Hey, lagi sibuk ngapain sekarang? Kalau gue sedang mengisi libur yang cuma sebentar ini dengan memperbanyak konsumsi makanan yang sehat seperti sayur dan buah-buahan. Hal ini tentunya dilatarbelakangi oleh gaya hidup gue yang kurang sehat seperti: kurang istirahat, jarang makan buah-buahan, dan lain sebagainya.
Oya, sebelumnya gue ingin mengucapkan selamat merayakan natal bagi teman-teman yang merayakan. Selamat berlibur bagi kita semua, para pelajar dan pekerja. Juga selamat mudik untuk yang pulang ke kampung halaman; semoga selamat sampai tujuan.
Menjelang pergantian tahun, setiap bagian dari kita pasti menginginkan sesuatu yang baru atau membuat sebuah perubahan dengan tujuan agar lebih baik dari tahun sebelumnya. Seperti mengganti kebiasaan lama dengan yang baru. Lalu dicatut dalam sebuah kertas, ingatan dan, catatan digital dalam bentuk susunan rencana. Biasa disebut dengan resolusi.
Dipenghujung tahun seperti sekarang ini rasanya kurang afdol kalau belum membahas resolusi untuk tahun berikutnya. Resolusi selalu menjadi topik paling menarik untuk diperbincangkan karena setiap orang memiliki harapan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Resolusi memang bisa bermacam-macam bentuknya. Ada yang tak berwujud seperti: memperbaiki kebiasaan; ada pula resolusi yang berwujud alias bisa dilihat dengan mata seperti: pergi liburan ke negeri orang atau memiliki lensa kamera baru. Tidak ada yang salah, selama itu bisa memotivasi kita untuk melakukan hal baik.
Misalnya ingin punya lensa kamera baru. Dengan resolusi tersebut, si pemilik akan termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi dan menabung supaya uangnya dapat terkumpul dan membeli apa yang dia inginkan.
Apakah hal tersebut berdampak baik? Oh, tentu saja, tergantung cara yang digunakan seperti apa. Kan, enggak lucu bekerja lebih keras dengan cara menjual teman sendiri di website e-commerce~
Ngomong-ngomong soal resolusi, gue pengin menceritakan kepada kalian tentang salah satu resolusi gue untuk 2019 nanti. Iya, salah satu aja, sebab kalau dikeluarkan semua tentu ini akan menjadi tulisan yang sangat panjang bahkan bisa ngelantur kemana-mana.
Oke, akan gue ceritakan pada kalian tentang sebuah resolusi 2019: seberapa pantas kah? Wadaw, seberapa pantas? Sepertinya ini akan menjadi salah satu tulisan yang cukup serius; santai, tulisan ini enggak akan serius-serius amat, gue jamin.
Jadi begini ceritanya…
Sedikit flasback, dulu saat bulan pertama masuk kuliah, gue memiliki cukup banyak kawan. Tentu, karena sejak awal masuk kuliah, gue berinisiatif untuk mengajak orang yang gue temui untuk berkenalan. Ini sengaja gue lakukan karena gue bertekad ingin memperluas koneksi; setidaknya itu yang harus gue lakukan sebagai anak rantau yang sedang belajar menjadi orang yang mandiri.
Saat itu gue berhasil menuntaskan beberapa resolusi yang telah gue buat jauh sebelum masuk kuliah. Resolusi gue ketika itu ialah memperluas koneksi, memiliki pekerjaan dan, cukup mampu secara finansial. Ketika itu semuanya berjalan lancar sesuai rencana. Dan gue masih menjadi anak rantau yang polos; yang belum mengerti betul tentang Ibu kota.
Tahun berikutnya gue kembali membuat resolusi lagi. Resolusi gue ketika itu cukup banyak, namun gue akan menyebut beberapa saja: memenangkan kompetisi blog, mendapatkan lebih banyak job dari kegiatan blogging, dan memantaskan diri sebelum berteman.
Prinsip ini berlaku untuk semua orang. Baik laki-laki maupun perempuan. Orang baru, ataupun yang udah lama kenal. Syarat itu harus gue penuhi sebelum menjadi teman—dalam hal yang lebih serius tentunya. Loh, bedanya apa? Tentu cara penanganan antara teman biasa dan teman baik.
Misalnya dalam segi pinjam-meminjam uang. Gue enggak akan berani meminjamkan uang dalam jumlah besar—seperti 50 ribu—kepada orang yang gue anggap teman biasa. Lain halnya dengan teman baik. Jelas gue lebih berani meminjamkannya, dengan catatan gue punya uangnya dan sedang dalam situasi lagi enggak banyak pengeluaran. Kalian juga pasti begitu, bukan?
Itu salah satu contoh nyata dan masih ada lagi hal lainnya. Teman biasa di sini maksudnya adalah teman yang kalau ketemu sekadar melempar pertanyaan basa-basi lalu pergi atau; ketika bertemu waktu ngobrolnya kurang dari 6 menit.
Ketika gue merasa kurang pantas untuk menjadi teman baik, ya, tidak perlu dipaksakan. Walaupun enggak jadi teman baik, setidaknya kan masih berteman.
Memasuki awal tahun 2018, gue menjadi sedikit galau. Terpilih sebagai mahasiswa dengan peminatan digital business tentu merupakan suatu hal yang cukup berat buat gue. Ya, memang gue sendiri yang ingin masuk peminatan ini, tapi gue merasa dengan masuknya gue, secara enggak langsung gue memiliki kontribusi untuk perkembangan digital business Indonesia. Gue menjadi dilema. Ingin pindah ke peminatan lain pun udah enggak bisa. Maka gue harus menetap, dan mengusahakan yang terbaik.
Tak banyak perubahan yang gue lakukan di tahun 2018 ini. Menurut gue, 2018 menjadi momentum yang tepat untuk melunasi beberapa resolusi yang gue buat di tahun sebelumnya. Bukan cuma melunasi, namun juga mengabadikan hal baik dengan menjadikannya sebuah kebiasaan.
Tak ada alasan khusus; gue mempertahankannya karena ketika itu masih merasa cocok dengan prinsip “memantaskan diri”. Gue sadar betul bahwa jumlah teman gue tidak bertambah banyak seperti di awal masuk kuliah.
Memang benar prinsip ini menghambat laju gue dalam mengembangkan koneksi. Tapi lihat sisi baiknya, gue punya kwalitas hubungan yang amat sangat bagus dengan orang di sekitar gue saat ini. Itulah yang gue rasakan selama menjadikannya sebagai prinsip hidup.
Awalnya memang terasa menyenangkan. Memiliki kwalitas hubungan yang cukup baik dengan orang terdekat; suatu hal yang didambakan oleh kebanyakan orang masa kini. Jauh dari toxic friend, memiliki kwalitas hubungan yang baik. Walaupun teman gue enggak begitu banyak, walaupun circle gue kecil, nyatanya konsep ini betul-betul menyelamatkan gue dari pertemanan yang kurang sehat—seperti julid-menjulid dan hal buruk lainnya.
Namun nyatanya konsep ini tidak selamanya relevan. Sebab waktu terus berjalan dan orang-orang pasti berubah. Dulu gue merasa konsep ini cukup pas untuk dipakai sampai kapan pun. Tapi begitu dijalani selama hampir dua tahun, gue rasa konsep ini sudah tak lagi relevan dan tak lagi sama seperti dulu. Dan gue menyadarinya beberapa bulan yang lalu.
Ketika itu gue merasa ada sesuatu yang berbeda. Seperti diganggu oleh munculnya pertanyaan-pertanyaan didalam kepala. Setiap saat gue dihantui olehnya; dengan pertanyaan yang tak bisa gue jawab seorang diri: apakah gue sudah cukup baik? Jauh sebelum pertanyaan itu muncul, gue dengan senang hati dan tanpa pikir panjang akan memantaskan diri untuk orang yang akan menjadi teman gue.
Sejak kemunculannya, gue jadi kepikiran tentang bagaimana penilaian orang terhadap gue. Apakah gue sudah melakukan hal baik atau malah sebaliknya yang mengubah penilaian orang terhadap gue.
Selalu menghantui setiap saat, kapan saja dan di mana pun gue berada. Diperjalanan menuju kos, di dalam kereta, di kelas, bahkan di kamar kecil. Rasa insecure ini menciptakan batas dan jarak, semacam dinding penghalang yang tak terlihat oleh mata.
Setelah melewati berbagai macam pertempuran di dalam kepala, gue menemukan jalan keluar gue sendiri. Resolusi ini, sebagaimana yang telah gue sebutkan di atas, terinspirasi dari lagu berbagai tulisan yang berseliweran di media sosial.
Resolusi gue untuk tahun 2019 nanti, yaitu “tidak perlu khawatir tentang penilaian orang; sedang apakah dia—orang yang akan menjadi teman gue nanti—membawa pengaruh baik dan seberapa pantas kah dia menjadi teman?”
Tadinya gue ingin mengganti prinsip lama dengan resolusi yang baru. Namun, setelah gue pikir-pikir kembali, kenapa enggak dibarengin aja—dengan menjalankan kedua prinsip sekaligus. Yang gue lakukan sepenuhnya untuk menciptakan circle yang sehat, dengan kwalitas hubungan yang baik pula.
Yah, itulah resolusi gue untuk tahun 2019 nanti. Berhubung udah dipenghujung tahun, gue ingin mengucapkan selamat tahun baru 2019! Semoga tahun ini menjadi tahun yang baik bagi kita semua.
Gimana dengan kalian? Udah punya resolusi belum untuk tahun 2019? Yuk, berbagi cerita di kolom komentar
STAY CONNECTED
Facebook || Google+ || Instagram || Twitter ||
email: [email protected]
Selamat tahun baru, selamat beresolusi, semoga terwujud.
Ngapain dipikirin? Emang dia ngasih lo makan? Kalau enggak ya udah nggak usah dipikir. Kita nggak bisa nyenangin semua orang kan. Muehehehe
Itu dia. Gue tipikal orang yang kadang suka kepikiran apa yang orang-orang omongin. Dan gara-gara itu, gue jadi sedikit stress memikirkan penilaian orang tentang gue. Memikirkan apakah gue sudah cukup berhasil nyenangin mereka. Di tahun yang baru ini, kiranya gue memang perlu merubah itu semua. #2019GantiPolaPikir
Mantep. Resolusinya gak muluk-muluk hahah. Dulu sewaktu jadi maba pemikiran gue juga kaya gitu, kudu banyak teman, ikut ini ikut itu. Sekarang sadar udah tua dan udah gak ada lagi yg kenal di kampus :’)
Anyway, gue juga punya resolusi di tahun baru ini, tapi nanti aja gue bikin postingan sendiri wkwk.
Resolusi saya sederhana saja: 2019 ganti netizen. Enggak peduli siapa yang jadi presiden, asal rakyatnya bukan orang-orang norak yang fanatik tanpa mau bersikap skeptis. :))
Selamat untuk beberapa pencapaiannya di 2018, Men! Semoga tahun ini bisa mencapai lagi!
Ps: kenapa “kualitas” lo tulis “kwalitas”?
Resolusi yang cukup berat mengingat saat ini setiap orang punya hak yang sama dalam kebebasan berpendapat dan media sosial menawarkan anonimitas kepada penggunanya. Tapi gapapa, semoga habis April nanti netizennya beneran ganti. Habis capek juga ngelihat perdebatan di sana sini, khususnya di medsos :)
Terima kasih, Gip!
Bahkan gue sendiri juga bingung kenapa “kualitas” gue tulis dengan kata tidak bakunya, “kwalitas”. :’)