Selama tiga bulan mengikuti anjuran untuk stay at home, sudah berapa kali kalian keluar rumah? Gue sendiri, kalau ditotalin sudah tiga kali dan beberapa waktu lalu merupakan pertama kalinya gue keluar rumah untuk urusan yang tidak begitu penting. Langsung saja, begini ceritanya…
Gue ingat betul, kali pertamanya gue keluar rumah yaitu tanggal 9 April lalu. Alasan gue keluar ketika itu karena perlu ke bank. Tentu gue enggak ujug-ujug langsung berangkat ke bank begitu saja. Dalam situasi seperti ini, gue rasa setiap orang perlu membuat rencana sebelum memutuskan untuk bepergian. Sebab dalam kondisi seperti ini, keluar rumah rasanya hampir sama seperti pergi ke medan perang.
Ketika terjun ke medan perang, kemungkinannya cuma dua. Selamat dan tidak selamat. Pun jika selamat, masih ada kemungkinan lain. Yaitu selamat dalam keadaan sehat sentosa atau selamat namun dalam keadaan kurang baik seperti terkena tembakan.
Begitu juga ketika bepergian di masa pandemi sekarang ini. Bisa dalam keadaan sehat sentosa atau sehat tapi membawa membawa penyakit ke dalam rumah dan menularkannya ke anggota keluarga. Oleh karena itu, sebelum pergi ke Bank, beberapa hari sebelumnya gue sudah membuat rencana terlebih dulu.
Rencana gue yaitu pergi ke bank pada malam hari. Kenapa harus malam hari? Karena gue berusaha menghindari keramaian yang disebabkan oleh antrean. Sekalipun sudah menerapkan physical distancing dan mengikuti protokol kesehatan, selama mengantre, kemungkinan untuk tertular tetap ada. Apalagi jika masih ada orang yang membandel tidak mengenakan masker ketika keluar atau batuk secara sembarangan.
Setibanya di Bank, gue langsung disambut oleh petugas keamanan yang sedang bekerja sesuai protokol kesehatan yang berlaku. Ketika gue hendak masuk, hal pertama yang petugas tersebut lakukan yaitu mengecek suhu tubuh setiap tamu atau nasabah yang mampir. Setelah mengukur suhu tubuh, selanjutnya gue diminta untuk mencuci tangan di wastafel yang sudah disediakan di dekat pintu masuk.
Selesai mencuci tangan, lalu petugas tersebut mengarahkan gue untuk mengeringkan tangan dengan bantuan mesin pengering yang menempel tak jauh dari wastafel. Setelah cukup kering, akhirnya petugas itu membolehkan gue untuk masuk.
Alasan kenapa gue mampir ke bank, tidak lain karena gue perlu membayar uang kos untuk bulan April. Namun sebelum gue membayar uang kos, gue perlu menyetor sejumlah uang ke rekening pribadi terlebih dahulu melalui mesin ATM setor tunai yang hanya tersedia di Kantor Cabang Utama Bank.
Selesai menyetor uang, untuk lebih amannya, gue kembali mencuci tangan di luar. Karena yang gue tahu, uang kertas bisa jadi media penyebaran virus dan bakteri.
Kali kedua gue keluar rumah yaitu awal bulan Mei lalu. Alasan gue keluar rumah ketika itu tidak lain karena gue ingin membeli beberapa keperluan di minimarket. Salah satunya yaitu tisu.
Sama seperti sebelumnya, beberapa hari sebelum keluar rumah gue menjalankan ritual terlebih dahulu. Ritual yang gue jalanin yaitu bertanya pada diri sendiri. Bertanya ke diri sendiri merupakan cara gue untuk mengukur seberapa pentingnya tindakan yang akan gue lakukan. Pertanyaan gue ketika itu ialah, “mengapa gue senekat ini demi membeli tisu?”
Setelah memikirkannya dengan baik, jawaban atas pertanyaan tersebut yaitu “karena gue sering bersin setiap kali bangun tidur. Akibatnya, gue butuh tisu untuk memfilter droplet yang keluar setiap kali gue bersin.”
Masalah ini sebetulnya sudah lumayan lama terjadi. Bahkan sebelum adanya kasus Covid-19. Karena gue orangnya cukup pelupa, gue enggak sempat memeriksakan masalah ini ke dokter. Bahkan ketika gue sedang bertemu dokter pun, gue lupa menyampaikan keluhan ini karena hanya terjadi setiap pagi.
Karena sekarang lagi pandemi, rasanya lebih baik kalau gue enggak periksa diri ke dokter sebab ketika duduk di ruang tunggu bersama pasien lainnya resiko untuk tertularnya jadi lebih besar. Mungkin nanti, ketika keadaannya sudah cukup tenang dan kesadaran masyarakat untuk mengenakan masker sudah cukup baik, baru gue akan periksa ke dokter.
Lalu yang terakhir, gue keluar rumah awal bulan Mei kemarin. Alasannya yaitu karena pengin potong rambut. Sungguh tidak penting, bukan? Keluar karena pengin potong rambut doang. Gue amat sadar bahwa ini bukan hal penting untuk dilakukan saat itu juga. Bahkan yang ada di pikiran gue justru potong rambutnya seminggu sesudah lebaran.
Kalaupun harus, gue tetap bisa potong rambut di rumah. Seperti halnya para artis ibukota yang melakukan aksi potong rambut di rumah dan mengunggahnya ke media sosial.
Dua hal yang gue sadari setelah berpikir dan menimbang untuk potong rambut di rumah. Pertama, GUE BUKAN ARIEL NOAH YANG TETAP TERLIHAT TAMPAN BAGAIMANA PUN HASIL POTONGAN RAMBUTNYA. Kedua, GUE JUGA BUKAN RADITYA DIKA YANG PUNYA RASA PERCAYA DIRI YANG TINGGI.
Lagipula, dulu gue sering banget potong rambut di rumah dan gue enggak mau mengulang masa itu. Sebagai informasi, gue baru bisa merasakan potong rambut di tempat pangkas waktu gue kelas 2 SMP.
Yang menyebabkan gue ogah dan merasa sedikit “trauma” untuk potong rambut di rumah, yaitu karena gue enggak suka hasil potongan rambut yang dibuat oleh nyokap. Kenapa? Karena potongannya terlalu pendek alias cepak. Karena enggak mau lagi punya rambut cepak, akhirnya gue memilih untuk pergi ke tempat pangkas. Lagipula, rambut gue udah terlalu panjang dan udah 4 bulan enggak dipotong.
Sebelum memutuskan untuk berangkat, tentu sebelumnya gue sudah mengetahui gambaran kondisi di daerah gue. Sampai saat itu, daerah gue masih terbilang aman karena jumlah kasusnya belum mencampai 10 orang. Selain itu, penduduk di daerah gue terbilang patuh terhadap aturan pemerintah daerah. Sehingga gue percaya bahwa saat itu masih aman selama gue mengenakan masker dan nggak kelayapan ke mana-mana.
Awalnya gue berencana untuk potong rambut di tempat pangkas langganan semasa gue SMP dan SMA dulu. Sekalian nostalgia. Tapi karena terlalu jauh dan tempatnya suka ramai, gue pun mencari tempat pangkas yang dekat dengan rumah dan ngga terlalu ramai. Sama seperti sebelumnya, gue tetap mematuhi prosedur kesehatan dan mengikuti aturan yang berlaku. Seperti mengenakan masker ketika keluar rumah.
Setelah berkeliling, gue memilih untuk ke tempat pangkas rambut asgar yang lokasinya persis di pinggir jalan dan tak jauh dari rumah gue. Tempat pangkas tersebut memiliki kapasitas pelayanan maksimal untuk 2 orang dan kebetulan saat itu tukang pangkasnya sedang melayani satu orang. Karenanya gue langsung dilayani saat itu juga.
“Mau potong model apa?” tanya si tukang pangkas. Sambil memasangkan kain kip.
“Potong tipis bagian sebelah. Trus tengahnya dirapihin aja.” Jawab gue, yang sama sekali payah dalam urusan model rambut.
“Shaggy atau biasa?” tanya si tukang pangkas.
“Shaggy aja.” Jawab gue, cepat. Setelah mendengar permintaan gue, tukang pangkas tersebut mengambil gunting yang ada di meja dan mulai bekerja.
Tidak memakan waktu lama, rambut gue yang sudah 4 bulan enggak dipotong akhirnya terlihat rapih di kaca. Penglihatan gue yang tadinya sempat terhalang rambut sekarang sudah tidak lagi. Gue tersenyum puas karena rambut gue benar-benar sudah rapih.
“Berapa, bang?” tanya gue.
Tukang pangkas itu melihat wajah gue dengan seksama. “12 ribu,” jawabnya. Gue merogoh saku celana, lalu memberikan selembar uang dua puluh ribu.
Sementara tukang pangkas itu memeriksa laci untuk mengambil uang kembalian, gue duduk menunggu di bangku panjang yang terbuat dari kayu. “Makasih, bang.” Kata gue langsung, tanpa menghitung kembaliannya.
Setibanya di rumah, gue mengeluarkan uang tersebut dari saku celana lalu menaruhnya di atas meja. Saat itu gue merasa sedikit bingung. Kenapa kembaliannya 8 ribu? Seingat gue, di list harganya sendiri tertera 15 ribu untuk dewasa dan 12 ribu untuk anak-anak.
Apakah wajah gue terlihat sebocah itu sampai-sampai si tukang pangkas memasukkan gue ke dalam kategori anak-anak? Gue merasa sedikit terhina karena dianggap anak-anak. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kayaknya itu bukan hal yang buruk karena artinya gue awet muda.
Gue langsung bersegera mandi dan mencuci rambut sampai bersih.
Sama seperti dulu, setiap habis potong rambut nyokap akan menghampiri gue untuk melafalkan kalimat ajaib yang berbunyi, “kenapa rambutnya masih panjang gini?” sambil meletakkan tangannya di kepala gue. Menjadikan jari-jari tersebut layaknya alat untuk mengukur panjang rambut.
Jika rambut gue melewati “alat ukur” tersebut, langsung dianggap enggak memenuhi standar dan gue akan disuruh kembali ke tukang pangkas untuk minta dipotong lagi sampai rambut gue dianggap lulus standar nyokap.
Karena gue enggak mau balik ke tempat pangkas itu, gue terpaksa mengarang cerita—mohon jangan meniru hal ini di rumah—supaya nyokap nggak nyuruh gue ke sana lagi hanya untuk sekadar protes soal rambut yang dianggap nggak memenuhi standarnya. Lagipula, gue suka sama rambut baru.
Intinya adalah, selalu patuhi protokol kesehatan yang berlaku. Nongkrong sama temannya dikurangi dulu. Jika terpaksa harus keluar rumah, tetap jaga kebersihan dengan selalu mencuci tangan. Jaga jarak dan kenakan masker selama beraktivitas di luar rumah. Saat pulang ke rumah segera mandi dan jangan lupa untuk bersihkan semua peralatan yang dipakai menggunakan cairan disinfektan.
Berhubung sebentar lagi ‘new normal’ akan diberlakukan, maka untuk menghadapinya mari kita saling menjaga. Menjaga diri sendiri, menjaga orang di sekitar dan yang paling menjaga keluarga di rumah. Tetap sehat, patuhi protokol kesehatan yang berlaku!
Nah, itu dia cerita ketika gue keluar rumah. Hal yang gue lakukan memang nggak sepenuhnya benar. Tapi paling enggak, gue udah mencoba untuk antisipasi hal yang tidak diinginkan. Gimana dengan kalian? Cerita, dong!
Alhamdulilah tempat saya masih aman sekarang, belum ada dan jangan sampai ada yang kena. Bisa geger satu kampung ntar. Jadinya saya masiy berani kuluar toko beberapa hari sekali….
Panjang banget tuh rambut kayaknya kalau empat bulan gak dicukur. Gue tiga bulan aja panjangnya udah kayak rambut cewek hahaha. Gue selama tiga bulan terakhir juga keluar rumah kalau darurat aja. Kalau bisa ditunda dulu, pasti gue tunda. Parno banget. Apalagi kalau liat di sekitar gue masih banyak yang gak aware sama virus ini. Makin parno haha
Seandainya bisa ga kluar, aku jg pgnnya gitu mas. Sayangnya kantorku termasuk yg ga mungkin tutup , walopun giliran masuknya di kasih jadwal Wfh, wfo, giliran. Krn aku juga berhubungan lgs dengan nasabah dan uang2 mereka , mau ga mau aku skr bnr2 jadi gampang jijik megang duit hahahaha. Tiap megang uang, pasti lgs ke kamar mandi cuci tangan. Ga terlalu suka Ama hand sanitizer Krn ga bgs di kulit . Makanya aku LBH milih rempong ke kamar mandi, pake sabun dan air mengalir.
Masker skr ga prnh lupa. Trus yg namanya mandi, kalo tadinya aku bisa 3x sehari, skr jd lebih hahahaha. Tiap abis kluar mandi Mulu :p. Udahlaaah,sabun dan shampoo skr jadi cepet bgt abisnya. Mau bilang gimana… Mungkin Krn 4 bulan jd terbiasa juga, giliran ga dilakuin aku ngerasa ga enak banget – banget. Kayak ngerasa bdn jd kotor banget kalo balik dr luar. Terlalu parno juga sih..tp selama vaksin blm ada, seperti nya aku bakal begini trus :)