Sabtu, Juli 27, 2024
HomeReviewPengalaman Pertama Mendaki Gunung

Pengalaman Pertama Mendaki Gunung

on

Sebagai anak rumahan tulen, tak pernah terbesit di benak gue bahwa suatu hari nanti gue akan mendaki gunung. Selain karena tidak punya pengetahuan dasar mengenai navigasi di alam bebas, fisik gue juga sama sekali belum terlatih untuk mendaki gunung. Sehingga naik gunung rasanya adalah aktivitas yang mustahil untuk gue lakukan.

Namun, pada 2023 silam, gue melawan hal paling mustahil dalam hidup gue. Tepatnya bulan Oktober kemarin, gue yang merupakan seorang anak rumahan tulen ini, berhasil menaklukan sebuah gunung yang ada di Pulau Jawa. Di postingan ini, gue ingin membagikan pengalaman pertama mendaki gunung. Penasaran? Begini ceritanya…

Semua bermula ketika gue diajak oleh Ika, teman satu kampus gue dulu untuk naik gunung. Ajakan tersebut lebih kurang berbunyi, “Za, yuk ikut gue naik gunung sabtu nanti.” Ajaknya.

Ajakannya saat itu bisa dibilang cukup dadakan karena disampaikan pada H-3 pendakian. Gue mencoba menanggapi ajakan tersebut dengan senang hati karena kebetulan gue memang sedang “ngidam” naik gunung akibat terpengaruh konsumsi konten tentang pendakian gunung belakangan. Dan beberapa bulan sebelumnya gue memang sempat ngomong seperti ini ke Ika, “Kapan-kapan ajak gue naik gunung dong, Ka!”

“Gunung mana? Pulangnya kapan?” tanya gue, memastikan apakah gue perlu mengambil cuti atau tidak.

“Sindoro. Berangkat jumat malam, senin udah sampai Jakarta pokoknya.”

Gue mencocokan jadwal di hari seninnya, memastikan perjalanan pulangnya tidak bentrok dengan agenda yang lebih penting di kantor. Melihat tidak ada tanda-tanda meeting di hari senin, gue membalas ajakannya, “gue sih bisa dan mau, tapi serius sedadakan ini? Gue nggak punya alatnya, cuy. Mau beli juga nggak ada jaminan jumatnya udah sampe kos.”

“Pake punya gue aja. Ntar gue pinjemin.” Balasnya.

Well, satu masalah terselesaikan karena teman gue satu ini bersedia meminjamkan peralatannya. Sekarang PR gue adalah bagaimana mendapat izin dan restu dari orangtua untuk naik gunung.

Sejauh ini, orangtua gue taunya anaknya ini enggak enggak pernah melakukan aktivitas di alam bebas. Mentok-mentok cuma main di kebun teh atau sungai yang aksesnya cukup gampang.

Rasanya orangtua gue tidak akan sagampang itu memberi izin untuk naik gunung, apalagi percaya anaknya bisa melakukan itu. Karenanya gue tidak cukup yakin bisa mendapatkan izin tersebut karena ya memang gue belum pernah naik gunung dan kedua gue belum tau seberapa jauh kematangan fisik gue. Meskipun sebenarnya gue cukup sering latihan fisik dengan workout 5x seminggu, tapi workout dan naik gunung tentu adalah dua hal yang berbeda.

Tapi gue tetap harus mendapatkan izin tersebut supaya gue lebih tenang saat mendaki nanti.

Percobaan mendapatkan izin dimulai. Orang pertama yang gue usahakan untuk dapat izinnya adalah bokap. Sederhananya karena bokap paling gampang memberi izin. Setelah ngobrol, gue berhasil mendapatkan izin untuk naik gunung tanggal 7 Oktober nanti. Tentu dengan catatan, lebih hati-hati dan menjaga sikap.

Setelah mengantongi izin, gue mencoba menghubungi Ika kembali untuk mengkonfirmasi keikutsertaan gue nanti.  

Ngomongi biaya, sebetulnya biaya untuk mendaki gunung itu cukup bervariasi. Untuk pendakian ini, gue ikut open trip kenalannya Ika. Untuk biayanya sendiri yaitu sebesar 530rb. Sudah include transportasi pulang pergi, simaksi dan makan 2x (sebelum pendakian dan makan siang saat pendakian). Menurut gue biaya ini cukup murah karena gue sudah terima beres semuanya. Untuk tendanya sendiri sudah disiapkan oleh pihak open tripnya, jadi tidak perlu sewa atau pun membawa tenda sendiri dari Jakarta.

Setelah melunasi pembayaran, gue diinvite ke dalam grup yang berisikan 19 orang. Ke 19 orang tersebut nantinya akan di invite ke dalam grup tenda. Untuk masing-masing tenda nantinya akan diisi oleh sekitar 4-5 orang.

Di dalam grup tenda, masing-masing anggota punya tugas untuk membawa logistik dan kebetulan saat itu gue kebagian tugas untuk membawa nugget. Sementara yang lainnya membawa buah, bakso, dan lain-lain.

***

Setelah beberapa jam perjalanan, akhirnya kami tiba di basecamp Gunung Sindoro via Alang-Alang Sewu pada hari Sabtu sekitar pukul 9 pagi. Basecamp yang tadinya cukup sunyi, mendadak menjadi rame bak pasar karena semuanya sibuk mengatur kembali posisi barang bawaan di dalam carrier.

Di samping mengatur barang bawaan, beberapa juga ada yang menggunakan kamar mandi dan mengatur barang bawaan setelahnya. Gue sendiri baru kebagian untuk menggunakan kamar mandi sekitar pukul 10.18 WIB.

Selepas mandi dan sarapan, kami semua siap untuk melakukan pendakian. Dari basecamp, kami bergerak menuju Gapura menggunakan fasilitas ojek gunung. Untuk menggunakan layanan ojek gunung sendiri, per kepala dikenakan biaya sekitar 25rb. Alasan kami menggunakan ojek gunung lantaran ingin menghemat waktu sebab perjalanan dari basecamp ke gapuranya sendiri lumayan jauh.

Di samping itu kami mulai jalannya sudah lewat siang hari, sehingga dikhawatirkan tiba di pos 3 atau area campingnya saat malam hari.

Sesampainya di gapura, kami membagi menjadi 3 kelompok. Kebetulan gue kebagian kelompok pertama, dengan Imi sebagai team leadernya. Sebagai kelompok pertama, kami ditugaskan untuk memimpin jalan. Sementara kelompok lainnya berada di baris belakang.

Sehubungan ini adalah pendakian pertama gue, gue memilih untuk tidak begitu banyak berbicara selama di perjalanan karena ingin fokus menikmati pemandangan dan trek selama pendakian.

Kami tiba di pos 2 pada pukul 2 siang. Di pos 2, kami semua berhenti sejenak untuk istirahat dan menikmati makan siang yang sudah disiapkan oleh panitia open trip. Selagi menikmati makan siang, mata dimanjakan dengan pesona alam yang begitu indah.

Dari pos 2, gue bisa melihat barisan rumah dan pemandangan Gunung Sumbing yang begitu gagah di seberang. Pengalaman makan dengan view gunung merupakan pengalaman baru dan membuat gue tidak ingin beranjak dari tempat duduk.

Pemandangan dari Pos 2 Gunung Sindoro terlihat Gunung Sumbing dan rumah di bawahnya
Gunung Sumbing dan rumah warga
Doc. Pribadi

Selepas menyantap makan siang, kami melanjutkan perjalanan kembali menuju pos selanjutnya. Berdasarkan obrolan yang gue dengar, pemandangan di pos 3 nanti jauh lebih bagus bila dibandingkan pos 2. Mendengar informasi tersebut membuat semangat gue semakin menggebu-gebu dan gue siap untuk melanjutkan perjalanan menuju pos 3.

Kami tiba di pos 3 pada pukul 4 sore. Artinya perjalanan menuju pos 3 membutuhkan waktu sekitar 2 jam dengan berjalan santai. Saat tiba, gue melihat tendanya sudah didirikan oleh beberapa teman yang sudah tiba lebih dulu. “Tenda 3 yang mana, Mi?” tanya gue.

“Yang ini, bang,” kata Imi, menunjuk tenda yang letaknya paling pojok.

Gue menaruh carrier di dalam tenda yang ditunjuk oleh Imi. Di dalam tenda tersebut, gue mengeluarkan koyo dari dalam carrier dan menempelkannya di betis dan paha untuk persiapan menghadapi pegal setelah perjalanan yang lumayan jauh.

Sebagai orang yang baru pertama kali mendaki gunung, pegal di area betis dan paha adalah hal yang tidak mungkin terelakkan. Sama seperti halnya orang yang baru memulai olahraga, esok harinya rasa pegal dan sakit di area tertentu pasti akan menyerang.

Selepas memasang koyo, ketua trip berpesan, “langsung ganti baju, Za. Kalau enggak ganti nanti bisa hipotermia.”

Mendengar saran tersebut gue langsung ganti baju. Sebagai pendaki pemula sudah sewajarnya lebih banyak mendengar dan menerima setiap saran dari teman-teman yang lebih berpengalaman agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan selama pendakian.

Selepas tidur, dari dalam tenda gue melihat langit sudah mulai gelap. Dengan kondisi setengah sadar karena baru bangun, gue mendengar Anggi mengatakan, “ada yang mau kopi?”

Gue keluar dari tenda untuk memastikan yang gue dengar barusan tidaklah salah. Sambil mengucek mata, gue melihat ada kompor yang sedang dinyalakan. “mau kopi, Za?” tawar Anggi, dengan secangkir kopi di tangannya.

“Mau,” respon gue. “Ini mau mulai masak, ya?” tanya gue, setelah satu seruputan.

“Iya. Ini juga lagi ngerapihin tempatnya dulu biar nanti enak buat ngumpul. Nanti tolong keluarin logistik yang ada di tenda kita, ya, Za?” balas Anggi.

Gue mengangguk. Setelah beberapa seruput, gue memberikan gelas kopi tersebut kepada Anggi agar minuman hangat tersebut bisa didistribusikan kepada yang membutuhkan. Satu kata yang paling pas untuk mendeskripsikan situasi saat itu adalah, dingin.

Ya, tak pernah terbayang oleh gue bahwa di ketinggian 2000 mdpl tersebut akan terasa sangat dingin. Padahal saat itu hanya berangin saja tidak disertai dengan hujan, tapi dinginnya sudah melampaui batas kesanggupan gue. Karena tak tahan dengan dinginnya udara, gue mengambil sarung tangan dan mengenakannya untuk menghalau dinginnya udara malam di pos 3, Gunung Sindoro.

Usai membantu mengeluarkan seluruh logistik dari dalam tenda, masak-masak untuk makan malam dimulai. Saat masak-masak gue hanya mengamati saja dari tempat gue duduk karena tidak ingin menghambat kerja teman-teman yang bertugas.

Makan malam yang kami siapkan kala itu adalah mie rebus, bakso goreng, sosis goreng dan juga bakso. Sebetulnya makanan tersebut sangat cocok dimakan saat udara dingin. Namun entah kenapa saat itu gue seperti tidak berselera makan. Dari sekian banyak makanan yang tersaji, gue hanya makan 3 pentol bakso goreng, 1 sosis goreng, dan juga beberapa suap bakso kuah.

Mungkin karena udara dingin yang teramat menusuk, menyebabkan gue tidak fokus pada kenikmatan dari makanan tersebut. Yang ada dipikiran gue saat itu hanyalah bagaimana caranya agar gue tidak kedinginan.

***

Jam 1 dinihari gue terbangun karena kebelet pipis. Saat keluar tenda, gue langsung disambut dengan udara dingin dan kabut putih yang sangat tebal. Dengan jarak pandang yang sangat tipis, membuat gue harus berhati-hati dalam melangkah dan sedapat mungkin tidak berjalan terlalu jauh dari tenda karena khawatir bisa tersesat. Selain takut tersesat di dalam kabut tebal tersebut, hal yang tidak kalah menakutkan lagi adalah bertemu dengan babi hutan.

Ya, berdasarkan informasi yang gue dengar saat makan malam, di gunung ini masih ada babi hutan yang berkeliaran.

Selesai buang air kecil, gue kembali ke tenda dengan hati-hati dan kembali melanjutkan tidur. Baru tertidur sebentar, gue terbangun oleh suara Anggi yang grasak-grusuk menanyakan jam. Rupanya waktu sudah menunjukan pukul 2 dinihari. Sementara itu suara dari tenda di sebelah kami sudah terdengar berisik. Bisa gue simpulkan rombongan tenda sebelah sudah bangun.

Karena gue tidak dilibatkan pada proses masak-memasak untuk persiapan sebelum summit, gue hanya goleran sebentar sambil menunggu makanannya jadi. Menu makan kami pada dinihari tersebut bisa dibilang cukup sederhana, yakni roti bakar dan juga mie rebus yang dimakan bersama-sama.

Ya, kali ini pilihan makananya tidak sebanyak makan malam karena kami memilih makanan yang simple dan mudah untuk disajikan sebab kami mengejar waktu untuk summit ke puncak Gunung Sindoro.

Summit sendiri adalah suatu aktivitas perjalanan dari pos tempat kita camping menuju puncak gunung yang sedang kami daki. Untuk estimasi summitnya sendiri bisa berbeda-beda tergantung kesiapan tubuh dan trek yang ditempuh. Untuk Gunung Sindoro sendiri estimasi summitnya sekitar 3 jam menurut ketua open trip kami, dan bisa lebih mengingat medan dan juga kondisi fisik dari masing-masing anggota.

Kala itu sebenernya gue berkeinginan untuk tidak melakukan summit karena air minum gue hanya tersisa kurang dari setengah botol saja. Sementara itu, gue adalah tipikal orang yang gampang haus jika melakukan aktivitas fisik yang cukup berat. Sehingga summit dengan ketersediaan air minum yang tidak cukup menurut gue cukup berbahaya dan gue tidak ingin mengambil resiko tersebut.

Mendengar ada anggota yang tidak ingin summit karena kekurangan air, ketua trip berusaha membujuk dan memberikan semangat kepada gue. Setelah diskusi panjang lebar, gue setuju untuk ikut summit. Apalagi Ika sampai ikut meyakinkan gue bahwa selama summit biasanya konsumsi airnya tidak akan sebanyak seperti saat trekking karena pada saat summit sendiri udaranya jauh lebih dingin dan mataharinya tidak terlalu panas.

Karena dorongan tersebut, akhirnya gue lebih yakin untuk ikut summit. Untuk summitnya sendiri, rencana awalnya gue ingin berjalan lebih santai agar tidak ingin terpisah dari rombongan trip. Lagipula, akan jadi masalah jika gue yang tidak tau rute ini sampai terpisah dari kelompok

Kami berjalan dari pos 3 pada pukul 04.17 WIB. Dalam gelap, udara dingin dan kabut tipis, gue berjalan dengan sangat hati-hati. Mengambil posisi di paling tengah agar tidak tertinggal dari rombongan.

Baru beberapa ratus meter meninggalkan pos 3, perjalanan mulai terasa berat. Nafas mulai terasa berat, paru-paru rasanya seperti membeku akibat udara dingin. Satu-satunya hal yang gue takutkan kala itu adalah pingsan karena kekurangan suplai oksigen. Yang terlintas di benak gue ketika itu adalah kembali ke tenda. Melanjutkan tidur dan bangun pada siang harinya.

Tapi kalau menyerah begitu saja, buat apa gue ikut sarapan? Untuk apa gue bangun lebih awal jika pada akhirnya gue menyerah duluan hanya karena udara dingin? Dengan fisik gue yang sekarang, gue cukup yakin bisa sampai ke puncak. Hanya saja tantangannya adalah paru-paru gue yang saat ini rasanya seperti mulai beku karena terlalu banyak diam dan istirahat.

Yah, namanya juga naik gunung. Kekurangan oksigen karena ketinggian itu hal biasa. Udara dingin karena masih subuh juga hal yang wajar. Di tengah kembimbangan tersebut, mau tidak mau gue harus segera membuat sebuah keputusan karena semakin gue lama memutuskan, semakin berat perjalanan nantinya.

Setelah berpikir cepat, gue memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan dan berhenti hanya pada saat merasa letih saja. Lagipula, yang membuat paru-paru gue membeku sebetulnya karena gue terlalu banyak berhenti sebab mengikuti pace kelompok dan diantaranya terdapat beberapa anggota yang keletihan sehingga harus mengambil istirahat.

“Bro, ini tinggal lurus ikutin jalan kan? Gue pamit jalan duluan, ya? Gue nggak bisa banyak diem. Paru-paru gue rasanya kayak membeku kalau banyak istirahat,” kata gue, berpamitan dengan ketua trip.

“Iya, Za. Tinggal lurus aja ikuti jalan atau ikuti aja orang-orang di depan. Nanti sampai ketemu di pos 4 ya!” kata ketua trip.

Gue berpamitan dan berjalan mendahului kelompok trip yang gue ikuti. Ya, setelah gue pikir lagi, dengan udara sendingin ini, gue tidak sanggup harus mengikuti pace anggota yang lain karena itu hanya akan membebani diri gue sendiri. Akan tetapi lain cerita jika berjalan di siang hari atau saat udaranya tidak begitu dingin, gue cenderung untuk mengikuti pace kelompok karena berjalan beramai-ramai itu lebih menyenangkan karena bisa sambil bercanda.

Gue tiba di pos 4 pada ketinggian 2850 mdpl tepat pada pukul 5:28 WIB. Saat itu gue tidak sendirian, gue ditemani oleh Umar yang juga satu trip dengan gue. Gue tidak tahu pasti apa yang membuat Umar meninggalkan rombongan. Tapi yang pasti gue senang dengan kehadiran Umar, karena gue jadi punya teman dan saat akan mengambil dokumentasi, kami bisa saling bergantian.

Pos 4 Gunung Sindoro - Labirin Batu
Pos 4 yang dijanjikan
Doc. Pribadi

20 menit telah berlalu, kami tak kunjung melihat tanda-tanda kehadiran rombongan trip yang tertinggal di belakang. Karena tak kunjung tiba, gue dan Umar memutuskan untuk melanjutkan perjalanan kembali.

Dalam perjalanan menuju puncak tersebut, kabut tebal kembali memperpendek jangkauan mata. Saat menoleh ke belakang, mata gue tidak menemukan Umar lagi. Mungkin kami sudah terpisah lebih dulu sebelum kabut datang.

Tadinya jika ada Umar, gue ingin berdiskusi apakah kami akan terus melanjutkan perjalanan dengan kabut yang menghadang, atau beristirahat sambil menunggu yang lainnya tiba. Dikarenakan Umar sudah tertinggal di belakang dan gue tidak mungkin menyusul ke tempat Umar karena hanya akan menghabiskan tenaga.

Sambil jalan, gue terus berpikir bagaimana cara gue akan menghadapi kabut ini. Setidaknya ada dua pilihan yang bisa gue ambil untuk menyikapi kabut tersebut:

  1. Beristirahat sambil menunggu Umar menyusul
  2. Meneruskan perjalanan

Gue mencoba mengambil opsi yang pertama. Dengan catatan, apabila udaranya semakin dingin, gue akan menjalankan rencana kedua yaitu terus jalan sambil berharap tidak tersesat di dalam kabut. Ya, berjalan di dalam kabut dengan pengetahuan tentang gunung dan air yang sangat minim sebetulnya sangatlah berisiko. Gue tau yang gue lakukan salah, dan gue sangat tidak merekomendasikan cara ini untuk ditiru oleh teman-teman pembaca.

Pemandangan di dalam kabut ketika summit

Sebenarnya gue terpaksa melakukan ini karena seperti yang gue ceritakan di atas, gue tidak bisa diam terlalu lama di tempat dingin karena paru-paru gue rasanya seperti membeku dan akibatnya gue tidak bisa bernafas dengan normal.

Sehingga yang terlintas di kepala gue adalah berjalan mendahului rombongan karena bergerak dengan aktif akan membuat tubuh terasa lebih hangat dan nafas menjadi lebih lega.

Karena tak sanggup menahan dingin saat berada di dalam kabut, gue kembali melanjutkan perjalanan dengan mantap. Dalam kabut tersebut gue bertemu dengan beberapa pendaki yang baru saja turun dari puncak. Gue iseng bertanya kepada pendaki tersebut, “masih jauh ya mas?” tanya gue, polos.

“Udah deket kok. Mungkin 10 menit lagi mas udah sampe di puncak,” jawab pendaki tersebut.

Mendengar kalimat, “10 menit lagi sampe” membuat gue semakin bersemangat.

“Makasih infonya, mas.” ucap gue sambil terus melangkah. Selama berjalan di dalam kabut, gue juga bertemu beberapa pendaki yang sedang summit ke puncak. Yang artinya gue sudah berjalan di rute yang benar.

***

Gue tiba di puncak Gunung Sindoro pada pukul 07.31 WIB. Meski tidak bersama dengan rombongan, tetapi gue tidak sendirian di Puncak Sindoro karena ada banyak sekali pendaki yang baru ataupun yang sudah tiba lebih dulu sebelum gue.

Tiba di Puncak Sindoro!
Sebuah Achievement karena gue si pemula ini berhasil tiba di Puncak Sindoro :D
Doc. Pribadi

Beberapa ada yang mengambil foto bersama rombongan, ada yang berfoto sendirian sambil minta tolong dengan pendaki lainnya. Menariknya, meski matahari sudah tinggi dan terasa lebih dekat, tetapi di puncak terasa jauh lebih dingin. Gue yang sudah menggunakan jaket dan sarung tangan tak sanggup menahan dinginnya udara di Puncak Sindoro sehingga gue harus banyak bergerak untuk menjaga tubuh tetap hangat.

Saat sudah mulai hangat, gue duduk di bebatuan sambil menikmati keindahan dari puncak Sindoro. Mata gue bisa melihat dengan jelas Gunung Sumbing yang ada di seberang. Terlihat gagah dan indah. Terlintas di pikiran gue bahwa suatu hari nanti, gue harus menaklukan gunung yang ada di seberang. Tak peduli seberapat menantangnya trek gunung tersebut.

Pemandangan dari Puncak Sindoro bisa melihat Gunung Sumbing
Gunung Sumbing terlihat dari Puncak Sindoro
Doc. Pribadi

Ini adalah pencapaian pertama gue di usia 25 tahun, berhasil menaklukan Gunung Sindoro yang memiliki ketinggian 3153 MDPL adalah hal yang tak pernah terbayang di kepala gue sejak awal bahwa anak rumahan yang terkenal mager dan jarang main ke alam bebas ini berhasil melakukannya.

Tadinya gue berpikir bahwa kemungkinan gue tidak akan sampai ke puncak sangatlah tinggi karena sudah kelelahan saat di pos 4. Ternyata sebaliknya, gue tiba di puncak tanpa merasakan lelah sama sekali.

Mungkin ini efek dari kebiasaan hidup sehat yang sudah gue terapkan pada penghujung tahun 2022 lalu. Yang dampaknya membuat anggota tubuh bagian bawah jauh lebih siap karena sering dilatih setiap minggunya.

Jadi itu dia pengalaman pertama mendaki gunung yang gue lakukan pada tahun 2023 silam. Ya, postingan memang cukup terlambat untuk diterbitkan karena gue sendiri butuh waktu untuk menulis dan juga menyuntingnya. Gue harap tulisan ini bisa bermanfaat untuk teman-teman sekalian dan pesan gue, untuk hal nekat yang gue lakukan selama pendakian, mohon untuk tidak dicontoh ya karena berbahaya 😊

Terima kasih dan sampai jumpa lagi!

Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

2 KOMENTAR

  1. Wah, keren ya pemandangan dari atas. Masa2 muda saat suka naik gunungb sdh oernah aku rasakan. Saat sampai puncak terasa dada bergetar, perjuangan berat dan tuntas

  2. Seruuuu mas ceritanya. Aku sendiri ga kepikiran untuk coba naik gunung sih. Kayaknya tahu ga akan kuat . Mungkin bukan ke medannya yaa, tp lbh ke kekuatiran ketemu hewan2 kayak ular, babi hutan, pacet lintah dll. Atau hujan lebat dan kondisi alam lain. Makanya sampe skr blm mau dulu.

    Udah cukup seneng dengan membaca cerita temen2 yg pernah mengalami langsung . Dan lagi dulu mantanku pendaki gunung pro yg pernah ikut proyek seven summit termasuk himalaya . Dari ceritanya udh kebayang seremnya hahahaha. Dah laah, memang bukan buatku..

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Reza Andrian
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca