Beberapa bulan sejak memulai kegiatan dari rumah, gue selalu mencari dan mencoba hal baru agar tetap waras. Salah satunya adalah belajar masak di kos. Semua ini bermula dari riset kecil-kecilan yang gue lakukan di tengah waktu istirahat. Begini ceritanya…
Sejak kembali ke Jakarta, gue merasa ada begitu banyak yang berubah dari tempat makan di sekitar kos gue. Ada yang tutup dan digantikan oleh usaha baru, ada yang usahanya sepi pembeli, dan ada juga beberapa tempat yang menaikan harga makanannya. Salah satunya adalah tekwan yang suka berjualan di depan kos gue setiap malam.
Mengetahui harga makanan sudah naik, gue butuh sedikit waktu untuk menyesuaikan diri. Yang pasti, gue hanya punya dua pilihan: tetap berlangganan atau tidak beli sama sekali.
Mulanya gue berpikir untuk tetap berlangganan di tempat biasanya gue beli makan karena rasanya memang lumayan enak. Tapi, kalau begini terus, lama-lama gue enggak punya sisa uang untuk disimpan sebagai dana cadangan bila ada keperluan mendesak.
Tidak mau seperti itu, gue berpikir untuk mencari cara meminimalkan pengeluaran.
Tentu tidak lucu kalau gue melakukan puasa demi menghemat pengeluaran. Apalagi mengganti nasi dan lauk pauk dengan mie instan. Bisa-bisa gue tambah kurus dan jatuh sakit akibat kebanyakan makan mie instan.
Jadi, alternatifnya gue pengin coba belajar masak secara otodidak. Dimulai dari bahan-bahan yang mudah pengolahannya. Telur tidak termasuk karena menurut gue seorang anak kos harus bisa goreng telur. Karena telur adalah makanan penyelamat dikala perut lapar dan dompet sedang tipis seperti kartu ATM.
“Kalau belajar masak sekarang apa enggak terlambat, ya?” pikir gue yang baru sadar sudah melewatkan kesempatan untuk belajar memasak langsung dari ahlinya. Padahal, gue punya cukup banyak waktu untuk belajar masak karena gue selama terjebak selama 5 bulan di kampung.
Kalau aja waktu 5 bulan itu gue pakai untuk belajar masak langsung dari nyokap, mungkin hari ini gue sudah buka bisnis masakan padang dan makanannya diantar ke alamat pelanggan melalui layanan ojek daring.
Belajar memasak di rumah sendiri tentu lebih nyaman dibanding belajar masak di dapur kos. Selain lebih santai, memasak di dapur sendiri jauh lebih enjoy karena bebas melakukan apa saja. Misalnya memasak sambil memutar lagu atau sambil menari. Kalau bingung pun bisa nanya langsung sama nyokap atau video call kalau jarak jauh.
Kalau di dapur sendiri bisa santai, lain cerita kalau memasak di dapur kos. Memasak di dapur kos tuh ada rasa was-was dan segan. Segan karena aroma masakannya menyebar ke mana-mana, was-was karena dikejar oleh waktu. Takut kelamaan karena yang pengin masak mungkin bukan cuma gue sendiri.
Namanya baru belajar, pasti masih baca panduan. Enggak mungkin, dong, gue langsung hafal step memasaknya. Apalagi gue belum begitu hafal bumbu dapur kecuali bawang putih, bawang merah dan daun bawang.
Gue cukup menyesal karena tidak memanfaatkan waktu dengan sebaik mungkin. Salahnya gue adalah kenapa baru sekarang pengin belajar masak, saat gue sudah di Jakarta.
Gue coba mengusir rasa bersalah itu dan mengerjakan apa yang seharusnya gue lakukan: mencari makanan yang gampang diolah.
Yang terlintas dipikiran gue pertama kali adalah tahu dan tempe. Gampang dimasak, enggak perlu macem-macem bumbu, digoreng biasa pun rasanya sudah enak. Okesip, percobaan pertama gue adalah bikin tahu dan tempe goreng!
Makanan murah seperti tahu dan tempe memanglah mengenyangkan. Tahu dan tempe juga mudah didapatkan dan punya kandungan protein yang tinggi. Setelah mendapatkan ide untuk memasak tahu dan tempe, gue merasa kurang puas. Gue butuh lebih banyak lagi makanan murah, mengenyangkan dan gampang diolah.
Berbekal pengamatan, gue berusaha mengingat kembali makanan apa saja yang selama ini dimasak oleh nyokap namun tidak menggunakan banyak macam bumbu. “Ikan!” celetuk gue. Lalu memasukan ikan ke dalam catatan kecil berisi daftar makanan yang gampang diolah.
“Ayam! Sardine kaleng!” jari gue lincah menari di atas kertas berukuran B5 itu. Setelah mencatat semua yang gue ingat, gue mengubah cara kerja. Dari sini, gue memulai riset kecil-kecilan dengan metode yang sedikit kekinian, yaitu memanfaatkan kemampuan mesin pencari seperti Google. “Masakan sederhana untuk anak kos”, begitu ketik gue di mesin pencari.
Dalam hitungan detik Google langsung menampilkan beberapa situs yang cocok dengan kata kunci yang gue gunakan. Mulai dari artikel sampai situs berisi panduan dan berbagi resep masakan untuk anak kos.
Pertama gue membaca beberapa artikel karena penting bagi orang awam seperti gue ini untuk mendapatkan informasi tentang bahan yang mudah diolah menjadi makanan mengenyangkan.
Gue mencatat ada beberapa bahan yang bisa gue coba masak. Totalnya ada sekitar jenis bahan yang bisa gue pergunakan untuk belajar. Namun, gue belum puas kalau cuma dapat 10 bahan. Karena belum puas, gue melakukan video call dengan nyokap untuk bertanya tentang makanan yang mudah dimasak. Siapa tau nyokap punya sesuatu yang belum ada di catatan gue.
“Mama tau nggak makanan yang gampang dimasak gitu? Contohnya kayak nugget, tahu sama sardine kaleng.”
“Abang mau ngapain?” tanya nyokap.
“Mau belajar masak. Tapi abang mau coba dari yang paling gampang,” jawab gue tegas.
“Ikan.” jawab nyokap, mantap.
“Selain ikan. Ada nggak? Ikan udah abang masukin ke dalam catatan,” kata gue sambil memperlihatkan catatan berisi bahan makanan yang mudah dimasak.
“Kalau ayam gulai, nanti abang enggak bisa bikinnya.”
Setelah menghabiskan waktu setengah jam berdiskusi dengan nyokap, gue hanya mendapatkan ikan sebagai makanan yang gampang dimasak. Ya, mungkin nyokap bingung dan blank karena ditodong dengan pertanyaan seperti itu secara tiba-tiba.
Kurang puas, gue mencoba untuk berdiskusi dengan bokap. Namun, rupanya bokap lagi di kantor. Berhubung bokap di kantor, gue harus menunggu sampai bokap pulang supaya bisa diskusi.
“Itu semua udah ada di catatan abang,” kata bokap setelah melihat catatan gue.
“Yang lain ada nggak, yah?”
“Nanti kalau ada ayah kabarin. Coba masak dulu yang ada di catatan itu, nanti baru pikirin makanan lainnya.” Tutup bokap.
Gue merasa cukup puas berdiskusi dengan bokap. Meski tidak mencatatkan bahan baru, setidaknya gue mendapat nasihat yang tepat. “Daripada sibuk mencatat, lebih baik langsung praktik bikin masakan dari bahan yang sudah di catat.”
Tergerak oleh nasihat itu, gue pun berniat untuk memulai pelajaran pertama memasak. Dimulai dari bikin tumis tauge pakai tahu dengan ayam goreng sebagai lauk utama.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pagi hari di tanggal 28 Agustus itu, untuk pertama kalinya gue berbelanja bahan masak di penjual sayur keliling. Karena sedang menghadapi pandemi, gue berusaha menjaga jarak aman dari sesama pembeli.
Berhubung ini pertama kalinya gue belanja bahan untuk masak, gue melengkapi diri dengan membawa catatan berisi daftar bahan yang harus dibeli seperti ayam, tauge, cabai, daun bawang, dan daun seledri; bawang merah, bawang putih, dan tahu. Ketika pembelinya sudah lumayan sepi, gue maju bertanya ke penjual sayur itu.
“Ayam seperempat berapa, ya, mbak?” tanya gue.
“Empat belas ribu, mas. Mau dada atau paha?” si penjual sayur mengeluarkan satu ekor ayam yang terbungkus plastik untuk dipotong.
“Dada. Tolong potong empat ya, mbak.”
Tangan si penjual sayur itu bergerak lincah. Membelah lalu memotong ayam itu jadi empat bagian. “Ada lagi, mas?” tanyanya saat dia sudah menyelesaikan pesanan pertama gue.
“Taugenya ada, mbak?” tanya gue kemudian.
“Ada, mau berapa?”
“Seperempat aja, mbak.” Kata gue.
Muka si penjual sayur terlihat kebingungan ketika gue mengutarakan pesanan selanjutnya. “Waduh, saya enggak bawa timbangan, mas. Gini aja, masnya mau taugenya berapa ribu?”
Tentu saja gue bingung saat ditanya seperti itu. Ini adalah pertama kalinya gue belanja sayur yang tidak diikat. Karena dituntut untuk berpikir cepat, gue sembarang saja menyebut angka yang terlintas di kepala. “Tauge tiga ribu, mbak.”
Tangan penjual sayur itu kembali bekerja. Mengambil dan memisahkan tauge dari satu plastik ke plastik lainnya. Satu genggam, dua genggam, tiga genggam besar yang dibutuhkan untuk memidahkan tauge itu ke kantung lainnya. Setelah genggaman ketiga, penjual sayur itu melihat ke gue. “Ada lagi mas?”
Berarti satu genggam besar itu sama dengan seribu, pikir gue setelah melihat aksi itu. “Daun seledri sama daun bawangnya dua ribu.”
“Ada lagi?” tanyanya setelah mengambilkan daun bawang dan daun seledri pesanan gue.
Gue melirik ke catatan. “ada tahu, mbak?”
“Ada, itu di dekat mas. Pilih aja mau tahu yang mana.”
Gue melihat setidaknya ada empat jenis tahu yang dijajakan oleh penjual sayur. Gue mengambil satu bungkus tahu berukuran kecil lalu bertanya, “ini berapa, mbak?”
“Itu empat ribu.”
Oke, gue akan ambil tahu ini, batin gue. Lalu gue menghela nafas sebentar. Kemudian kembali memeriksa catatan di tangan kiri. “Bawang merah dan bawang putih ada, mbak?”
“Ada, mau berapa?”
“Masing-masing satu ons, mbak.”
Muka penjual sayur itu terlihat bingung lagi. Membaca ekspresi itu, gue langsung mengoreksi ucapan gue, “maksud saya, masing-masing dibikin jadi dua ribu aja, mbak.”
Setelah mengambilkan semua pesanan, gue langsung menyiapkan selembar uang untuk membayar belanjaan. “Berapa totalnya, mbak?”
Si penjual sayur mulai berhitung. “Totalnya dua puluh tujuh ribu, mas.”
Gue langsung memberikan uang tersebut. “Oya mbak, sama jeruk nipisnya dua, ya.” Kata gue.
Jeruk nipis memang tidak ada di dalam catatan yang gue bawa. Catatan tersebut gue dapat dari nyokap yang sudah melisting bahan apa saja bahan-bahan penting dan paling sering terpakai selama belajar memasak.
Sehabis belanja bahan, gue menelpon nyokap. Kali ini untuk melapor bahwa gue sudah membeli bahan-bahannya. Setelah dihitung-hitung, gue sudah hemat sekian puluh ribu jika dibandingkan dengan membeli lauk di warteg atau tempat makan lainnya.
Selesai menelpon nyokap, gue langsung mengeksekusi bahan-bahan yang sudah gue beli. Yang gue eksekusi pertama kali adalah tauge karena masaknya sebentar. Setelah mencuci tauge sampai bersih, gue lanjut mengiris bawang merah dan bawang putih untuk ditumis.
Percobaan pertama memasak sayur tauge sukses. Rasanya sedikit mirip dengan masakan nyokap. Yang membuatnya berbeda adalah gue menambahkan tahu seukuran dadu dan cabe setan ke dalam tauge supaya ada sensasi pedas saat dimakan.
Sukses dengan tumis tauge campur tahu, lalu gue mengambil istirahat lebih kurang sepuluh menit. Maklum, ini adalah pengalaman pertama gue bekerja di dapur (baca: memasak). Jadi, gue sedikit kecapean karena belum terbiasa. Setelah 10 menit, lalu gue lanjut mengolah ayam.
Hal pertama yang gue lakukan tentu saja memanaskan air—ayamnya sudah dicuci bersih dan diberi perasan jeruk nipis serta garam—setelah airnya mendidih, gue langsung memasukkan bumbu ayam racik instan ke dalam panci.
Selang beberapa menit kemudian, ayam yang sudah dibersihkan tadi gue masukkan ke dalam panci. Lalu diaduk rata sampai airnya tinggal sedikit.
Kok gitu cara masaknya? Ya, gue cuma ngikutin petunjuk yang ada di belakang bungkus bumbu ayam racik instan itu. Kalau dalam dunia masak, katanya ini disebut ayam ungkep. Entahlah, gue baru belajar dan baru tahu istilah tersebut setelah membaca petunjuk di belakang bungkus bumbu ayam instan.
Nyala api kompor itu perlahan mengecil dengan sendirinya. Sadar bahwa gasnya mau habis, gue cepat-cepat memutar knop kompor ke arah kanan dan memindahkan panci ke kamar.
Gue mungkin beruntung karena ayamnya berhasil diungkep dengan baik. Tapi masalahnya sekarang gue harus berpikir bagaimana cara menyelesaikan ayam ini karena AYAMNYA BELUM DIGORENG. Setelah menghabiskan 6 menit untuk berpikir, Satu-satunya cara menyelesaikan masalah ini yaitu numpang masak di dapur lantai 1!
Sebagai informasi, di kos gue, setiap lantai memiliki dapur umum yang bisa digunakan untuk masak. Dapurnya tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Mungkin seukuran kamar mandi umum, tapi lumayan untuk sekadar masak yang gampang seperti mie atau goreng telur.
Gue berdiri di depan pintu. Siap mengetuk untuk menyapa pemilik kamar, “permisi… Mbak Siti?”
“Iyaa?” sahut Mbak Siti dari dalam. Mbak Siti adalah orang yang bertugas memastikan kebersihan kos. Dia tinggal bersama suaminya yang bertugas menjaga keamanan kos.
“Saya boleh pinjem dapurnya sebentar? Soalnya gas di lantai 2 lagi habis.”
“Oh iya, pake aja. Mas Reza mau masak apa?” tanyanya, sedikit berbasi.
“Mau goreng ayam, mbak. Saya pinjem dapurnya ya, mbak?”
“Iya mas, pake aja.” Mbak Siti masuk kembali ke dalam kamarnya.
Gue menyalakan kompor untuk memanaskan minyak yang sudah gue tuang lebih dulu. Saat minyaknya mulai panas, gue langsung mencelupkan ayam ke dalam minyak. Hal yang paling gue benci setiap menggoreng adalah kena cipratan minyak dan itu gue alami pada saat menggoreng ayam.
Ketika mencelupkan ayam ke minyak panas, gue langsung terkena cipratannya. Gue buru-buru mengecilkan api ketika ingin mencelupkan ayam yang kedua supaya minyaknya enggak melompat ke tangan.
Setelah ayamnya berhasil dicelupkan, lalu gue memutar knop kompor ke arah kiri dan mengambil jarak aman agar tidak terkena minyak. Dan begitu seterusnya sampai keempat ayam tadi selesai digoreng. Hal seperti ini wajar terjadi karena ayamnya masih memiliki kandungan air dari proses sebelumnya.
“Makasih ya, Mbak Siti,” kata gue dari dapur yang berjarak empat langkah dari kamarnya.
“Iya, sama-sama,” jawab Mbak Siti dari dalam.
Sehabis masak, gue mengirimkan foto ke nyokap untuk memamerkan hasil masakan pertama gue. Masakkan pertama gue ini bisa dibilang lumayan karena ayamnya matang sempurna sampai ke dalam.
Sebagai orang yang baru belajar masak dan pertama kalinya mengolah ayam, yang paling gue takutkan itu ayamnya terlihat matang di luar, tapi daging di dalamnya masih merah.
Mengetahui ayamnya matang dengan sempurna, rasanya tuh puas banget. Apalagi sayurnya juga enak dan rasanya sedikit mirip dengan masakan nyokap, senang banget pokoknya! Karena masakan pertama gue rupanya berhasil dan gue berhasil menghemat sekian puluh ribu karena masak sendiri, saat itu gue semakin mantap untuk terus belajar dan mengasah kemampuan memasak.
Itu dia cerita gue tentang pengalaman pertama belajar masak. Kalau kamu punya referensi, tips, atau cerita unik saat pertama kali belajar masak, silakan tulis di kolom komentar, ya! Gue tunggu, lho! *ceritanya maksa
Wah keren mas. Aku dulu ngekos dan malas masak. Karena memang nggak tahu gimana masak itu. Pernah sih masak dan hasilnya paling nggak enak diantara teman-teman kos. Jadi malas masak lagi. Nyesel juga, kenapa nggak dulu-dulu belajar masak.
Terima kasih, Mbak! Aku pun awalnya bingung cara masak yang baik itu seperti apa. Tapi karena di rumah sering memperhatikan ibu, tepatnya ngejahili atau nyomot makanan yang lagi di masak, aku jadi ngerti sedikit prosesnya. Stepnya seperti apa. Alhamdulillah pengamatanku selama ini terpakai juga ketika belajar :D
Penyesalan pasti ada. Aku juga menyesal awalnya kenapa waktu di rumah enggak belajar masak aja. Padahal, aku bisa belajar langsung dari ahlinya (ibu). Tapi gapapa, aku sendiri yakin enggak ada kata terlambat untuk belajar. Kalau aku bisa, Mbak Nur pasti juga bisa melakukannya. Semangat! :D