana lebaran dan banyak penjual makanan dan toko buah yang tutup. Karena penjual buah di dekat kos gue pada tutup, gue pun tidak bisa konsumsi pisang sehingga akhirnya kaki gue benar-benar lemas dan kondisinya jadi darurat.

Setelah memakan beberapa pisang, kaki dan tangan gue masih belum membaik. Pipis gue pun terpaksa ditampung menggunakan bekas botol minum dan setiap kali selesai pipis paman gue akan membuangnya ke toilet. Melihat paman seperti itu, jujur gue merasa nggak enak dan gue semakin yakin untuk dirawat di rumah sakit.

“Nanti, selesai sholat jumat, tolong antar Reza ke rumah sakit, ya, paman?”

Paman mengangguk, setuju dengan keputusan gue itu.

Gue langsung mengecek ketersediaan kamar di rumah sakit yang ingin gue tuju. Beruntunglah, ketersediaan kamar kelas I di rumah sakit yang akan gue tuju masih cukup banyak dan gue yakin, sesampainya di rumah sakit gue bisa segera mendapat pertolongan.

Meskipun diberi pertolongan medis, gue yakin, ada prosedur khusus yang harus dipenuhi untuk dapat dirawat inap di rumah sakit tersebut. Sebab, di masa pandemi seperti sekarang ini, nggak mungkin gue bisa mendapat kamar pasien biasa jika prosedur tersebut tidak terpenuhi.

Apapun prosedur yang berlaku, akan gue ikuti jika memang begitu aturannya, pikir gue. Berhubung ini pengalaman pertama gue dirawat di rumah sakit di Jakarta, dalam suasana lebaran, gue langsung menyemangati diri, lebaran di rumah sakit? Siapa takut! batin gue.

Siangnya, selepas sholat jumat, paman langsung menyiapkan barang-barang yang perlu dibawa ke rumah sakit. Dimulai dari baju, celana dalam, celana pendek, charger, dan juga sikat gigi. Setelah persiapan selesai, paman langsung menggendong dan menaikkan gue ke motor.

Setibanya di rumah sakit, gue langsung mengarahkan paman untuk berhenti di IGD agar paman tidak perlu membopong gue dari tempat parkir sampai ke IGD. “Tolong kursi rodanya, mas, saya nggak bisa jalan.” kata gue kepada petugas yang bersiaga di depan ruang IGD.

Petugas IGD dengan sigap langsung mengambil kursi roda, lalu memindahkan gue ke kursi roda yang sudah dia siapkan. “Paman parkir dulu aja,” kata gue, sesaat akan dibawa masuk ke ruang IGD.

Naik kursi roda
Naik kursi roda
Photo by: cottonbro from Pexels

Di ruang IGD, perawat langsung melakukan pemeriksaan dan menanyakan kondisi gue. “Sepertinya saya kena Hipokalemia, mas.” Kata gue ke perawat yang sedang mengukur tekanan darah gue.

“Sebelumnya pernah dirawat di sini?” tanyanya.

“Belum. Tapi dulu, waktu SMA, saya pernah seperti ini dan akhirnya dirawat. Kata dokter yang menangani saya, saat itu saya kena Hipokalemia.”

“Sebelumnya sempat diare atau muntah?”

“Iya, tiga hari yang lalu saya sempat mengalami diare hebat. Saat itu saya sampai bolak-balik ke toilet sebanyak 10x dalam sehari. Lalu, saking lemasnya, saya sempat minta diinfus di klinik tempat saya berobat.”

“Baik. Mas bersedia untuk di swab, kan?” tanya petugas medis itu.

“Ya, saya bersedia.”

Setelah pemeriksaan dan wawancara singkat, gue langsung dibawa masuk ke dalam ruang IGD dan harus menunggu sampai ada ranjang yang kosong. Wajar saja, saat itu IGD sedang ramai dan ranjangnya sudah terisi penuh sehingga gue harus menunggu giliran.

Satu jam menunggu di dalam ruang IGD, akhirnya ada satu ranjang kosong yang bisa gue tempati. “Keluarganya di mana, mas?” tanya perawat laki-laki yang sedang menangani gue.

“Lagi ngurus pendaftaran. Mungkin sebentar lagi datang ke sini,” jawab gue.

Perawat itu menganggukkan kepalanya sebagai tanda mengerti. Melihat dia akan segera memasangkan infus, gue langsung menyampaikan permintaan. “Mas, bisa bantu saya ke toilet?” tanya gue. “Saya udah kebelet.”

“Kamu itu harus bedrest. Kamu nggak boleh bangun dari tempat tidur karena kaki kamu lemes. Karena kamu akan bedrest, jadi kamu mau dipasangin selang pipis (kateter) atau mau dipakaikan popok?” tanyanya.

Berhubung pilihannya cuma dua, jadi gue memilih untuk dipasangkan popok.

“Kalau begitu, pipisnya ditahan dulu, ya. Kita tunggu keluarga kamu.” Kata perawat tersebut. Saat mengatakan itu, jujur, gue sempat mengira bahwa perawat itu akan meninggalkan gue terbaring di ranjang. Rupanya tidak. Perawat itu tetap melakukan tugasnya: memberikan tindakan medis kepada gue.

Jarum suntik berukuran panjang itu diarahkan ke lengan gue. “Ini akan sakit sedikit. Jadi, tahan dulu, ya.”

“Ah, santai aja, mas. Saya udah biasa di-“

Jarum suntik itu berhasil masuk ke tubuh gue. Awalnya nggak sakit. Namun, rasa sakitnya menjadi nyata ketika perawat itu menggerakan jarum suntiknya ke kiri dan ke kanan.

Saat itu rasanya gue ingin menjerit saja. Rasanya sungguh perih ketika jarum itu menari di dalam tubuh gue. Tapi apa daya, ini ruang IGD. Ada banyak sekali pasien yang sedang kesakitan dan istirahat. Gue tidak mau memperburuk suasana ruangan ini dengan pekikkan gue.

Jadilah, gue berusaha menahan rasa sakit itu dengan menutup bibir gue dengan rapat.

Setelah darah gue diambil, lalu perawat itu memasangkan selang infus. Setelah dipasangi infus, paman gue datang. “Pak, ini anaknya harus istirahat total, nggak boleh turun dari tempat tidur dulu. Karena anaknya nggak mau dipasangin selang pipis, jadi anaknya minta dibeliin popok”

“Popoknya beli di mana?”

“Di minimarket ada, kok. Nanti cari aja popok untuk orang dewasa” kata perawat yang melayani gue itu.

Setelah ngobrol dengan perawat itu, paman gue pergi lagi untuk membeli popok di depan. Saat paman gue pergi, datang dua orang perawat yang menghampiri gue. “Mas Reza, ya?” tanya perawat itu, memastikan.

“Iya, betul,” jawab gue.

“Tanggal lahirnya?”

Gue langsung menyebutkan tanggal lahir gue. Setelah memastikan tanggal lahir, perawat itu mengeluarkan sesuatu dari plastik yang terbungkus rapat. “Masnya diswab dulu, ya. Tolong lepas maskernya sebentar mas,” kata perawat itu, meminta izin.

Setelah melepaskan masker, perawat itu langsung mencolok hidung gue. Ketika alat itu masuk ke hidung, gue langsung terbatuk dan hidung gue terasa pedas. Ya, itu adalah kali pertamanya gue diswab. Satu hal yang gue sadari ketika diswab, rasanya tidak seperti yang orang-orang bilang.

Banyak yang mengatakan bahwa diswab itu sakit. Tapi, saat gue diswab, rasanya tidaklah sakit, yang terasa hanyalah pedas. Kira-kira rasanya seperti mencium aroma cabai yang sedang ditumis.

Setelah tes singkat itu, perawat memberitahu bahwa hasilnya akan keluar dalam 12 jam ke depan. “Hasilnya paling lambat esok siang. Kalau masnya negatif, mas akan kita pindahkan ke kamar kelas I.”

Ya, jujur gue merasa lega karena akhirnya mendapatkan penanganan medis.

Tak lama setelah diswab, dua orang petugas datang menghampiri ranjang gue. “Keluarganya di mana, mas?” tanya petugas itu.

“Lagi beli popok,” jawab gue.

“Oke, kita ke ruang radiologi dulu untuk di CT Scan ya, mas.”

Gue menggangguk sebagai tanda setuju. Dari ruang IGD, gue langsung dibawa ke bagian radiologi.

Selesai dari ruang radiologi, akhirnya paman gue tiba. Saat itu gue langsung merasa lega karena gue punya kesempatan untuk pipis. “Pasangnya di toilet aja, paman,” kata gue. Paman setuju, lalu memindahkan gue dari ranjang ke kursi roda dan membawa gue ke toilet di ruang IGD tersebut.

Ketika berada di dalam toilet, gue menyadari satu hal, bahwa memasangkan popok kepada pasien itu ternyata sulit. Apalagi dengan kondisi gue yang saat itu tidak mampu berdiri. Karena kondisi kaki gue yang seperti, mau nggak mau paman harus menopang badan gue supaya tidak jatuh ketika popoknya dipasang.

Sebenarnya gue merasa nggak enak, sebab paman sudah cukup berumur, ditambah harus menjaga badan gue agar tidak jatuh. Tugas ini terlalu berat untuknya. Yang membuat gue sedih adalah saat ia terpaksa harus membopong gue dari kamar hingga ke motor.

Tapi mau bagaimana lagi, kondisi gue yang sudah seperti ini membuat gue tidak punya pilihan selain pasrah.

Setelah berjuang dengan susah payah di toilet IGD, akhirnya popok itu terpasang dan gue bisa istirahat dengan tenang di ranjang.

Tengah malamnya, perawat datang membawa sebuah kabar gembira untuk gue. “Mas Reza, sebentar lagi mas akan dipindahkan ke ruang isolasi sementara sambil nungguin hasil swabnya tadi. Nanti waktu mas di ruang isolasi, masnya nggak bisa ditemani sama keluarga, ya.”

Kabar baik dari perawat
Kabar baik dari perawat
Photo by: RODNAE Productions from Pexels

Seketika gue terkejut dan langsung memotong pembicaraan, “serius nggak boleh nunggu? Saya kan nggak bisa gerak, terus, kalau saya butuh apa-apa, nanti saya minta bantuan siapa?” tanya gue, serius.

“Nanti ada perawat yang berjaga dan siap membantu.”

Masih nggak yakin, gue kembali bertanya ke perawat tersebut, “Beneran nggak boleh, mbak? Kalau nanti saya butuh ganti popok, siapa yang bantuin?”

Perawat itu tersenyum, “nanti perawat di sana yang akan menggatikan popoknya Mas Reza.”

Gue masih nggak percaya dengan kata-kata perawat itu. Tapi mau bagaimana lagi, kalau gue menolak dipindahkan ke ruang isolasi sementara, yang ada, gue nggak bisa istirahat dengan tenang karena di IGD sendiri keluarga tidak diperbolehkan menjaga pasien saat sudah tengah malam.

“Nah, nanti, kalau hasil swabnya mas negatif, mas akan dipindahkan ke ruangan kelas 1. Di ruangan itu nanti keluarganya boleh jagain,” lanjut perawat itu. “Tapi, sebelum itu, keluarga mas harus di swab dulu. Kalau hasilnya negative juga, barulah keluarganya diperbolehkan untuk jagain masnya.”

Gue seperti menemukan secercah harapan. Karena masih ada yang mengganjal, gue pun pertanyaan, “semisal keluarga yang diswab ternyata positif gimana, mbak?”

“Nanti keluarganya akan dirujuk ke puskesmas untuk mendapatkan obat”

Seketika gue jadi memikirkan berapa biaya yang harus gue siapkan untuk swabnya paman dan abang sepupu gue seandainya salah satu dari mereka positif. “Oh, tenang, mas. Nanti keluarganya nggak perlu bayar swabnya, kok. Karena di sini sudah disediain jatah untuk yang jagain pasien.”

Mendengarnya kabar tersebut gue merasa lega.

“Semoga hasilnya negative ya, mas.”

“Makasih mbak,” balas gue.

Tak lama setelah perawat itu pergi, datanglah dua orang perawat dengan sebuah ranjang kosong yang cukup lebar. “Permisi, Mas Reza ya?” tanya salah satu perawat itu.

“Iya.”

“Masnya akan kita pindahkan ke ruang isolasi, ya.”

“Oke.”

Pada malam itu, gue dipindahkan ke ruang isolasi sementara. Malam itu gue tidak bisa tidur dengan nyenyak karena gue mengkhawatirkan hasil swabnya.

Itu lah cerita ketika gue dilarikan ke IGD di masa pandemi. Menurut gue, suasana IGD ketika masa normal dan pandemi itu sama saja, yang membedakan adalah adanya prosedur tambahan seperti swab untuk pasien yang membutuhkan rawat inap.

Dipostingan selanjutnya, gue akan menceritakan pengalaman gue ketika diruang isolasi dan juga saat dirawat inap.

Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

4 KOMENTAR

  1. Rasa-rasanya ga di blog, ga di twitter, bahasan lu sering menyoal penyakit ya za. Semoga ga lagi-lagi dah, alhamdulillah 2 tahun ini gw bebas opname sih. Tapi udah 4 tahun ini juga lebaran ga balik rumah, yang penting duitnya udah nyampe rumah haha.

    • HAHAHA itu kebetulan aja gue lagi masuk rumah sakit, jadi gue ceritain aja gimana rasanya lebaran di rumah sakit pas lagi pandemi gini hehe. Iya, semoga aja kemarin itu yang terakhir kalinya gue dirawat.
      Wah, serius lu nggak pulang 4 kali lebaran? Wohiya dong, yang penting kiriman buat orangtua tetep nyampai ya

  2. Duuuuh mas Reza, itu suntiknya bukan suntik biasa berarti yaaa, Krn hrs digerakin kiri kanan -_-. Aku ngiluuuu bacanya :(.

    Anyw, aku JD tahu ttg penyakit ini. Tapi seharusnya skr mas udh pulih yaaa :). Kebayang sih kalo hrs opnam di masa pandemi ini masalahnya :(. Dan memang aturannya jadi ribet. Tapi gimana lagi, buat kebaikan semua. Sehat2 mas Reza

    • Iya mbak, bukan yang biasanya. Aku karena udah biasa disuntik, jadi aku ngelihatin banget prosesnya. Tapi memang sakit banget sih, kerasa banget di dalamnya.
      Alhamdulillah, sekarang sudah pulih dan bisa beraktivitas seperti biasa. Iya, aturannya jadi ribet banget karena situasinya berbeda. Bahkan ibuku aja nggak diperbolehkan masuk waktu itu karena udah ada sepupu yang jagain. Sebenarnya bisa, tapi ibu harus antigen dulu. Untungnya pas ibu dateng, akunya sudah dibolehkan pulang :D Aamiin, makasih mbak. Semoga mbak sekeluarga juga sehat ya!

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca