Baik, ngomongin hobi, gue tuh menekuni banyak jenis. Orang-orang menyebut gue manusia segudang hobi. Wajar, karena hobi gue bermacam-macam. Mulai dari yang paling simple seperti baca buku, menulis, sampai ke hobi yang paling rumit: makan banyak biar gemuk. Faktanya, gue nggak bisa gemuk. Sebanyak apapun gue makan. So, rumit bukan?
Bicara tentang hobi lain, gue juga hobi menulis. Menulis merupakan cara gue menyampaikan apa yang sedang gue rasakan. Bahagiakah, sedih, bahkan tertekan. Andaikan gue hobi menggambar, gue juga akan menggunakan media tersebut sebagai cara menyampaikan apa yang gue rasa. Sayangnya gue nggak berbakat dibidang seni kreatif seperti gambar atau melukis. Jadi, ya, gue menekuni bidang ini lantas mendapat julukan blogger atau dengan kata lain sebagai konten kreator.
Gue merasa cukup beruntung sebagai generasi milenial. Sebab semuanya serba mudah. Akses internet mudah, akses informasi mudah dan lapangan pekerjaan terbuka lebar. Punya hobi atau bisa ngedesign, bisa bekerja sebagai designer. Punya hobi atau suka bikin video lucu, bisa bekerja sebagai video editor atau konten kreator lalu menyumbangkan hasil karyanya ke Youtube. Lebih umum disebut Youtuber sih, tapi gue lebih senang nyebutnya konten kreator. Lebih enak aja penyebutannya.
Sebelum gue jadi seperti sekarang ini, gue sama sekali nggak tahu apa yang harus gue kerjakan. Lantas gue mulai nyoba belajar Photoshop waktu itu. Saat masih duduk di bangku SMP kelas dua. Perangkat yang gue gunakan waktu itu cukup sederhana: komputer tua yang dibeli waktu gue duduk di kelas 4 SD yang monitornya masih pake layar cembung. Padahal waktu itu orang-orang udah beralih ke monitor LCD yang jauh lebih ramping dan baru. Namun gue nggak patah semangat. Toh, walaupun suka ngadat-ngadat, gue menikmati prosesnya, kok.
Asik juga ya menggeluti bidang ini (multimedia), pikir gue.
Karena punya hobi baca, hati gue tergerak untuk coba menulis. Waktu itu gue ingin jadi penulis seperti Raditya Dika. Lantas gue mulai coba terjun ke dunia literasi tanpa meninggalkan minat gue di dunia multimedia. Saat itu gue udah kenal dan aktif mempublish hasil tulisan gue ke blog. Dan masih berlanjut hingga sekarang.
Belum puas dengan hobi-hobi tersebut, lantas gue mulai menekuni bidang baru. Belajar hal baru lagi. Hal berikutnya yang gue pelajari adalah video editing. Sebetulnya sudah cukup lama tertarik. Namun gue baru bisa merealisasikannya dua tahun belakangan ini. Nggak ada kata terlambat untuk belajar, bukan?
Sebagai informasi, gue adalah mahasiswa jurusan Sistem Informasi di salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Artinya, bidang ilmu yang gue pelajari adalah hubungan interaksi antara sistem computer dengan tingkah laku manusia sebagai pengguna. Selama proses belajar, gue merasa ilmu yang gue pelajari ketika SMP dulu nggak sia-sia sama sekali. Ilmu gue pun terpakai pada pengerjaan project akhir semester genap kemarin.
“Lu bisa pake Illustrator kan, Za?” tanya temen gue Jeff.
“Iya, bisa,” jawab gue. “Dulu pernah belajar waktu SMP.”
“Bagus. Lu ngerjain Activity Diagram sama User Interface. Bisa?”
“Aman,” gue mengamini tanpa membatah. “Ada lagi?”
“Sama Usecasenya kalo bisa.”
Gue mengangguk sebagai tanda setuju. Semuanya berjalan normal sesuai perkiraan gue. Setelah menyelesaikan Activity Diagram dan Usecase, gue langsung lompat ke bagian perancangan User Interface. Buku dan pensil siap di atas meja. Beberapa situs besar terbuka. Gue mulai menyiapkan sketsa kasar sementara yang lainnya mengerjakan tugas masing-masing.
Masalah muncul ketika gue ingin mengerjakan User Interface aplikasi. Laptop gue mengalami bluescreen sewaktu membuka aplikasi yang biasa gue pake sewaktu mendesign. Biasanya nggak gini. Mentok-mentok lemot. Gue menunggu. Membuka lagi tools editing yang biasa gue pake. Lagi-lagi masalah yang sama. Laptop gue crash waktu membuka Illustrator. Gue mencari cara lain, menggunakan tools lain seperti Photoshop adalah cara alternatif yang terpikirkan saat itu. Lagi-lagi crash. Gue hampir putus asa.
Akhirnya gue izin pake laptop teman gue yang sedang nganggur. Dia mengizinkan. Proses pengerjaan dilanjutkan. Gue diberi waktu setengah jam karena setelah itu dia mau pake laptopnya buat kerja. Setengah jam berlalu dengan sangat cepat. Sementara tampilan muka aplikasi yang gue kerjakan hampir sepenuhnya selesai jika tidak ada penambahan fitur. Gue berpesan untuk tidak menghapus filenya dulu. Dia mengiyakan lantas memberi tambahan waktu sepuluh menit untuk menyelesaikan.
Sepuluh menit berlalu, setelah cek sana-sini, gue merasa yakin bahwa tidak ada yang perlu di revisi lagi lantas menyimpan data tersebut dan mengirimnya ke email Jeff untuk di review. Akhirnya gue bisa sedikit bersantai karena tugas gue telah sepenuhnya selesai sementara sisanya akan di urus oleh Jeff.
Baca Juga: Nggak tidur dan presentasi
Berdasarkan pengalaman di atas, gue coba berpikir kembali. Mungkin laptop baru adalah solusi yang tepat untuk saat ini. Gue butuh laptop yang multifungsi. Siap digunakan dalam berbagai bidang: membuat program, menulis, mendesign dan mengedit video jika diperlukan?
“Bagusnya laptop apa, ya?”
“ROG aja,” teman memberi saran.
“Macbook juga keren, sih,” kata gue.
“Macbook bagus, tapi nggak cocok kalau di pake ngegame.”
“Bener juga.”
Jeff benar. ROG adalah pilihan paling tepat saat ini. Lalu gue kembali bertanya, pada diri gue sendiri, mengapa harus ROG? Tangan gue dengan cepat menari di atas papan keyboard, mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul tiba-tiba. Mengapa harus ROG? Tak lama, sebuah halaman website terbuka. Pertanyaan gue langsung terjawab. Gue harus pake ROG! Harus! Gumam gue, mantap.
Lantas, kenapa harus pakai ROG? Berikut jawabannya:
Alasan paling utama adalah designnya. Yang gue seneng dari ROG itu adalah designnya. Sebagai seorang yang bekerja di depan laptop, tentu lebih mengutamakan fleksibelitas dan tampilan laptopnya. Jadi penulis terkadang membuat gue harus mencari tempat dan suasana baru. Waktu itu gue pernah nulis di taman Menteng saking seneng lingkungannya.
Dengan desain ROG yang menarik, inovatif dan makin kekinian, gue makin percaya diri buat berkarya dan mengunjungi tempat-tempat baru yang belum pernah gue lihat.
Kedua adalah performancenya. Semua laptop ROG udah pake processor Core i7 generasi terbaru. Hampir semuanya udah pake SSD yang bikin penyimpanan, copy dan segala macamnya jadi lebih cepat. Menarik, bukan?
Ketiga adalah inovasinya. Yang gue tahu ROG selalu menjadi yang terdepan dalam hal inovasi. Sebut saja salah satu produknya yaitu Zephyrus, laptop yang satu ini memiliki ketebalan 1,7 CM dengan berat 2,2KG. Lalu produk lainnya yang tak kalah menarik adalah GX 800 yang memiliki dua buah kartu grafis GTX 1080 dipadukan dengan processor Core i7 7820HK dan masih bisa di overclock. WOAH, SERIUS? Percaya nggak percaya, memang begitulah faktanya. Detailnya bisa di cek di websitenya.
Keempat adalah keyboard. Kadangkala gue juga menulis dalam keadaan gelap gulita. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran suasana yang tepat pada tulisan yang gue buat. Tapi karena laptop gue nggak punya fitur backlight, mau nggak mau gue kudu manfaatin insting “penulis” yang gue punya. Insting yang gue maksud di sini adalah mengetahui persis letak huruf pada papan keyboard tanpa melihat sama sekali.
Hal tersebut tak jadi persoalan karena semua produk ROG sudah dilengkapi dengan fitur backlight pada keyboardya. Layaknya produk macbook. Untuk backlightnya sendiri ada yang warna merah dan juga RGB. Gue pribadi suka yang RGB. #TimRGB
Kelima adalah layarnya. Sebagai penulis, designer sekaligus penyuka game (ya, gue juga suka ngegame kalau lagi libur menulis) layar adalah hal paling penting dalam sebuah perangkat. Hampir semua model ROG udah pake layar terbaik di kelasnya yaitu IPS Screen.
Setelah puas ngomongi kelebihan ROG, berikutnya yang tak kalah penting untuk dibahas adalah Warranty atau garansinya. Toh, percuma punya laptop keren tapi nggak dilengkapi dengan jaminan atau garansi produk. Untuk lebih meyakinkan pengguna, setiap produk ASUS, khususnya ROG selalu dilakukan pengujian seperti tes penekanan pada keyboard, tes getaran, goncangan dan tes lainnya. Yang paling gue senengin dari produknya Asus, khusunya ROG adalah 2 years global warranty pada setiap produknya.
Jadi nggak perlu takut lagi tuh misalnya laptop rusak ketika berada di luar Indonesia. Karena jaminannya 2 tahun global, maka kamu bisa claim jaminan dimanapun kamu berada. Lagi ada kunjungan kerja di Singapore trus laptop mendadak rusak? Tinggal pergi ke gerai ASUS yang ada di Singapore trus tunjukin kartu jaminan alias garansinya. Hehehe.
Balik ke topik sebelumnya. Proses pengerjaan tersebut terbilang cepat untuk sebuah mockup User Interface aplikasi. Itu adalah pengerjaan tercepat yang pernah gue lakukan. Sebelumnya gue juga pernah menangani bidang yang sama: mengerjakan User Interface aplikasi untuk sebuah mesin kasir. Dengan laptop sendiri, gue butuh waktu selama hampir satu jam untuk membuat tampilan yang terbilang sederhana. Sementara itu: proses pengerjaan User Interface aplikasi sebuah Resto hanya memakan waktu 40 menit. Buat seorang designer amatir seperti gue, proses tersebut terbilang cepat.
Tentu nggak lengkap rasanya kalau nggak mencantumi bukti. Di bawah berikut adalah User Interface aplikasi yang gue kerjakan. Meski terlihat sederhana dan biasa saja, gue bangga atas hasil kerja gue. Sebagai amatiran, gue merasa puas karena gue bekerja tanpa mengeluh.
Terus yang mau gue sandingin berikutnya adalah memproses data. Pada pengerjaan menggunakan laptop pribadi, ada jeda 2-3 detik sewaktu melakukan pergantian font. Sementara menggunakan laptop temen, datanya langsung terproses dan paling lama itu 0,30 detik untuk menampilkan font yang diinginkan.
Gue memandang ke bagian sisi laptop yang gue pake sekarang ini, mencari solusi atas masalah tersebut. Layaknya seorang ahli analisis, gue menganalisis profil laptop gue sendiri: Asus A Series dengan Processor Intel Core i5; Nvidia GeForce 840M. Lantas membandingkannya dengan laptop temen yang gue pake buat ngedesign: ASUS ROG GL series; Generasi ke 7 Intel Core i7; Nvidia GeForce GTX 960. Gue menemukan letak masalahnya dimana. Laptop gue belum siap tempur. Keputusan gue untuk mengganti dengan laptop yang baru mungkin sudah tepat.
Demikian lah review singkat gue tentang produk ROG. Dari sisi pemakaian, tuh laptop memang enak banget. Parah. Gue bisa menghemat dua puluh menit sekaligus menghasilkan design yang lebih bagus dan menarik dari yang pernah gue bikin sebelumnya.
Gue sih pilih ROG. Kalau kamu? #WEAREROG #ASUSROGID #ROG
Tulisan ini diikutsertakan dalam ASUS ROG Competition with Chandra Liow
STAY CONNECTED
Facebook || Google+ || Instagram || Twitter ||
e-mail: [email protected]