Minggu, Desember 8, 2024
HomeCurhatLiburan yang Tidak Direncanakan

Liburan yang Tidak Direncanakan

on

Kalian libur tahun barunya ke mana? Ada yang liburannya di rumah aja? Ada yang liburannya bareng temen? Atau ada yang balik kampung karena mau ngerayain natal bareng keluarga?

Libur natal dan tahun baru kali ini gue pergi ke Jogja. Bersama nyokap dan adik. Ebuset, bertiga aja, tuh? Bokap lu ga ikut? Iyes. Bertiga aja dan bokap nggak bisa ikut karena sibuk kerja. Lagipula… ini perjalanan yang cukup mendadak; bahkan enggak ada dalam agenda. Untuk pertama kalinya, ini adalah liburan yang tidak direncanakan.

Bulan Oktober kemarin gue berencana menghabiskan libur dan malam tahun baru di Kota Bandung. Sendiri, bukan sama keluarga. Lagipula kalau bareng keluarga, gue males karena ke mana-mana jadi nggak bebas. Apalagi nginepnya di tempat keluarga. Mau pergi, ya, kudu laporan. Mau pulang larut malam nggak bisa karena nggak megang kunci. Bahkan nggak menutup kemungkinan bakal jadi bahan pergunjingan di keluarga besar. Tiba-tiba semua itu muncul di dalam kepala gue saat hendak merencanakan liburan ke Bandung dengan menginap di tempat keluarga.

Kalau sewa hotel terlalu mahal. Belum lagi biaya makan dan transportasi. Yang terpikirkan oleh gue saat itu adalah menyewa kamar penginapan selama beberapa hari. Mirip kos-kosan gitu, tapi perhari dan fasilitasnya utamanya adalah kasur dan listrik. Gapapa kumuh, gapapa kamar mandi luar, yang penting murah dan keamanannya terjamin: paling enggak penginapannya dekat sama kantor polisi.

Gue inget-inget lagi siapa yang ada di Bandung selain keluarga dan temen dari komunitas blogging. Ah, iya, gue baru inget. Kebetulan teman SMA gue dulu, Dewa, kuliah di Bandung.

Bukan sekedar temen, nyokap pernah bilang kalau gue dan Dewa masih ada hubungan saudara. Kayak sepupu gitu. “Kok mama nggak pernah bilang?” saat gue tahu kalau Dewa adalah saudara gue.

“Lagian Mama nggak tau kalau abang satu sekolah sama Dewa. Ini aja mama tahu karena tadi habis mampir ke rumah Dewa.”

Gue masih belum percaya kalau Dewa yang nyokap maksud itu betulan Dewa kawan satu kelas gue saat SMA. Lalu gue menyiapkan beberapa pertanyaan; layaknya polisi saat sedang menginterogasi terdakwa. Hebatnya, nyokap bisa menjawab semua pertanyaan yang gue berikan seperti: dia setinggi apa, rambutnya lurus atau sedikit keriting dan yang paling penting rumahnya di mana?

Setelah pertanyaan tersebut terjawab, gue nunjukin foto profil Dewa yang ada di akun Line dia. Iya! Ini anaknya! Kata nyokap. Itu berarti gue betul-betul punya hubungan saudara dengan Dewa.

Gue pun mengabari teman gue itu, kalau libur nanti gue mau ke sana. Menghabiskan malam tahun baru di Kota Bandung. “Datang aja, Za.” Katanya, dalam Bahasa Bengkulu—tentunya sudah gue terjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

“Kau idak balik ke Bengkulu, kan?” gue balas dengan Bahasa Bengkulu. Yang kalau diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi: kamu nggak pulang ke Bengkulu, kan?

“Nggak. Aku pulang ke Bengkulu habis UAS nanti, Za.”

“Di sana UAS-nya kapan?”

“Pertengahan Januari.”

“Sama!” kata gue. Ya, kampus gue memang agak nyantai dalam urusan ujian. Saat kampus lain UASnya bulan November akhir atau Desember awal, sementara kampus gue baru ujian pertengahan Januari 2018. Saat kampus lain sudah mulai libur panjang, kampus gue masih kuliah seperti biasanya. Sampai awal Desember gue belum juga pesan tiket perjalanan kereta Jakarta – Bandung. Bahkan gue masih bimbang ingin berangkat ke Bandung pada tanggal berapa.

Hari berganti, kalender meja menunjukkan tanggal 12 Desember. Satu pesan masuk. Dari nyokap. “Libur nanti ke Padang aja, Bang.” Gue langsung bangkit dari ranjang. Membacanya dengan hati-hati. Jangan-jangan cuma prank. Habisan nyokap suka nonton Youtube.

“Sama siapa?” gue nanya. “Sendiri?”

“Iya.”

“Boleh.” Gue balas dengan cepat.

“Tapi abang ke Bengkulu dulu. Nanti perginya sama Kak Deni.” Kata nyokap.

“Ribet. Mending abang langsung ke Padang aja.”

“Takutnya keluarga di Padang lupa wajah abang.”

Iya juga, ya, pikir gue. Terakhir kali gue ke Padang aja pas SMP kelas satu. Sekarang gue udah kuliah yang artinya udah enam tahun berlalu sejak terakhir kali gue ke Padang. “Yaudah. Tapi abang mulai libur tanggal 22 nanti.”

“Pas banget. Kak Deni pulang ke Padang tanggal 23. Abang bisa tidur semalam di Bengkulu.”

Percakapan tersebut berakhir dengan masuknya dana segar ke dalam rekening pribadi gue. Karena harga tiket saat itu sedang mahal, gue memutuskan untuk cek besoknya lagi. Siapa tau harganya turun. Esok harinya, gue ditelpon nyokap. Ah, paling-paling nanya tiketnya udah di pesan atau belum, gumam gue. “Halo, Ma?”

“Nggak usah ke Padang, bang.”

“LHOOOOO? APA INI?” gue membatin karena kesal.

“Kenapa?”

“Kita ke Bandung aja. Saudara Mama udah sewa villa di sana.”

Gue menimbang-nimbang, dengan enteng berucap, “oke.”

Percakapan tersebut cukup lama. Nyokap banyak bercerita soal rencana liburan sekaligus kumpul-kumpul sama keluarga besar. Rasanya udah lama juga gue nggak jumpa dengan keluarga nyokap yang tinggal dan menetap di Pulau Jawa. Lagian, masih banyak keluarga nyokap yang belum gue kenal. Untung tiketnya belum di pesan, gue membatin.

Tiga hari kemudian, gue di telpon lagi sama nyokap. Rencana libur dan kumpul-kumpul keluarga dibatalkan secara sepihak oleh nyokap. “Kita ke Jogja aja, Bang.” Kata nyokap di seberang.

“Lho, tapi keluarga Mama kan lagi pada ngumpul di Bandung?”

“Iya. Kita ke Jogja dulu, trus dari Jogja langsung ke Bandung. Nanti dari Bandung langsung ke Jakarta.”

“Yaudah kalau gitu. Tapi jangan gonta-ganti lagi, ya?”

“Iya.”

Tiket langsung gue pesan. Gue merelakan jatah absen yang hanya sedikit untuk memperpanjang masa liburan sambil berharap semua akan baik-baik saja. Maksudnya saat membolos dosen enggak lagi ngadain quiz atau kumpul tugas penting.

Hari pun tiba. Rabu, tanggal 20 Desember jam 19.15 gue berangkat ke Bandara dengan menumpang taksi online. Sebetulnya jadwal penerbangan yang tercantum di e-ticket pukul 22.05 malam. Tapi karena Jakarta sering macet, untuk jaga-jaga gue berangkat lebih awal dan tiba di Bandar Udara Internasional Halim Perdanakusuma pukul 20.48 WIB. Sebuah perjalanan yang tidak sebentar mengingat jarak dari tempat gue ke Bandara Halim di Jakarta Timur termasuk dekat. Bahkan dulu gue pernah berangkat dari kost ke Halim dan hanya memakan waktu lebih kurang sekitar 50 menit. Ya, waktu itu pas jam makan siang dan kebetulan sedang tidak libur panjang seperti sekarang ini.

Usai check-in dan duduk di ruang boarding, pukul 21.30 pihak maskapai mempersilakan para penumpang pesawat untuk bersiap. Sudah siap berangkat, katanya. Oya, penerbangan kali ini gue beruntung karena dapet tempat duduk persis di dekat jendela. Sebetulnya bisa minta ke pihak maskapai saat hendak check-in. Masalahnya saat giliran tiba gue suka lupa.

Pesawat lepas landas dan untuk pertama kalinya gue dibuat kagum oleh pemandangan Jakarta dari ketinggian entah berapa ribu kaki. Gemerlap Kota Jakarta sirna saat pesawat terus menambah ketinggian. Sialnya waktu itu gue nggak sempat mengambil gambarsaat pesawat yang gue naiki persis berada di langit Jakarta. “Lain kali harus ambil penerbangan malam!” gue membatin.

Seumur-umur gue belum pernah ambil penerbangan malam. Biasanya kalau nggak siang, ya, sore. Buat gue yang pertama kali ambil penerbangan malam, ini merupakan hal baru dan cukup bagus untuk dijadikan pertimbangan. Gue sampai di Bandar Udara Internasional Adisutjipto pukul 23.30 menit. Sedikit terlambat dari jadwal semestinya karena saat itu bandara sedang penuh dan pesawat yang hendak landing harus berputar-putar di langit Jogja sembari menunggu izin dari badan pengawas di bandara.

Terbang di atas kota Jogja
doc. pribadi

Akhirnya kami sampai di Bandar Udara Adi Sutjipto, Jogja. Tulisan selamat datang dalam bahasa Jawa menyambut kami saat tiba di pintu kedatangan. Karena udah kebelet pipis, gue pamit ke toilet sebentar. Lalu bergantian menjaga bawaan.

doc. pribadi
Selamat datang di Jogja!
doc. pribadi

Saat hendak mengambil bagasi, gue agak kaget karena tempatnya cuma ada dua atau tiga. Untuk ukuran Bandara internasional tempatnya terlalu sedikit sehingga kami harus menunggu lama karena yang datang bukan cuma dari Jakarta. Saran gue sih sebaiknya pihak Bandara dan Angkasa Pura menambah jumlah tempat pengambilan bagasi demi kenyamanan bersama.

Setelah mengambil bagasi, kami berjalan keluar dari Bandara sembari menunggu keluarga nyokap yang sudah berjanji akan menjemput.

doc. pribadi

Dari sini… kisah liburan di Jogja di mulai!

Hari pertama di sini gue di ajak ke sebuah mall terbesar se-Yogyakarta, yaitu Hartono Mall. Entah apa tujuan om gue ngajakin ke sini. Yang pasti kalau gue tau ujung-ujungnya di ajak ke sini, gue bakal bilang, “nggak usah om, Reza udah bosen ke mall. Di Jakarta udah terlalu sering.” Karena nggak tau, gue terima aja. Sampai di mall kami berhenti di sebuah tempat makan yang khusus menjual bakso. Duh, baru sehari di Jogjanya udah di traktir makan bakso sampai puas. Mana Baksonya enak lagi. Huhu.

Sehabis makan-makan, kami melihat-lihat seisi mall. Ada yang foto-foto di depan pohon natal yang cukup besar. Ada yang menikmati live musik, ada yang belanja, lalu ada juga sekumpulan bapak-bapak yang ngejagain anaknya main di dekat pohon natal. Salah satunya om gue. Hehe. Karena cuma gue yang nggak ada kegiatan di sana, gue pamit dengan Om Budi.

“Om, Reza ke sana, ya?” gue nunjuk salah satu kedai kopi yang ada di mall tersebut.

“Oyaudah. Tapi om nggak bisa ikut.” katanya sambil ngelihatin anak laki-lakinya berlarian kesana-kemari di sekitar pohon natal. “Om lagi jagain Bara. Reza bisa sendiri, ‘kan?”

“Iya, om. Reza bisa, kok.” jawab gue.

“Yaudah. Nih,” Om Budi nyerahin selembar uang kertas lima puluh ribu.

Gue ngeluarin kartu member kedai kopi dari dalam dompet. “Kebetulan Reza masih punya saldonya kok, om.”

“Gapapa. Anggep aja uang jajan.”

Gue merasa enggak enak kalau nerima uang tersebut. Satu sisi, gue merasa nggak enak karena enggak boleh nolak rezeki. “Terima kasih, om.” kata gue.

Dan di sinilah gue. Di sebuah kedai kopi, sendiri. Memandang ke luar dengan tatapan redup. Secangkir Americano Panas telah dingin. Entah sampai kapan gue sanggup bertahan dalam situasi seperti ini. Dering handphone di atas meja membuyarkan lamunan. Muncul sebuah nama. Gue tersenyum setelah membaca tersebut. Kesal bercampur marah. “Kapan sih lu berubah?”

Karena tulisannya terlalu panjang, jadi postingannya akan gue pisah ke dalam dua bagian. Silakan klik tautan berikut untuk mengarah ke postingan selanjutnya. Ciao~ \o/

 

 

Contact

Facebook || Google+ || Instagram || Twitter ||

e-mail: [email protected]

Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

2 KOMENTAR

  1. Emang dari dulu penerbangan malam selalu bagus, Za. Pemandangannya bagus karena banyak lampu-lampu dari bangunan-bangunan yang ada dibawahnya.

    Liburan yang enak itu, liburan dengan keluarga terus dibayarin, terus ngobrol-ngobrol. Seperti dibayarin minum kopi dan semacamnya. Ha ha ha.
    Melihat lu yang liburan ke Yogya, terus ke Bandung juga, kayaknya bakal banyak ditraktir nih.

    Goodluck. Lanjutkan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Reza Andrian
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca