“Subuh gini bukannya tahajud, kita malah keringatan.” Ucap gue, sambil berusaha melepas jaket berwarna biru navy. Ketiga teman gue itu masih sibuk mengatur nafas.
Kalian pasti bertanya-tanya, mengapa gue berkata demikian, ‘kan? Jadi, pada bulan Oktober kemarin, gue bersama ketiga sahabat akan Visit Gorontalo. Karena membutuhkan 2 jam perjalanan dan tak seorang pun dari kami ada yang mengambil cuti, kami sepakat untuk memilih penerbangan dinihari supaya tidak mengganggu pekerjaan.
Mulanya, semua berjalan dengan sangat lancar. Sampai kepikunan gue mengacaukan segalanya. Jadi, sebelum berangkat, kami sepakat untuk berkumpul di kos jordi. Setibanya gue di kos Jordi, tiba-tiba gue teringat belum memasukkan celana bahan ke dalam koper.
Selain lupa membawa celana dasar, gue juga lupa membawa ikat pinggang. Sehingga celana yang gue kenakan pada saat itu terasa longgar dan sedikit melorot.
“Gue pulang ke kos dulu, ya?” pamit gue.
“Bareng kita aja, Za. Sekalian mau drive thru burger.”
“Seriusan nih?” tanya gue, memastikan.
“Iya. Tapi dua game dulu, ya.” Balas Jordi.
Karena tuan rumah sudah berkata seperti itu, gue hanya menurut saja. Lumayan, jadi nggak keluar ongkos untuk pesan ojek online, pikir gue.
Sesuai janji, setelah menyelesaikan dua babak permainan, mereka langsung mematikan monitor dan nintendo switch yang mereka mainkan. Kemudian mengantar gue ke kos untuk mengambil barang yang tertinggal.
Sekembalinya dari kos gue, kami langsung mengemasi barang bawaan dan memesan taksi online dengan tujuan bandara.
***
Selesai check-in, kami berempat harus melakukan sedikit olahraga dengan berjalan dari tempat check-in menuju gate terakhir di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta. Berjalan kaki sebenarnya tidak lah berat. Yang menjadi persoalan adalah waktu. Ya, kami hanya punya waktu sekitar 10 menit sementara tempat yang harus kami tempuh cukup jauh.
Mau tidak mau, kami harus berlari untuk mempersingkat waktu. Lari saja mungkin tidaklah berat. Yang menjadi persoalan kedua adalah, kami harus berlari sambil membawa kardus berisi souvenir pernikahan teman kami, yang di dalamnya berisi barang pecah belah.
Yup, itu menjadi tantangan yang kami harus lalui. Masing-masing harus berlari sambil menenteng 1 kardus berisi barang pecah belah dan berpacu dengan waktu agar tidak ketinggalan pesawat. Saat itu gue merasa barang-barang di dalam kardus jauh lebih berharga daripada keselamatan gue sendiri.
Tingkat kesulitan dari tantangan ini semakin bertambah, ketika nama kami diumumkan melalui pengeras suara. Ya, itu adalah last call bagi kami berempat!
Setibanya di Gate 26, boarding pass kami kembali diperiksa oleh petugas. Usai pemeriksaan tersebut, kami diperbolehkan untuk masuk. Untungnya ketika itu sudah ada bus yang standby. Sehingga kami tidak perlu menunggu bus jemputan selanjutnya.
“Subuh-subuh gini bukannya tahajud, kita malah lari-larian di bandara.” Ucap gue, sembari melepas jaket karena gerah.
“Salah siapa lupa bawa celana sama ikat pinggang?” sindir teman gue, dengan nada bercanda.
Sontak, gue langsung tertawa karena penyebab kekacauan ini adalah gue. Roda bus yang kami tumpangi pada waktu dinihari tersebut berhenti. Memberitahu penumpang yang berada di dalam bahwa tugasnya sudah selesai. “Terima kasih, pak,” ucap gue sambil berpamitan.
Ini adalah pengalaman pertama gue ikut penerbangan dinihari. Karena ini penerbangan dinihari, gue berpikir bahwa nantinya gue dapat tidur dengan mudah.
***
Setelah dua jam penerbangan yang cukup melelahkan, pesawat yang kami tumpangi akhirnya berhasil mendarat di Makassar. Karena masih harus transit, mau tidak mau kami harus menunggu di Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin selama dua jam.
Baca juga: Pengalaman Terbang di Masa Pandemi
“Eh, cari sarapan yuk? Laper nih.” Ajak gue.
“Mana sempat kalau sarapan. Kita cari roti aja,” jawab Jordi.
Kami langsung berbagi tugas. Kelompok pertama bertugas untuk memesan kopi dan membawanya ke meja. Tugas ini dikerjakan oleh Jordi dan Opik. Kelompok dua bertugas untuk pergi membeli roti. PIC dari roti adalah AT. Kelompok terakhir atau ketiga, bertugas untuk menjaga barang bawaan kami semua, sekaligus mengamankan meja. PICnya adalah gue.
Menurut gue, itu adalah Jumat pagi paling menyenangkan sepanjang tahun 2021 ini. Menyenangkan karena ini adalah kali pertamanya gue melakukan perjalanan ke Sulawesi. Yang paling menyenangkan lagi adalah, perginya bersama teman-teman.
Meskipun dalam keadaan mengantuk, gue berusaha menikmati dan mengabadikan momen ini dalam kepala gue.
Puas menyantap roti dan segelas kopi di pagi hari, kami segera bersiap untuk meneruskan perjalanan. Melalui pelantang suara, petugas bandara mengumumkan bahwa penumpang dengan tujuan Gorontalo dapat berkumpul di Gate 3.
Setelah melalui satu jam penerbangan, pesawat yang kami tumpangi akhirnya mendarat di tujuan akhir, Gorontalo. Rasanya sangatlah menyenangkan bisa berkunjung ke dua kota yang belum pernah gue kunjungi bersama dengan ketiga teman.
Satu jam menunggu, akhirnya sang tuan rumah menampakkan batang hidungnya juga. “Cari makan dulu yuk, Will. Laper,” bujuk gue. “Kalau bisa, kuliner khas sini aja.”
“Sebentar ya, Za. Kita drop barang di hotel dulu.” Ujarnya.
Setelah memasukan semua barang bawaan ke dalam mobil, mobil yang kami tumpangi itu langsung berangkat menuju hotel. Satu hal yang gue sadari saat dalam perjalanan menuju hotel, jarak dari Bandara menuju penginapan ternyata lumayan jauh.
“Lebih kurang sekitar jam untuk sampai ke pusat kota,” kata Willy.
Mengetahui jaraknya yang lumayan jauh, gue langsung memejamkan mata. Mencuri waktu untuk tidur.
***
Setelah beristirahat di hotel, kami berempat diajak untuk mampir ke rumah calon istrinya Willy untuk makan siang. Mendengar kata makan, suasana hati gue langsung berubah. Akhirnya makaan! seru gue, dalam hati.
Setibanya di rumah calon mempelai wanita, kami langsung dijamu dengan pelbagai macam masakkan khas Sulawesi. “Kalian boleh makan sepuasnya di sini. Kalau kalian sanggup, kalian boleh habiskan ini semua.” Ujar calon mempelai wanita.
Ya, gue dengan senang hati akan menggunakan kesempatan itu dengan baik untuk melahap semuanya. Sebab, belum tentu gue bisa menemukan hindangan seperti ini di Jakarta.
Selesai santap siang dan diskusi singkat terkait agenda untuk malam nanti, kami berlima kembali ke hotel. Ada yang mempergunakan waktunya untuk tidur, ada juga yang menggunakan waktunya untuk menyelesaikan tugas kantor.
Malamnya, kami berempat bersiap untuk agenda penting, yakni Sangjit. Buat yang belum tahu, Sangjit merupakan sebuah ritual pertunangan dalam tradisi Tionghoa-Indonesia. Acara Sangjit ini, bisa dibilang mirip seperti acara seserahan.
Keluarga dari mempelai laki-laki akan mendatangi keluarga mempelai wanita sembari membawa barang-barang seserahan. Lalu menyerahkan seserahan yang dibawa kepada keluarga mempelai wanita.
Sesuai briefing sebelumnya, untuk acara Sangjit tersebut, kami diberikan kebebasan untuk mengenakan baju warna apa saja. Berhubung gue punya baju batik warna merah, gue memutuskan untuk menggunakan baju itu untuk acara Sangjit nanti.
Setibanya di lokasi acara, kami berempat dibriefing lagi mengenai urutan dan tugas masing-masing.
Malam itu tugas kami berempat adalah membawa barang seserahan lalu memberikannya kepada keluarga mempelai wanita. Setelah memberikan seserahan kepada keluarga mempelai wanita, kami berempat langsung mencari meja kosong untuk duduk.
***
Sabtu, 09 Oktober 2021
Pagi harinya, gue bangun dengan keadaan letih. Ini semua karena kemarin gue tidak tidur seharian. Selain tidak tidur, kemarin itu kegiatannya cukup menguras tenaga. Dimulai dari lari-larian di Terminal 3 Bandara, setibanya di hotel langsung menyelesaikan tugas kantor, menjelang malam harus bersiap untuk acara Sangjit.
Berhubung Sabtu ini kami tidak punya agenda penting, kami sepakat bahwa hari ini akan dipergunakan untuk istirahat. Setelah mengemas barang bawaan, kami check out dari hotel tersebut untuk pindah ke hotel satunya lagi.
“Jadi kita mau drop barang di hotel dulu atau nongkrong?” tanya gue kepada yang lain.
“Kita nongkrong dulu sekalian temanin AT ngerjakan tes. Habis itu baru kita drop barang di hotel.”
Mobil yang kami tumpangi itu melaju dengan lincah di jalanan dan menepi di sebuah café yang namanya sudah tak asing bagi kami semua. Yes, itu adalah café Upnormal.
“Te, lu tunggu di sini dulu, ya. Kita mau balik ke hotel tadi. Ada barang yang ketinggalan,” kata Jordi.
Ate yang sudah turun dari mobil langsung mengiyakan. “Tapi jangan lama-lama, ya. Temani gue kerjakan soal tes.”
Setelah mencapai kata sepakat, kami berpamitan kepada Ate. Satu hal yang mungkin Ate tidak ketahui, bahwa saat itu kami berbohong soal mengambil barang yang tertinggal. Yang sebenarnya terjadi adalah, setelah menurunkan Ate di café, kami langsung tancap gas menuju rumah calon mempelai wanita, untuk mengisi perut kami yang kosong.
Setelah mengisi perut di rumah mempelai wanita sesuai janji kami kepada Ate, kami kembali ke café tersebut untuk menemani dia mengerjakan tesnya. Sembari menunggu pesanan, gue menyibukkan diri dengan menyelesaikan tugas kantor. Sementara itu AT masih sibuk mengerjakan soal tes yang dia dapat ketika melamar kerja.
Setelah melunasi tugas kantor, dan teman kami sudah mengerjakan tes, akhirnya kami pergi ke hotel satunya lagi untuk check-in.
Saat sedang check-in, tiba-tiba kaki gue terasa lemas. Duh, kenapa harus sekarang sih kambuhnya? Padahal, besok itu agendanya penting, pikir gue.
Supaya lemasnya tidak bertambah parah dan tidak membuat yang lainnya khawatir, gue memutuskan untuk tidak ikut berbelanja perlengkapan untuk acara besok. “Sorry ya, gengs. Gue nggak bisa ikut belanja karena masih ada tugas yang harus diselesaikan.”
“Bener nih lu nggak ikut? Kita mau sekalian jalan, lho. Lihat-lihat Gorontalo.” respon Ate.
“Iya, gue masih ada tugas untuk bikin tutorial dalam bentuk video.”
“Lu serius nggak mau ikut, Za?” tanyanya, sekali lagi. Memastikan bahwa keputusan gue sudah matang.
“Iya, Te. Gue masih ada 1 task lagi dan harus di-submit hari ini juga.”
“Oke, gapapa. Tolong jagain kamar, ya, Za.”
“Siap.” Kata gue. “Btw, nanti titip makan malam, ya. Sama pisang juga, kalau kalian nggak keberatan.” Pesan gue, sebelum menutup pintu.
***
Minggu, 10 Oktober 2021
Jam 8 pagi, gue mengambil inisiatif untuk mandi paling pertama. Setelah gue, selanjutnya giliran Willy atau pengantin pria untuk mandi. Ya, dengan kamar mandi yang hanya satu dengan isi lima orang di dalam kamar, mau tidak mau kami harus bergantian menggunakan kamar mandi.
Setelah mandi, kami para groomsmen langsung mengenakan kemeja putih, dan memasang suspensi suspender. Sementara itu, mempelai pria, mengenakan kemeja dan jas berwarna putih.
Jujur saja, ini kali pertamanya gue mengenakan suspender. Sehingga gue tidak tau bagaimana cara berpakaian yang benar. Sehingga gue beberapa kali meminta pendapat Ate apakah cara berpakaian gue sudah benar.
Jam sepuluh, kami berlima diajak ke lobby hotel untuk sesi foto-foto. Pada saat sesi foto-foto tersebut, sebenarnya kaki gue masih terasa lemas. Tetapi, hari itu gue merasa bahwa kaki gue sudah mulai membaik. Mungkin karena semalam gue sudah istirahat dengan cukup dan tidak banyak bergerak.
Setelah sesi foto-foto, kami semua dipersilakan untuk istirahat dan diperbolehkan untuk kembali ke kamar karena selanjutnya adalah sesi foto-foto untuk bridesmaid.
Setelah istirahat yang cukup singkat, kami diminta untuk bersiap karena agenda selanjutnya adalah mempelai pria beserta rombongan akan menjemput mempelai Wanita lalu bersama-sama berangkat menuju gereja.
Setibanya di gereja, sekali lagi kami diberikan brief tentang apa yang harus kami lakukan. Acara pernikahan tersebut berjalan dengan penuh khidmat. Tanpa ada halangan yang berarti.
Setelah pengucapan janji suci, kami berempat harus berpamitan dengan Willy dan Widya karena kami harus pergi ke suatu tempat untuk melakukan test PCR.
***
Malamnya, kami semua berkumpul di Gedung Grand Palace Convention Center tempat acara resepsinya dilaksanakan. Di pintu masuk, terlihat rombongan keluarga Willy dan juga keluarga Widya sudah bersiap di posisinya masing-masing.
Para groomsmen dan juga bridesmaid sudah bersiap di posisinya masing-masing. Malam itu, kami rombongan groomsmen mengenakan setelan jas berwarna hitam dengan dasi kupu-kupu warna biru. Sementara itu, brides maidnya menggunakan dress berwarna biru.
“Karena jumlahnya gajil, jadi, nanti kamu yang jalan paling depan, ya.” Kata panitia kepada gue.
“Oke. Kira-kira ada yang harus saya lakukan nggak nanti?” tanya gue, dengan nada antusias.
“Nanti, kamu masuk setelah keluarganya Willy masuk.”
“Beres,” balas gue, mengerti.
Setelah rombongan keluarga dari mempelai pria dan Wanita melewati red carpet, tibalah giliran kami para groomsmen dan bridesmaid untuk masuk.
Ketika gue berhenti, teman gue, Ate, berbisik ke telinga, “lu jalannya kecepetan. Kami semua ketinggalan.”
“Oh iya? Emang jalan gue cepet, ya?” tanya gue, tidak percaya.
“Jalan lu kecepetan, Za.” Timpal Jordi.
“Kenapa nggak kasih kode kalau gue jalannya kecepetan?”
“Gimana mau kasih kode, lunya aja udah jauh.”
Yah, seketika gue merasa malu. Harusnya gue menyempatkan untuk melirik ke belakang, atau setidaknya memerhatikan langkah kaki supaya gue tidak meninggalkan mereka di belakang. Karena itu semua sudah terjadi, yang bisa gue lakukan hanyalah menertawakan diri sendiri.
“Yah, maaf, gue nggak tau. Tadinya gue pikir jalan gue lelet. Tau sendiri kan, kaki gue lagi lemes.” Kata gue. “Yaudahlah, udah terlanjur juga.”
***
Senin, 11 Oktober 2021
“Lu ikut kami lah, Za. Sayang udah jauh-jauh ke sini tapi nggak ikut jalan,” bujuk Ate.
“Iya, Za. Meetingnya kan bisa di dalam mobil,” balas Sherin.
“Okee, gue akan ikut,” balas gue setelah termakan bujukan dari teman-teman gue.
Dari rumah mempelai Wanita, kami berempat kembali ke hotel untuk mengambil beberapa barang yang diperlukan. Setelah semuanya siap, kami berempat pergi ke sebuah SPBU yang dijadikan sebagai titik kumpul.
Tak lama, mobil yang diisi oleh rombongan Willy tiba juga di SPBU yang kami sepakati. Dari pom bensin tersebut, kami langsung pergi menuju sebuah tempat wisata untuk melihat Whale Shark.
Perjalanan dari pusat kota menuju tempat wisata tersebut memakan waktu sekitar satu jam. Jaraknya, boleh dibilang cukup jauh. Tetapi untuk akses menuju tempat wisata tersebut sangatlah mudah karena jalanannya sangat bagus dan lancar.
Sepanjang perjalanan, kami disuguhkan dengan pemandangan alam yang sangat indah. Banyak pepohonan, lautan yang terlihat indah.
Setibanya di tempat wisata Whale Shark, kami menyewa empat perahu sekaligus. Masing-masing perahu hanya bisa dinaiki oleh 4 orang saja termasuk pengemudi perahu. Karena gue tidak bisa menumpang perahu yang dinaiki oleh Jordi, Ate dan Opik, mau tidak mau gue harus terpisah dari mereka dan menaiki perahu lainnya.
Di perahu yang gue tumpangi, gue ditemani oleh Joe yang merupakan adik ipar Willy, dan juga Putri yang merupakan bridesmaid pada acara pernikahannya Willy dan Widya kemarin.
Ini merupakan pengalaman pertama gue melihat wujud Whale Shark secara langsung dan gue ingin mengabadikan momen tersebut dengan mengambil foto dan video sebanyak mungkin.
Setelah menunggu beberapa waktu, Whale Shark yang ditunggu mulai terlihat setelah diberi umpan ikan-ikan kecil oleh nelayan yang menjadi juru kemudi kapal. Ketika Whale Shark tersebut menghampiri kapal yang gue tumpangi, gue langsung mendokumentasikannya.
Puas mengambil beberapa video dan gambar, juru kemudi kapal mengarahkan gue untuk menyentuh Whale Shark tersebut secara langsung. Yang gue rasakan ketika menyentuh Whale Shark dengan tangan sendiri adalah, seru! Ternyata bisa semenyenangkan ini melihat dan menyentuh Whale Shark langsung.
“Jangan sentuh ke arah matanya, kak. Sentuhnya ke arah belakang aja. Kalau ke arah mata, nanti dikiranya kita ini orang jahat,” kata Jo kepada gue.
Gue megangguk dan segera membenarkan posisi tangan supaya tidak membuatnya merasa terancam. Melalui kegiatan ini, sejenak gue bisa melupakan penat akibat kerjaan yang menjerat selama seminggu terakhir. Ya, beberapa hari sebelum berangkat ke Gorontalo, gue mendapat tugas yang cukup serius dan juga berat. Sehingga gue butuh yang namanya healing, kalau kata anak zaman sekarang.
Untunglah kantor memberikan kebijakan WFA (Work From Anywhere). Sehingga gue bisa menghadiri acara pernikahan teman gue, sekaligus liburan atau healing di Gorontalo.
Gue merasa beruntung Ate dan juga Sherin mau membujuk gue untuk ikut melihat Whale Shark pada saat itu. Sehingga gue bisa ikut merasakan momen ini. Seandainya Ate dan juga Sherin nggak membujuk gue untuk ikut, mungkin saat itu gue sedang terjebak di kamar hotel dengan agenda meeting. Setelah meeting selesai, mungkin gue akan lanjut nonton drama korea.
Puas bermain, kami semua harus berpamitan dengan sang “tuan rumah”. Perahu yang kami tumpangi mulai menepi ke daratan. Setelah membersihkan diri, kami kembali melanjutkan perjalanan.
***
“Masih jauh kah, Jo?” Tanya gue kepada Jonathan, adik iparnya Willy.
“Ini sudah dekat,” jawabnya.
Ternyata perjalanan dari tempat pariwisata Whale Shark menuju ke tempat makan Coto Makassar terenak di Gorontalo sangatlah jauh. Gue jadi mengerti mengapa sebelumnya Willy mengajak kami mampir ke sebuah café tak jauh dari tempat melihat Whale Shark. Rupanya itu adalah upaya untuk mengganjal perut sebelum makan besar.
Karena gue dalam keadaan lapar dan mengantuk, maka pilihan gue cuma satu, yaitu memejam mata. Jika dihitung, perjalanan mencari Coto Makassar terenak di Gorontalo memakan waktu sekitar 1 jam lebih. Setibanya di lokasi, gue bisa mencium aroma yang cukup familier. “Pasti enak nih,” pikir gue.
Kami mengamankan tiga meja sekaligus. Satu meja untuk rombongan keluarga Willy, satu meja untuk kami, rombongan cowok, dan juga meja untuk rombongan cewek. “Mau langsung pesan?” tanya pemilik tempat makan.
“Nanti saja, pak. Kami masih menunggu rombongan,” jawab Jordi, tegas. Rasanya tidak adil dan tidak setia kawan jika kami memesan dan makan lebih dulu. Lagipula, terpisahnya kami dari rombongan Willy dikarenakan mereka mau membeli oleh-oleh khas Gorontalo.
Ketika membahas oleh-oleh, gue baru teringat bahwa gue belum membeli oleh-oleh. Gue juga lupa untuk nitip ke Willy. Mau tidak mau, gue pulang ke Jakarta dengan tangan kosong. Sepertinya teman-teman gue, Opik dan Jordi juga demikian.
Setibanya rombongan Willy di tempat perjanjian, kami langsung memesan coto untuk mengisi perut malam itu. Satu per satu pesanan kami dicatat oleh adik iparnya Willy. “Aku yang daging, minumnya teh manis anget.” Pesan gue.
Beres mencatat semua pesanan kami, catatan tersebut diserahkan kepada pemilik tempat makan.
Sembari menunggu pesanan dibuat, kami saling memberitahu akun media sosial supaya saling follow. Harapannya, dengan saling follow media sosial ini, bisa merekatkan tali silahturahim. Setelah belasan menit menunggu, coto pesanan kami sudah tiba di meja masing-masing. Siap untuk disantap.
Sekali lagi, sebagai tuan rumah dan pemilik acara, kami memberi kesempatan kepada Willy untuk memimpin doa makan. Setelah berdoa, kami langsung menyantap hidangan yang ada di depan. Cacing-cacing di perut seketika langsung diam setelah disiram oleh kuah coto makassar dan juga dua ketupat.
“Kenapa, lu?” tanya Ate, saat melihat gue sedang gelisah.
“Kekenyangan. Rasanya mau muntah.”
“Lu kebanyakan minum, sih.”
“Yah, namanya juga lagi haus,” balas gue,
Harus gue akui, coto makassar pilihannya Joe—mungkin juga menjadi langganan Widya sekeluarga—itu rasanya enak. Tadinya gue sempat meragukan rasa dari coto di sini. Setelah gue coba langsung, gue pun cukup puas dengan rasanya.
Usai makan coto makassar, kami semua kembali ke penginapan untuk menyiapkan barang, karena esok pagi kami harus kembali ke Jakarta.
***
“Tolong titip punya gue ya, Za,” kata Opik, menyarahkan kantung plastic berisi sarapan pagi dan sebotol air mineral ke gue.
“Lu yakin? Ntar tumpah. Gue kayaknya bakal tidur di jalan.”
“Gapapa. Gue yakin lu nggak akan tidur.” katanya.
Setelah semua barang dimasukkan ke dalam mobil, kami semua berpamitan dengan Willy dan juga keluarganya Widya. Untuk sementara waktu, Willy akan menetap di Gorontalo karena masih harus mengurus beberapa hal.
Sementara itu yang akan berangkat ke Jakarta berjumlah 9 orang. Keluarga Willy yang terdiri dari ibu, bapak, dan juga koko (abang), kemudian 4 groomsmen, tak lain adalah gue, Jordi, Opik, dan juga Ate. Lalu satu orangnya lagi adalah Sherin, MUA alias makeup artist untuk acara pernikahan Willy kemarin.
Setelah 45 menit perjalanan dari penginapan, akhirnya kami tiba juga di bandara Gorontalo. Sadar bahwa ketiduran, gue langsung memeriksa sarapan milik Opik yang terbungkus di dalam plastic dan berada di pangkuan gue.
Yup, percis seperti dugaan gue. Sarapannya sudah tidak beraturan lagi. Sebagian nasinya sudah keluar dari dalam wadah berbentuk kotak, sayuran dan juga minyak dari lauknya juga ikut keluar. Dapat dikatakan, makanan ini sudah tidak layak untuk dimakan karena sangat berantakan.
“Pik, sorry, ya, tadi gue ketiduran,” kata gue sambil menunjukkan hasil “mahakarya” gue pada saat tidur.
Opik menatap kotak sarapannya dengan tatapan nanar. Dia hanya menghela nafas panjang setelah melihat mahakarya gue itu. Ketika itu gue merasa amat bersalah. Karena gue, dia jadi nggak bisa sarapan pagi. “Yaudah, mau gimana lagi, udah kejadian,” responnya.
Opik berjalan mengambil troli. Seketika gue langsung teringat dengan bekal sarapan pagi gue. Apakabar sarapan gue, ya?
Gue buru-buru membuka tas, dan mendapati bekal sarapan bernasib sama seperti Opik. Hanya saja, gue lebih apes karena tumpah di dalam tas. Akibatnya, tas gue jadi berminyak dan tercium aroma sambal.
***
Tepat jam 12 siang, pesawat yang kami tumpangi sudah mendarat di Bandar udara Soekarno Hatta. Sepanjang perjalanan dari Gorontalo hingga Jakarta, gue hampir tidak mengucapkan sepatah kata apapun saat menatap Opik—kecuali untuk hal-hal penting. Saat itu gue masih dihantui oleh rasa bersalah karena sudah menumpahkan makanannya, membuat dia jadi nggak bisa sarapan pagi.
Setelah keluar dari pesawat, kami langsung mengantar keluarga Willy ke tempat transit, karena mereka masih harus melanjutkan perjalanannya. Kembali ke Pontianak, Kalimantan Barat. “Hati-hati di jalan, Om, Tante, Ko Anton,” ucap kami berlima, mengucapkan salam perpisahan.
Setelah mengantar keluarga Willy, kami berlima langsung mengambil barang di bagasi. Satu hal yang gue tidak suka dari menaruh barang di bagasi adalah, lama. Tapi mau gimana lagi, koper kami sama-sama besar dan bebannya lebih dari 7kg. sehingga tidak memungkinkan untuk ditaruh di kabin pesawat.
30 menit menunggu, barang-barang yang berada di bagasi akhirnya sampai ke pelukan masing-masing penumpang. Sadar sama-sama belum sarapan dari pagi, kami sepakat untuk makan siang dahulu sebelum berpisah.
Beres memesan makanan, kami mengambil meja kosong di dekat pintu keluar dan masuk. Saat itu tempat makan yang kami kunjungi lumayan ramai. Mungkin karena kebetulan sedang jam makan siang dan ada beberapa pesawat yang baru saja mendarat, membuat tempat makan ini menjadi cukup ramai.
Usai makan siang, kami langsung berpisah di terminal 2F. Jordi, AT, Sherryn, dan Opik memesan taksi online. Sementara itu gue harus berjalan sambil menarik koper sejauh beberapa ratus meter untuk mencari bus tujuan Bandar Udara Soekarno Hatta – Mall Taman Anggrek.
20 menit menunggu, bus dengan tujuan Mall Taman Anggrek berhenti tepat di depan gue. Sepanjang perjalanan, gue berharap ada lebih banyak kesempatan atau kegiatan seperti ini—travelling bersama ke luar kota—di kemudian hari, bersama dengan kawan-kawan tentunya.
Demikian kisah perjalanan gue bersama kawan-kawan ketika menghadiri acara pernikahan teman di Gorontalo. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan yang panjang ini. Selamat berlibur!
wah asyiknya bisa jalan2 ke sana