Jumat, Maret 29, 2024
HomeDaily LifeMelepas Penat di Kota Jogja

Melepas Penat di Kota Jogja

on

Holaa~ Kemarin gue sempat bahas rencana liburan natal dan tahun baru di mana. Yup, gue pilih Jogja sebagai tempat untuk menghabiskan malam tahun baru. Melepas Penat di Kota Jogja sepertinya asik. Apalagi semester ini tugas kuliah makin banyak. Materinya makin berat. Gue perlu piknik selama beberapa hari; atau mungkin minggu sarat menghadapi UAS. Tentunya gue enggak sendiri, apalagi bersama pasangan. Ehm, masih available, nih. Hoho.

Oke, fokus.

Gue di Jogja bareng nyokap dan adik perempuan gue yang baru kelas satu SMP. Kenapa pilih Jogja? Karena gue belum pernah ke sana. Boleh dibilang ini kali pertama gue ke Jogja. Penasaran, gimana sih Kota Jogja itu. Selama ini kan cuma bisa lihat di layar kaca. Hoho. Postingan ini merupakan kelanjutan dari postingan sebelumnya. Dapat kalian baca dengan mengklik tautan berikut ini.

Lalu apa aja yang gue lakukan selama liburan di Jogja?

Hari kedua gue di ajak jalan melihat Kota Jogja bersama abang sepupu. “Mau ke mana, Za?” tanyanya saat di atas motor.

“Terserah, bang, yang penting tempatnya asik buat nongkrong dan ada banyak yang jual makanan.”

“Gimana kalau Malioboro?” ia memberi saran.

“Boleh, tuh.”

Sehabis mengisi perut di sebuah warung makan kami langsung tancap gas menuju Malioboro. Totalnya ada 4 motor. Setiap motor ditumpangi 2 orang. Untungnya Malioboro nggak jauh dari rumah om Anton. Kebetulan sudah lewat tengah malam saat kami hendak menuju ke sana yang artinya suasana Malioboro nggak seramai jam sepuluh ke bawah.

Kami berhenti dan parkir tak jauh dari sebuah gang. Mencari angkringan dan sejenisnya. Yang penting bisa bertukar cerita. Biasalah, namanya juga anak bujang. Kami memesan makanan dan minuman. Gue mengambil beberapa biji bakwan dan tahu yang baru mateng.

Kami bercerita soal kampung halaman. Bercerita soal perbandingan gaya hidup di Jogja dan Jakarta, asmara dan lain-lain. Tentunya dalam bahasa Minang. Menyesap kopi, mengebulkan asap. Malam terasa cepat. Waktu menunjukkan pukul empat pagi.

Sesampainya di rumah Om Anton gue diberi dua pilihan. Menginap di sini atau pulang bareng Om Budi dan nyokap. “Abang tinggal aja ya, Nak.” Kata nyokap.

“Abang nggak bawa charger, ma.” Kata gue.

“Di sini banyak charger, kok.” Kata om gue.

Setelah diskusi yang cukup memakan waktu—sebenarnya gara-gara campur tangan nyokap yang bikin diskusi jadi lama—gue pulang dan tidur di tempat Om Budi.

Hari ketiga di Jogja. Kami di ajak pergi ke sebuah kolam renang tak jauh dari sana. Untuk biaya masuknya dikenakan lima belas ribu perkepala. Baik yang renang, maupun yang enggak. Gue sendiri memilih untuk jagain barang bawaan saat yang lainnya sedang main air. Juga sebagai juru foto mereka.

Ceritanya lagi jadi tukang foto
doc. pribadi

Karena sudah janji, malam ketiga gue menginap di rumah Om Anton saat nyokap ingin menginap di rumah Om Doni. Sebetulnya karena kemarin udah janji makanya malam ketiga gue nggak bisa ikut nyokap untuk nginap di rumah Om Doni. Kami berpencar.

Gue di jemput sama salah satu abang sepupu. Bang Feri namanya. “Reza pengin makanan khas Jawa, bang.” Kata gue, sok ide. “Abang tau nggak tempat makan yang enak di mana? Reza bosen makan masakan Padang mulu.”

“Tau. Tapi menurut abang kurang. Nggak tau kalau menurut Reza.” Jawab dia. “Memang kenapa Reza mau makan Gudeg? Suka?”

“Bukan. Reza lagi pengin nyoba aja. Soalnya Reza nanti mau nikah sama orang Jawa, Bang.”

“Serius, Za?” Bang Feri terkejut saat dengar pernyataan gue.

“Nggak tau, deh,” kata gue, ragu. “Mungkin iya, mungkin juga engga.”

“tenang aja. Banyak cewek di sana. Tinggal pilih.”

Setelah belok sana-belok sini, motor yang kami tumpangi berhenti di Alun-alun Yogyakarta. Waktu itu sudah hampir pukul 12 malam. “Mau naik ini, Za?” tanya Bang Feri, nunjuk mobil-mobilan yang di kayuh. Awalnya gue menolak dengan alasan nggak enak kalau gue sendiri yang menikmati. Tapi Bang Feri memaksa dan terjadilah aksi tawar menawar.

“Dua puluh lima ribu, bang.” Kata Bang Feri, nawar.

“Nggak bisa, Mas. Seratus ribu.” Kata si pemilik. “Sama mas aja saya kasih lima puluh ribu.”

“Tiga puluh ribu deh kalau gitu.”

“Nggak bisa, mas.”

“Yaudah. Yok, kita pergi, Za.”

Gue sama Bang Feri berjalan menjauh dari tempat tersebut. Lalu tiba-tiba si pemilik mobil tersebut memanggil kami dari kejauhan. “Mas! Mas!” katanya dari kejauhan. Gue sama Bang Feri balik ke tempat tadi. “Empat puluh ribu, deh.” Kata si pemilik mobil tersebut. “Soalnya akinya mau di ganti yang baru biar lebih terang.”

“Tiga puluh ribu atau nggak sama sekali?” tawar bang Feri. Akhirnya mas tersebut menyerah dan menyetujui tawaran Bang Feri. Kami tersenyum puas, senyum penuh kemenangan. Seperti ucapan pemiliknya tadi, akinya langsung di ganti saat itu juga.

Akhirnya Bang Feri mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan membayarnya. Seperti perjanjian sebelumnya, mas tersebut mengembalikan selembar uang dua puluh ribu. Selanjutnya kami memacu mobil besi yang di kayuh dengan pedal sepeda tersebut. Membawanya keliling alun-alun Kota Jogja.

Puas keliling, kami mencari makan. Masih di alun-alun Jogja. Ada beberapa hidangan dan minuman yang terdengar asing buat gue. Seperti Ronde susu, wedang ronde. Sementara untuk makanannya ada nasi puyuh, mi jawa, dan masih banyak lagi yang gue nggak begitu hafal.

“Nasi puyuh ini apa, bang? Nasi pake burung puyuh, gitu?” tanya gue.

“Kayaknya iya. Abang coba tanya sama ibunya, ya.”

Si pemilik warung menjawab dengan bahasa Jawa. Gue sama sekali nggak ngerti. Bang Feri juga. Padahal, kami berdua berbicara dengan Bahasa Indonesia. Sementara si ibu, tetap berbahasa Jawa. Dia mengembalikan kertas tersebut pada kami.

“Mungkin maksud ibunya tadi nggak ada, bang?”

“Mungkin. Coba ganti aja.”

Gue ganti dengan Mi Jawa, sementara Bang Feri mengganti pesanannya dengan nasi goreng. Sepuluh menit menunggu, ibu itu kembali menatap kami. Berbicara dalam Bahasa Jawa. “Gimana, Bang? Reza nggak ngerti ibunya ngomong apa?”

“Kita pindah aja, yuk? Abang juga nggak ngerti ibunya ngomong apa.”

Kami berdua pindah. Mencari tempat lain. “Mau pesan apa, mas?” kata bapak pemilik warung makan pinggir jalan sembari menyerahkan daftar menu. Gue menulis pesanan lalu menyerahkan sama si bapak. Tak lama setelah itu si pemilik tempat makan mengantarkan minuman yang kami pesan.

Di tempat yang baru, kami mengalami nasib yang sama. Bedanya, bapak si pemilik warung berbicara dalam Bahasa Indonesia. “Maaf, mas. Mi Jawanya habis. Adanya mi instan, gimana?” tawarnya.

“Yaudah. Saya bayar minumnya aja ya, pak.” Kata gue. Buru-buru menghabiskan minuman yang di pesan.”

Kami pergi meninggalkan tempat makan pinggir jalan di Alun-alun Yogyakarta dalam keadaan kembung karena banyak minum. Lalu kendaraan roda dua yang kami tumpangi berhenti di sebuah rumah makan padang. “Ujung-ujungnya makanan Padang,” gue membatin. Kecewa karena keinginan gue belum terpenuhi. Gue lagi males makan masakan Padang, eh, dibawanya ke rumah makan padang juga. Apes.

Hari berikutnya gue di ajak jalan lagi. Seperti biasa, puncak perjalanan kami selalu diakhiri dengan nongkrong di Malioboro. Memesan minuman, bertukar pikiran lalu sedikit belajar ilmu dagang. Gue sebagai orang Padang merasa malu karena nggak menguasai skill yang satu ini. Gue merasa gagal sebagai orang Minang.

Hari kelima gue pergi menemani om ke Pasar. Bukan, bukan pasar yang becek dan menjual berbagai jenis sayur dan kebutuhan dapur. Pasarnya sedikit modern. Bisa dibilang Tanah Abangnya Jogjakarta tapi versi mini karena pasarnya nggak begitu gede. Ada yang jualan baju, tas, sepatu, jam tangan, kebutuhan motor (helm, knalpot, dll). Namanya Pasar Pakuncen. Awalnya gue cuma lihat-lihat aja karena belum mengerti konsep berjualan yang baik itu kayak gimana.

Di Pasar Pakuncen, nih.
doc. pribadi

Oiya, di pasar ini om gue jualan jam. Mungkin bisa dibilang grosir karena jumlah jam tangan yang di jual cukup banyak. Pulangnya gue agak kaget. Ternyata tante gue nonton salah satu drakor yang belakangan ini sedang naik daun. While You Were Sleeping. “Tante nonton juga?” tanya gue.

“Iya, dong. Tante suka nonton film kroya.” Jawab tante gue.

“Sama dong! Reza juga!”

Kemudian terjadilah diskusi soal Film Korea. Gue menceritakan berbagai film yang menurut gue bagus dan udah gue tonton sampe habis; begitu juga tante gue. Dan dari situ gue dapet dua judul film yang menurut sepertinya bagus berserta dengan filenya. Yang satu judulnya Suspicious Partner; udah gue tonton dan menurut gue bagus. Sementara yang satunya lagi Hospital Ship; belum gue tonton karena gue belum ngabisin Suspicious Partner.

Gue kira nggak ada salahnya jadi penikmat film korea. Malah gara-gara itu, temen gue bertambah. Gue rasa hal itu juga berlaku untuk Kpop dan lain-lain.

Hari keenam. Nyokap gue ngajak belanja sekaligus melihat-lihat Malioboro. Gue tolak karena gue tahu bakal gimana jadinya kalau jalan bareng nyokap: kaki pegel-pegel. Lagipula untuk ukuran wisatawan, gue udah “cukup sering” diajak ke Malioboro. Nongkrong dengan abang sepupu.

“Reza nggak ikut mama?” tanya tante gue.

“Enggak, tante. Katanya mama mau belanja di Malioboro.”

“Lho, mama tadi bilang mau ke pasar (tempat om gue berjualan jam).”

“Oya? Tau gitu Reza ikut tadi.” Kata gue. “Yaudah, Reza nyusul pake gojek aja deh.”

“Tau alamat sini, nggak?”

“Enggak, tante.” Kata gue.

“Yaudah, sini biar tante masukin alamatnya.”

Lalu gue nyerahin hape gue ke tante. Lekas bersiap. Sesampainya di pasar gue ketemu sama nyokap. Lagi ngobrol. Gue pergi ke tempat Om Budi. Di pasar ini gue mempraktikkan ilmu dagang yang telah gue pelajari melalui obrolan ngalor-ngidul kemarin malam. Ya… meski gue belum berhasil menjual banyak, paling enggak, tuh ilmu kepake juga. Ngahaha.

Malamnya, sehabis pulang dari pasar, kira-kira pukul 22.00, kami berangkat ke Malioboro untuk jemput nyokap. Dari pasar ke Malioboro gue menumpang motor Om Budi. Sementara itu abang-abang gue pada nurut dari belakang. Setelah sampai di Malioboro, gue dibonceng sama Bang Buyung. Nyokap nebeng dengan adiknya, Om Budi.

Malioboro saat pukul sepuluh. Masih terlihat ramai, yah.
doc. pribadi

Totalnya ada lima motor. Kami membelah kemacetan. Melewati beberapa tempat tersibuk di Kota Jogja. Lalu berhenti di sebuah tempat makan pinggir jalan. “Ini namanya Mi Terbang” kata Om Budi, mengenalkan tempat makan yang sedang kami singgahi.

Gue masih belum paham kenapa tempat makan seperti ini di sebut “mi terbang”. Sampai pesanan kami dihidangkan di atas meja. Oh, jadi ini toh alasan kenapa disebut mi terbang, gumam gue. Terkagum-kagum dengan proses penyajiannya. Oya, gue sempat mengabadikan aksi penyajian mi terbang tersebut dalam bentuk video.

Selain disuguhkan aksi yang cukup unik dan menarik, harga dan rasanya pun tak kalah menarik. Untuk satu porsi mi ayam harganya cuma 8.000 rupiah. Lalu untuk minumannya sendiri semua diberi harga 2.000 rupiah. Entah itu Es Teh Manis, Teh Manis (panas) mau pun es jeruk. Pokoknya untuk minuman serba dua ribu rupiah.

Kalau di Jakarta, mungkin harga mi ayam tersebut bisa di kisaran 20.000 – 40.000 rupiah. Setelah mengisi perut. Kami melanjutkan perjalanan.

Lalu pada hari-hari berikutnya gue hanya di rumah om. Mengerjakan tugas, baca buku dan nonton drakor. Sementara nyokap dan adik pergi jalan-jalan. Tau-tau udah tanggal 28 Desember. Waktunya pulang ke Jakarta. Yah, liburan di Jogjanya memang terasa singkat. Hanya delapan hari. Trus lu nggak ke mampir ke Candi gitu?

Belum. Karena Jogja saat libur tahun baru rame banget. Rasanya nggak mungkin untuk ke sana dengan naik mobil. Motor sih mungkin. Tapi risikonya pantat bisa tepos; kulit mutung terkena panas matahari. Jogja saat libur tahun baru seolah menyerupai Jakarta pada hari-hari biasa.

Tau gini mending ke Jogjanya pas libur semester ganjil nanti!, komentar gue yang lagi kesel karena macet. Toh, walaupun enggak bisa nengok Candi, paling enggak, libur kali ini gue dapet pengalaman dan ilmu baru: ilmu tawar-menawar dan dagang.

Bagaimana dengan kalian? Berbagi cerita di kolom komentar, yuk!

 

 

Contact

Facebook || Google+ || Instagram || Twitter ||

e-mail: [email protected]

Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

11 KOMENTAR

  1. Kalo ke jogja, aku slalu mampir ke oseng mercon yu narti :D. Pedesnya nampol byangettt hahahaha.. Tapi jogja mah, makanannya enak2 lah.. Kalo pagi coba sarapan ama soto kuah bening mereka mas. Isiannya bisa daging, ayam. Ya amppunnn segernya nikmatlah :D. Yg paling betah sih, hrg murah2 ya di sana..

    Tp memang kamu jgn prng pas peak. Alamat ga nyampe tempat wisata :D.

  2. Informasi yang sangat berguna dan bermutu.
    mari kita saling kenal jauh melalui jaringan website.

    semoga kita bisa saling berbagi ilmu yang tiada hentinya
    mengalir dalam dunia ini. Terima Kasih

  3. Jauh-jauh ke Jogja, makannya nasi padang. Padahal, di Jakarta juga banyak. Tapi lebih parah temen saya. Malah KFC mulu tuh yang di Malioboro. :(

    Hm, nongkrong di angkringan kagak cobain apa, Za? Asyik aja gitu makan ditemani iringan pengamen (yang betul-betul ngamen), kagak cuma sekadar cari duit. Wqwq.

    Saya justru bosen kalau ke Jogja candi-candi terus. Pengin ke hutan pinus, Goa Pindul, atau manalah yang selain candi. Ehe. Tapi ini baru pertama, kan? Selanjutnya bisalah cobain candi~ Prambanan sekaligus Ratu Boko. Apalagi pas senja. Mantap itu.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Reza Andrian
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca