Sabtu, Juli 27, 2024
HomeCurhatPengalaman Training Offline

Pengalaman Training Offline

on

Hi semuanya! Kalian pernah nggak sih, merasakan grogi atau kurang percaya diri saat berdiri di depan orang banyak? Lalu ketika kalian berbicara, menyampaikan suatu informasi atau sebuah materi di depan orang-orang tersebut, lidah kalian terasa seperti kelu, kepala membeku, dan kehilangan kata-kata?

Gue pernah dan cukup sering mengalaminya. Apalagi saat di bangku sekolah dulu. Biasanya, saat mendapat giliran untuk dipanggil maju, ada satu gejala yang sebenarnya cukup mengganggu namun gejala ini memang sulit untuk dihindari: sakit perut.

Yes, setiap kali mendapat giliran presentasi di depan kelas, baik individu mau pun presentasi berkelompok, gue acapkali merasakan yang namanya sakit perut. Sakit perutnya ini bukan sakit perut yang disebabkan karena salah makan. Melainkan sakit perut seperti orang yang sedang kebelet boker.

Kalian tau kan, seperti apa ciri atau gejala orang yang lagi kebelet boker seperti apa? Biar gue beritahu gejalanya: bulu tangan meremang dan keringat dingin.

Biasanya kalau sudah timbul gejala seperti ini, rasanya akan cukup sulit untuk fokus. Yang ujungnya akan berakibat pada performa saat presentasi. Karena hal tersebut, gue acapkali berdoa agar bisa cepat-cepat lulus dari bangku sekolah dan segera masuk dunia kerja supaya tidak terlibat dalam tugas presentasi dan semacamnya.

Tetapi, itu hanyalah pemikiran tolol gue dulu sebagai seorang murid SMA yang sama sekali belum merasakan bagaimana realita dan pahitnya kehidupan. Nyatanya, setelah gue memasuki dunia kerja, gue dipertemukan kembali dengan musuh bebuyutan gue sebagai orang yang sangat pemalu: berbicara di depan orang banyak.

Grogi sebelum presentasi
Grogi sebelum training
Photo by: Liza Summer from Pexels

Pada postingan kali ini, gue ingin membagikan pengalaman tersebut. Tentang bagaimana gue seorang anak yang pemalu, menghadapi musuh bebuyutan sejak zaman sekolah dulu: berbicara di depan orang yang tidak hanya jumlahnya banyak, tetapi juga penting. Penasaran? Begini ceritanya…

Sedikit pengenalan buat yang belum tau atau baru pertama kali mampir ke blog ini. Saat ini gue bekerja di sebuah perusahaan startup yang bergerak di layanan SaaS (Software as a Services). Posisi gue saat ini adalah seorang Junior Project Manager.

Baca Juga: Jadi Anak Startup

Cerita ini bermula ketika gue mendapatkan ajakan untuk hadir pada agenda Offline Meeting di kantor klien. Sebagai Dedicated Project Manager untuk klien tersebut, gue memiliki kewajiban untuk memenuhi setiap undangan atau ajakan dari klien tersebut.

Tak peduli sedang di luar kota, gue segera berburu tiket menuju Jakarta karena waktunya tinggal 7 hari menuju agenda offline meeting tersebut.

Setelah mendapatkan tiket pulang, gue yang kebetulan saat itu memang sedang di kampung langsung request beberapa hal ke nyokap. Seperti minta untuk dibikinkan rendang sebagai lauk untuk makan di kos dan rempah-rempah supaya gue nggak perlu beli di penjual sayur.

Sebenarnya gue kepikiran untuk bawa oleh-oleh untuk diberikan kepada klien dan rekan kerja yang hadir saat offline meeting. Namun, karena memang daerah gue tidak punya sesuatu yang khas, gue mengurungkan niat tersebut dan hanya membawa rendang ke Jakarta sebagai lauk di kos.

Hari yang ditunggu-tunggu tlah tiba. Jam 9 pagi, gue sudah berpakaian dan menata rambut serapi mungkin karena ini adalah kali pertamanya gue akan bertemu secara Face to Face dengan klien dan juga rekan kerja. Karena pertemuan pertama, tentunya gue tidak ingin meninggalkan kesan yang buruk soal penampilan. Setelah memastikan semuanya sudah oke, gue segera memesan ojek online.

Setibanya di lokasi, gue meraih handphone dari saku celana lalu menyalakan kamera handphone untuk memastikan bahwa rambut gue tidak acak-acakan. Setelahnya, gue berjalan menuju lobi tempat di mana rekan kantor sudah menunggu. Setelah semuanya lengkap, kami berjalan bersama menuju ruangan yang sudah disiapkan oleh klien.

“Besok jadi kan, mas?”

“Jadi dong, Pak. Lokasi dan jamnya sudah fix kan?” tanya gue kepada klien.

“Sudah. Tempatnya juga sudah dibooking.”

“Siap. Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Pak.” tutup gue.

***

Setibanya di lokasi yang sudah ditentukan, gue menghampiri petugas kafe untuk menanyakan letak ruang meetingnya.

“Langsung ke lantai 2 aja, mas. Tadi udah ditungguin.” Kata petugas kafe tersebut.

Gue mengucapkan terima kasih lalu berjalan menyusuri anak tangga. Di lantai 2, gue melihat ada banyak orang yang mukanya terasa cukup asing buat gue. Untungnya, ada 1 orang yang mengenakan seragam kantor klien. Sehingga gue bisa tau bahwa inilah ruangan yang akan dipakai untuk sesi training nantinya.

Gue langsung menyalami orang-orang di ruang tersebut sekaligus mengenalkan diri.

“Selama ini kita komunikasinya cuma lewat grup Whatsapp aja, ya, Mas. Tapi hari ini kita bisa ketemu langsung. Salam kenal juga mas,” ujar, salah satu tim klien.

Karena yang hadir baru beberapa orang saja, jadi kami harus memberi ekstra waktu selama 30 menit dari waktu yang telah disepakati. Gue sendiri tidak masalah dengan hal tersebut karena hari itu gue memang sudah mengosongkan seluruh jadwal dan memfokuskan perhatian gue pada agenda training offline hari itu.

Sembari menunggu semuanya tiba, gue mencoba memikirkan kalimat pembuka yang tepat. Sebuah kalimat yang tidak terlalu formal, tetapi juga tidak terlalu santai ala warung kopi. Sebab ini adalah sesi training offline pertama yang direquest dan dihadiri langsung oleh klien gue.

Gue mencoba menutupi rasa gugup dengan membuka laptop dan menyibukkan diri sebab gue tidak ingin klien menyadari bahwa gue sedang gugup.

Selain gejala gugup yang disertai keinginan untuk boker, terkadang suara gue cenderung lebih kecil dan sering ‘ngos-ngosan’ jika harus berbicara di depan orang banyak. Gue khawatir gejala tersebut juga ikut muncul pada sesi training hari tersebut.

Gue sendiri tidak punya persiapan khusus untuk sesi training hari ini, sebab secara materi gue sudah sangat hafal di luar kepala. Gue tau apa yang harus gue jawab dan sampaikan. Tetapi, itu tetap saja tidak membuat gue percaya diri untuk tampil berbicara di depan orang banyak.

Para peserta training sudah berkumpul memenuhi lantai 2 cafe. Berdasarkan pengamatan singkat gue, jumlah peserta kali ini tidaklah sebanyak yang gue pikirkan di mana jumlah orang yang gue estimasikan sekitar 70 orang. Meski tidak sampai 70 orang, tetap saja jumlah orang yang hadir bisa dikategorikan banyak, yakni sekitar 40 orang.

Presentasi di depan banyak orang
Presentasi di depan orang banyak
Photo by: Matheus Bertelli from Pexels

Sesi training dimulai dengan kata sambutan dari klien. Usai kata sambutan tersebut, sesi selanjutnya adalah penyampaian materi dari sisi gue.

Gue merasa beruntung karena sesi training kali ini ternyata sudah disediakan microphone. Kekhawatiran gue soal suara kecil yang berujung tidak bisa didenger peserta training, berhasil tertatasi berkat ketersediaan mic tersebut.

Masalah suara kecil sudah teratasi dengan mic. Sekarang, tinggal bagaimana gue menghadapi rasa takut atau gugup saat berbicara di depan 40 orang yang ada didalam ruangan cafe tersebut dan juga soal pernafasan.

Gue mencoba mengatur pernafasan. Me-relax-kan otot dan persendian yang tegang. “Bagaimana pun juga, show must go on.” ucap gue dalam hati. Satu kalimat pembuka meluncur dari bibir gue. Sebuah kalimat pembuka yang sangat apa adanya itu, menjadi langkah pertama gue dalam memberikan training offline.

Sesaat klien memberikan kalimat pengantar, gue merubah siasat atau goals yang ingin gue capai dari sesi tersebut. Di mana sebelumnya gue ingin tampil layaknya pembicara profesional, menjadi gue ingin mencapai agar para peserta training dapat memahami informasi yang gue sampaikan. Memahami flow dan cara penggunaan aplikasi milik klien yang di develop oleh tempat gue bekerja.

“Silakan maju satu per satu untuk scan barcode ini,” kata gue, mempersilakan para peserta untuk trial scan barcode produk klien yang ditampilkan di layar. Para peserta tampak antusias saat memasuki sesi trial karena mereka diberi kesempatan untuk mencoba menggunakan aplikasinya secara langsung.

Sementara para peserta mencoba scan barcode, gue menggunakan kesempatan tersebut untuk melirik jam. Menghitung sudah berapa lama waktu berjalan semenjak gue memberikan kalimat pembuka.

Gue baru menyadari, bahwa gue sudah ngomong setengah jam di depan 40 peserta. Tapi nafas gue sudah ngos-ngosan seperti habis melakukan lari marathon sejauh 1 kilometer. “Gimana kalau sampai berjam-jam,” pikir gue.

Masalah pernafasan ini harus segera dituntaskan agar gue tidak kehabisan tenaga sebelum jam makan siang. Melihat para peserta masih antusias melakukan percobaan, gue mencoba memperbaiki cara gue berdiri. Bernafas dengan lembut.

Lalu, saat semuanya sudah puas bereksperimen, gue mengambil alih panggung dan berusaha untuk berbicara seefektif mungkin. Bagaimana pun juga, pesertanya adalah orang awam sehingga gue tidak perlu tergesa-gesa.

***

Waktu menunjukkan pukul 13.30 saat semua peserta kembali ke bangku masing-masing. Sesi training kembali dilanjutkan dengan gue sebagai pembicaranya.

Pada sesi ke dua, wajah peserta terlihat sumringah karena seperti yang sudah gue sampaikan di akhir sesi 1, sesi 2 akan berisi materi yang gue cukup yakin akan sangat disenangi oleh semuanya.

Gue tidak akan menjelaskan apa yang menyebabkan mereka semua terlihat antusias. Tetapi, gue merasa cukup senang karena mendapatkan cukup banyak pertanyaan dari para peserta. Pertanyaan-pertanyaan tersebut langsung gue jawab saat itu juga, mengingat gue merupakan tipikal orang yang mudah lupa.

Setelah menjawab pertanyaan dari peserta training dan mencontohkan, selanjutnya peserta diberikan kesempatan untuk bereksperimen seperti sesi sebelumnya dari perangkat mereka masing-masing.

Eksperimen di perangkat sendiri
Eksperimen di perangkat sendiri
Photo by: Mikhail Nilov from Pexels

Masalah muncul saat mereka mencoba dari perangkatnya. Masalah tersebut tidak hanya terjadi pada satu orang saja, tetapi hampir semua peserta mengalami kendala yang sama. Situasi saat itu berubah menjadi sangat tidak mengenakkan dan tidak menguntungkan bagi gue.

Gue berusaha menenangkan para peserta sembari meminta pengertiannya agar agar gue bisa menghubungi tim engineer. Sembari gue menghubungi tim, klien mengambil alih acara dengan memberikan informasi mengenai program ini.

Sialnya, saat itu tim juga sedang menghadapi issue yang jauh lebih urgent. Mau tidak mau, gue harus mengurusi issue ini sendirian.

Gue berusaha menenangkan diri dan mengatur pernafasan. Setelah agak tenang, gue langsung mengambil langkah solving masalah ini sendirian. Karena bagaimana pun juga, gue sedang di tengah sesi training dan gue tidak ingin mengecewakan peserta yang sudah menyempatkan waktunya untuk hadir, dan tidak ingin mengecewakan klien gue.

Karena gue harus melakukan edit data secara manual, gue berusaha mendekati perwakilan dari klien dan menyampaikan bahwa gue butuh waktu sekitar 10 menit untuk solving masalah ini.

“Tapi bisa disolving kan, mas?” tanya tim klien.

“Bisa, pak.”

“Oke. 10 menit saja, ya.”

Gue menggangguk setuju.

Sepuluh menit berlalu. Gue memberi tanda bahwa issue tersebut sudah selesai di solving dan sesi training bisa dilanjutkan kembali. Sesi training pun kembali dilanjutkan. Peserta kembali melakukan percobaan dari perangkatnya dan kali ini, percobaan tersebut berhasil dengan sempurna.

***

Waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB tatkala gue sedang merapihkan alat kerja yang gue bawa. Ini adalah kali pertamanya gue memberikan materi training selama 7 jam. Di mana, sebelum-sebelumnya training yang gue berikan itu biasanya hanya berlangsung paling lama 2-3 jam saja dan berlangsung secara online.

Ketika dilakukan secara offline, gue lumayan terkejut dengan perbedaan durasi trainingnya. Karena sebelum training offline ini berlangsung, dibenak gue, trainingnya sendiri seharusnya tidak lebih dari 4 jam mengingat onlinenya saja hanya 2 jam.

Karena tidak tau trainingnya akan berlangsung selama seharian penuh, gue terpaksa harus mereschedule janji meeting dengan internal tim dan juga klien lainnya secara dadakan alias mendekati waktu meeting.

Selesai training, gue tidak langsung pulang karena ada beberapa hal yang ingin gue diskusikan bersama dengan klien. Dari agenda training hari itu, gue mencatat ada beberapa poin yang klien butuhkan untuk gue sampaikan ke internal tim.

Baca Juga: Skill Penting untuk Para Pekerja

“Saya pamit pulang ya, pak,” kata gue, berpamitan dengan klien.

“Oke, hati-hati ya mas.”

Setibanya di kos, gue langsung mandi untuk membersihkan seluruh badan dari keringat dan mungkin kuman atau virus yang gue bawa dari luar. Setelahnya, gue langsung mengadakan meeting dadakan bersama internal tim untuk menyampaikan beberapa poin yang dibutuhkan oleh klien.

Gue baru bisa bersantai dengan tenang pada pukul 20.00 malamnya. Satu hal yang gue cukup kaget, setelah aktivitas fisik yang berjam-jam tersebut, gue sama sekali tidak merasakan lelah sama sekali.

Padahal, sebagai seorang introvert, biasanya setelah beraktivitas di luar atau berinteraksi dengan orang lain dalam jumlah yang banyak, biasanya badan gue akan terasa letih dan seolah tidak ada tenaga untuk melakukan aktivitas lainnya.

Dilihat dari jumlah pesertanya yang banyak, seharusnya bisa membuat seluruh energi gue terkuras habis dan gue akan membutuhkan waktu untuk “mengisi batre” selama beberapa hari tanpa melakukan interaksi dengan orang lain sama sekali.

Tetapi, di hari itu, gue tidak merasakan letih sama sekali bahkan gue sangat siap untuk melakukan aktivitas lainnya.

Selain itu, gue benar-benar merasa bangga dan puas atas apa yang sudah gue lakukan di hari itu dan menjadikannya sebagai sebuah prestasi atau pencapaian terhebat selama hidup gue, karena:

  1. Gue berhasil tampil penuh percaya diri selama sesi training berlangsung
  2. Gue tidak merasakan gugup, degdegan, atau gemetaran selama berdiri menghadap peserta dan menyampaikan materi secara lugas
  3. Gue berhasil mengatasi masalah pernafasan atau ngos-ngosan ketika menyampaikan sesuatu di depan banyak orang
  4. Gue berhasil mendapatkan attention dan memberikan kenyamanan bagi peserta untuk bertanya, karena dalam sesi training biasanya orang cenderung menghindari untuk bertanya.
  5. Training berjalan dengan kondusif
  6. Para peserta dapat menyerap dengan baik materi yang sudah gue sampaikan, dibuktikan melalui quiz singkat yang gue lakukan setiap akhir sesi.

Karenanya gue cukup bangga atas kerja dan pencapaian gue di hari itu dan gue harap, ini menjadi langkah awal menuju prestasi selanjutnya.

Demikianlah cerita pengalaman gue tentang training offline yang gue lakukan untuk pertama kalinya. Kalau kalian punya pengalaman serupa, yuk ceritakan di kolom komentar!

Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Reza Andrian
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca