Tak pernah terbayang oleh gue bahwa suatu hari nanti gue akan mengikuti rapid test. Gue pikir, gue tidak perlu mengikuti rapid test karena selalu taat dengan anjuran pemerintah untuk tetap di rumah. Pun, kalau keluar rumah, keluarnya untuk urusan penting atau mendesak seperti menyetor uang ke bank agar bisa bayar kos, belanja kebutuhan dan potong rambut.
Rupanya gue keliru. Pada akhirnya gue harus mengikuti rapid test sekalipun selama ini gue mengikuti anjuran untuk tetap di rumah. Dalam postingan kali ini, gue akan membagikan pengalaman gue mengikuti rapid test. Sebagai catatan, proses atau alurnya mungkin bisa berbeda antara satu tempat dan tempat lainnya.
Supaya lebih mudah, selanjutnya kata “rapid test” akan gue ganti menjadi cek kesehatan. Gue melakukan cek kesehatan di rumah sakit swasta di daerah gue. Begini ceritanya…
Jadi ini cerita ini bermula pada saat gue iseng mengecek harga tiket pesawat melalui aplikasi OTA (Online Travel Agent). Belakangan gue memang cukup sering mengecek harga tiket pesawat untuk sekadar mencari tau berapa tarif perjalanan di tengah situasi pandemi seperti sekarang ini. Ketika menemukan ada satu penerbangan yang harga tiketnya jauh di bawah standar alias murah, gue yang awalnya hendak tidur siang langsung membatalkan niat tersebut dan segera mencari nyokap.
“Ma, ada tiket pesawat murah!” kata gue mengabari nyokap. Gue langsung menyodorkan hape ke nyokap yang saat itu sedang memasak sayur bayam. “Nih, murah kan?”
“Ini kapan?” tanya nyokap, penasaran.
“Untuk tanggal 7 Agustus.”
“Pesan gih,” balas nyokap mengetahui ada tiket murah untuk penerbangan bulan depan.
“Mama ikut nggak?” gue bertanya sebelum memesan, karena sebelumnya nyokap memang ada rencana untuk pergi ke Jakarta.
“Entah, mama coba telpon Tante Ocha dulu, deh.”
Sementara nyokap menghubungi Tante Ocha, gue coba ngecek saldo di rekening sambil berharap uang refund dari pembatalan perjalanan sebelumnya sudah masuk ke rekening gue. Benar saja, uang refundnya sudah ditransfer oleh pihak Online Travel Agent dari pertengahan bulan Juni kemarin. Itu artinya gue bisa menggunakan uang tersebut dan hanya perlu nambah sedikit untuk memesan tiket.
“Gimana, ma?”
“Belum diangkat sama Tante Ocha. Mungkin lagi kerja.”
“Yaudah, kalau gitu abang pesan duluan, ya? Takut nanti harga tiketnya naik.”
“Iya, pesan dulu aja.”
Gue kembali membuka aplikasi OTA. Kali ini bakal memesan tiket untuk diri gue sendiri. Gue merefresh halaman informasi penerbangan sebanyak 3 kali untuk memastikan apa yang gue lihat adalah sebuah kenyataan. Kenyataan yang harus gue terima ialah, harga tiket untuk tanggal 7 Agustus sudah naik dua kali lipat! Kaki gue mendadak lemas dan keringan dingin menguyur badan saat melihat harga tiket yang tiba-tiba merangkak naik.
Kalau begini, bisa pupus harapan untuk pulang ke Jakarta, batin gue.
Sebagai informasi, sebetulnya gue sudah kepengin pulang ke Jakarta itu sejak bulan April kemarin. Namun karena Jakarta sedang darurat, gue berpikir untuk menunggu sampai situasinya sedikit tenang. Saat itu gue masih cukup optimis bahwa masalah ini bisa dituntaskan paling lambat selesai lebaran.
Selesai lebaran dan ketika gue siap untuk pulang, gue terpaksa menunda lagi karena terkendala Surat Izin Keluar Masuk (SIKM). Berhubung gue enggak tau sampai kapan aturan tersebut berlaku, gue pikir lebih baik mengajukan refund. Lagipula, gue sudah menghabiskan “jatah” reschedule sehingga opsi yang tersisa hanya refund.
Tak ingin menyerah, gue coba lagi mencari tanggal penerbangan yang murah sekalipun harus mengorbankan kebiasaan tidur siang. “Ini dia!” kata gue begitu menemukan tanggal penerbangan termurah yang rupanya hanya selisih sehari dari tanggal sebelumnya. Saking senangnya menemukan kesempatan seperti ini, gue langsung memesan dan melakukan pembayaran pada saat itu juga.
Tak lama setelah membayar, gue langsung mendapat notifikasi e-ticket untuk penerbangan tanggal 8 agustus. Sementara itu nyokap masih berusaha membujuk adik gue agar mau ikut ke Jakarta karena sekolahnya masih melakukan kegiatan belajar secara online. Tentu saja adik gue menolak ajakan nyokap karena dia khawatir jika dapat tugas dari gurunya.
Lelah membujuk, nyokap akhirnya memutuskan untuk tidak ikut ke Jakarta. Enggak masalah, yang penting gue bisa pulang dulu ke Jakarta.
Hari berganti, Idul Adha pun datang lebih cepat dari yang gue harapkan. Entah kenapa gue mulai merasa khawatir dan sedikit stress soal pulang ke Jakarta ini. Yang jadi kekhawatiran gue ialah munculnya pemberitaan cluster perkantoran di Jakarta. Jika di perkantoran mulai ada karyawan yang positif, artinya, kesempatan untuk bisa mendapat pekerjaan akan semakin kecil. Tentu ini sangat tidak menguntungkan bagi gue yang sedang mencari kerja.
Gue mulai menimbang apakah sebaiknya mengundur tanggal pulang (lagi) atau tetap pada pendirian. Gue mencoba melirik pilihan reschedule, namun rupanya, pada aplikasi OTA tersebut tidak tersedia pilihan reschedule seperti sebelumnya. Dengan situasi tersebut, yang muncul dipikiran gue ialah “gas aja lah! Mumpung enggak butuh SIKM”.
Ini seperti sebuah kebetulan. Seolah gue diharuskan untuk segera kembali ke Jakarta.
“Mama punya kabar baik.” Kata nyokap pada saat gue sedang mencatat daftar persyaratan yang harus disiapkan untuk bila ingin masuk Jakarta. “Mama kan barusan dari rumah tante dokter. Kata dia, kalau abang mau rapid test, ikut tante dokter aja. Nanti ditemenin waktu tesnya. Dia kan, kerja di rumah sakit.”
Mendengar informasi tersebut gue merasa cukup senang. “Boleh, jadi nanti sama tante dokter aja tesnya.”
Setelah menyepakati lokasi, yang perlu diperhatikan berikutnya adalah tanggal untuk tesnya. Menurut berita yang gue baca, masa berlaku rapid test untuk saat ini adalah 14 hari. Meskipun berlaku selama 14 hari, tentu gue enggak mau melakukannya sejak jauh hari karena gue merasa masih akan keluar rumah sehingga hasilnya jadi kurang valid.
Gue pun berunding dengan bokap untuk menentukan tanggal atau waktunya. Dari perundingan tersebut, gue dan bokap sepakat untuk memilih tanggal 6 Agustus alias dua hari sebelum keberangkatan. Kenapa ambilnya dua hari sebelum berangkat? Biar lebih valid aja, karena gue akan membatasi diri tepat setelah cek kesehatan.
Seandainya tes tersebut dilakukan seminggu atau sepuluh hari sebelum keberangkatan, tentu akan sulit karena gue pasti bepergian ke luar entah untuk membeli sayur atau sekadar beli jajan di luar.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Tidak seperti biasanya, hari itu gue bangun lebih pagi, yakni jam 6 pagi. Persiapan gue untuk mengikuti cek kesehatan terbilang biasa-biasa saja: tidur sekitar jam 11 malam, minum teh jeruk sebelum tidur dan paginya sarapan lontong. Bagi gue rapid test ini sama seperti cek kesehatan pada umumnya, yang mana sudah sangat sering gue lakukan antara tahun 2015 dan 2016.
Berbekal pengalaman tersebut, gue merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari tes kali ini.
Sesudah sarapan, gue langsung mengganti baju. Baju yang gue kenakan saat itu biasa-biasa aja karena gue pikir nggak akan lama. Cuma tes doang, toh? pikir gue.
Sementara itu nyokap gue sudah berdandan serapih mungkin. Padahal yang test anaknya, kenapa jadi dandanan mama yang paling oke, batin gue saat melihat nyokap sudah berpakaian rapih.
Di jalan menuju rumah sakit, gue banyak mengobrol dengan tante dokter. Obrolan kami tidak jauh dari perkuliahan dan Jakarta karena ini kali pertamanya kami saling bertemu. Selama ini tante dokter hanya akrab dengan nyokap dan adik gue karena nyokap dan adik gue cukup sering main ke rumahnya entah untuk menemani Kak Ayu atau sekadar bertukar pikiran dengan tante dokter di waktu senggangnya.
Ngomong-ngomong, supaya lebih enak selanjutnya gue akan mengganti panggilan tante dokter dengan sebutan Tante Dila (bukan nama sesungguhnya).
Nyokap sendiri juga sering bercerita tentang kebaikan Tante Dila. Gue jadi tahu sedikit bagaimana walau belum pernah bertemu secara langsung. Ngomong-ngomong, Tante Dila ini masih bertetangga dengan kami—masih satu komplek tapi rumahnya berjauhan—dan karena anaknya Tante Dila nikah sama keponakannya nyokap, jadi kami sudah seperti keluarga saja.
Sesampainya di rumah sakit tempat Tante Dila bekerja, gue langsung diajak ke pos khusus pencegahan covid untuk segera menjalani rapid test. Seluruh petugas yang ada di pos tersebut langsung menyapa Tante Dila.
Sembari mengobrol, Tante Dila mengenalkan gue ke petugas yang ada di dalam pos tersebut. “Rapidnya masih bisa, ‘kan, Sri?” tanya Tante Dila kepada salah satu petugas yang ada di dalam pos tersebut.
“Masih dok, dokter mau rapid?”
“Enggak, tapi keponakan saya. Lusa dia mau berangkat ke Jakarta,” balas tante dokter. “Reza bawa KTPnya, ‘kan?” Tante Dila melihat ke gue.
Gue langsung mengecek dompet di saku celana bagian belakang. Sial, rupanya KTP gue ketinggalan di kamar, batin gue saat itu. Gue lumayan panik karena merasa enggak enak bikin Tante Dila menunggu. Gue langsung menyalahkan diri sendiri karena lalai dan abai dengan pesan bokap yang sudah mengingatkan untuk mengecek KTP sebelum berangkat.
“Ketinggalan di rumah tante, Reza kira KTPnya sudah di dalam dompet.” kata gue dengan suara pelan.
“Yasudah, minta tolong adek buat fotoin KTPnya trus kirim ke whatsapp tante.”
Mendengar jawaban tersebut, gue merasa sedikit lega. Ya, gue masih punya harapan untuk ikut tes ini tanpa harus menjemput KTP. Gue langsung menelpon adik gue yang saat itu sedang di rumah. Untungnya di daerah gue anak-anak sekolah masih menggunakan sistem belajar jarak jauh alias online. Kalau belajarnya di sekolah, gue harus pulang ke rumah dengan naik ojek online dan akibatnya Tante Dila jadi terlambat bekerja.
“Dek, bisa tolong fotoin KTP abang? Kayaknya ketinggalan di kamar,” kata gue mengawali panggilan.
“Oke, teleponnya di matiin atau enggak usah?” tanya adik gue yang saat itu sedang sibuk mengerjakan tugasnya.
“Abang matiin aja, nanti tolong kirim ya, makasih.” Tutup gue mengakhiri panggilan tersebut.
Setelah panggilan tersebut, gue langsung menjelaskan situasinya ke Tante Dila bahwa gue sudah meminta adik untuk mencarikan KTP gue yang ketinggalan di rumah. “Oke, Reza tunggu di sini dulu, ya. Tante ada urusan sebentar,” pesan tante dokter.
Gue menggangguk sebagai jawaban. Lalu mencari bangku kosong untuk beristirahat. Selang 7 menit kemudian, gue menerima pesan dari adik gue. Dia berhasil menyelesaikan tugas yang gue berikan dengan baik. Tak lama setelah gue menerima pesan dari adik, Tante Dila kembali dan menanyakan apakah fotonya sudah dikirim atau belum. “Sudah tante,” jawab gue. “Ini langsung Reza kirim ke tante ya?”
“Iya, tolong kirim ke tante.”
Selepas mengirim file yang diminta oleh Tante Dila, beliau langsung berbicara kepada petugas yang ada di pos untuk segera memulai tes. Sementara itu beliau bersama nyokap gue pergi entah ke mana. Mungkin berkeliling menengok rumah sakit, yang jelas gue enggak tau karena posisi gue sedang di pos. Menunggu untuk dicek kesehatannya.
Sebelum memulai tes, petugas yang ada di pos tersebut melakukan wawancara singkat yang berkaitan dengan kesehatan. “Dalam dua minggu terakhir ini Reza pernah flu atau pilek enggak?” tanyanya.
“Enggak, tapi setiap pagi hidung saya kadang berair disertai bersin dan itu hanya terjadi setiap saya bangun tidur (pagi). 30 menit setelah bangun tidur hidung saya mulai normal dan tidak lagi bersin-bersin.” Jawab gue dengan jujur.
Sebetulnya gue merasa sedikit khawatir karena jawaban gue bisa saja mempengaruhi hasil tesnya nanti. Apalagi lusa gue harus berangkat. Jika hasilnya buruk, gue pasti harus membatalkan perjalanan dan wajib menjalani PCR Test. Bagaimanapun juga, saat itu gue merasa harus mengesampingkan ego dan jujur dengan kondisi kesehatan gue sendiri. Dengan jujur, artinya gue meringankan tugas mereka.
Belakangan gue baru tau bahwa penyebab kenapa gue selalu mengalami bersin dan hidung tersumbat setiap bangun tidur pagi itu dikarenakan gue mengalami Rhinitis. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa yang lebih sederhana, sih, Rhinitis itu semacam peradangan atau iritasi dibagian hidung. Penyebabnya karena alergi terhadap bulu hewan peliharaan, serbuk sari dan debu.
“Oke, dalam dua minggu terakhir Reza ada mengunjungi pasar hewan, enggak?”
Gue berusaha mencerna maksud dari pertanyaan tersebut sebelum menjawab. “Maaf, pasar hewan kan, ya?” tanya gue, memastikan bahwa gue enggak salah dengar pertanyaannya.
“Iya, pasar hewan.”
“Kalau pasar hewan enggak, tapi kalau main sama kucing di rumah, iya.” Jawab gue lagi dengan jujur. Gue sengaja mengatakan kepada petugas bahwa selama di rumah gue main sama kucing agar dia bisa menilai sendiri.
“Oke. Lanjut, Reza ada mengunjungi fasilitas kesehatan enggak dalam sebulan ini?”
“Enggak.” Jawab gue mantap, karena gue sama sekali enggak pernah mengunjungi rumah sakit atau tempat praktik dokter selama pandemi. Saking takutnya, saat lagi sakit gigi, gue terpaksa meminum obat yang dibeli dari apotek demi menghindari fasilitas kesehatan.
Selesai wawancara, gue langsung diarahkan ke bangku kosong tak jauh dari tempat wawancara. Di situ sudah ada petugas berAPD lengkap yang siap untuk melakukan test. “Tangannya tolong dikepal dan tahan nafas, ya,” kata petugas berAPD tersebut sesaat hendak menusukkan jarum suntik ke tangan kanan gue. Awalnya gue mengira bahwa rapid test dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke jari. Namun, saat menjalaninya langsung, rupanya proses pengambilan darah dilakukan di lengan.
“Enggak sia-sia dulu sering kontrol kesehatan di rumah sakit,” batin gue. Karena sudah terbiasa melakukannya, gue merasa biasa saja saat harus berhadapan dengan jarum suntik.
Tak lama setelah darah gue diambil, Tante Dila kembali dan berbicara dengan petugas dan menyerahkan selembar kertas dan sebuah sticker yang ada nama gue. Saat melihat sticker itu gue langsung tau ke mana nyokap dan Tante Dila pergi.
“Hasilnya kapan ya bisa diambil?” tanya Tante Dila.
“Sekitar dua sampai tiga jam, dok.” Jawab petugas.
“Oke, nanti saya ke sini lagi. Boleh ‘kan kalau saya yang ambil hasilnya?” tanya tante dokter memastikan.
“Boleh, dok.”
“Terima kasih, ya,” ucap tante dokter kepada petugas yang ada di pos tersebut.
“Makasih,” kata gue juga.
“Sama-sama,” balas mereka sambil tersenyum.
Setibanya di rumah, nyokap langsung bercerita tentang proses ketika mendaftar. “Tadi semuanya yang ngurus tante dokter. Mama cuma disuruh duduk tenang aja waktu urus administrasi.”
Mendengar cerita nyokap gue jadi merasa lega karena Tante Dila sangat membantu. Seandainya Tante Dila enggak tahu kalau gue mau cek kesehatan, mungkin prosesnya jadi lama karena harus urus sana sini. Nyokap pasti pusing karena enggak terbiasa mengurus administrasi begitu.
Soal biaya rapid test, gue yakin setiap tempat memiliki tarif yang berbeda-beda. Untuk rumah sakit tempat gue menjalani pemeriksaan tarifnya sebesar Rp150.000 alias seratus lima puluh ribu untuk satu kali cek dan tarif tersebut sudah turun dari sebelumnya yaitu Rp280.000 untuk satu kali cek. Tante Dila sendiri terkejut. Padahal selisih tanggal pemeriksaan anaknya dengan gue hanya sekitar satu minggu.
Lalu untuk tempat lain seperti bandara, tarifnya jauh lebih murah lagi yakni Rp90.000 untuk satu kali rapid test. Kenapa enggak test di bandara aja? Alasannya karena jarak dari rumah gue ke bandara itu lumayan jauh, sekitar 20 menit perjalanan. Kalau ada yang lebih dekat kenapa harus yang jauh? Hehe.
Satu lagi keuntungan yang gue dapatkan karena ditemani Tante Dila, gue enggak perlu menjemput hasilnya karena yang akan mengambil dan mengantar hasilnya ke rumah adalah Tante Dila sendiri.
Keesokan paginya, Tante Dila mampir ke rumah. Gue yang waktu itu baru bangun tidur, tidak mendengar begitu jelas percakapan antara nyokap dan Tante Dila. Namun intinya, Tante Dila mengatakan bahwa hasilnya bagus. Saat itu gue langsung merasa lega, walau sebetulnya rapid test tidak seakurat PCR test. Alasan mengapa gue enggak ambil PCR tidak lain adalah karena keterbatasan budget.
Seandainya gratis atau disubsidi, gue akan maju paling depan untuk mendaftar tes.
Sekian cerita dari gue tentang pengalaman mengikuti rapid test. Selanjutnya akan bersambung ke cerita tentang proses perjalanan ke Jakarta di tengah pandemi. Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat untuk kalian semua baik yang akan menjalani tes atau pun yang masih wacana. Buat yang masih penasaran Rhinitis itu apa, kenali gejala dan penyebab Rhinitis.
Kalau kalian punya pengalaman serupa, kalian boleh banget berbagi cerita di kolom komentar! Gue tunggu, oke?
Postingan ini sudah mengalami update atau penambahan pertanggal 29 Agustus 2020.
wah apstunya memang deg2 an, banyak yang takut di rapid