Sabtu, Juli 27, 2024
HomeCurhatSakit Bikin Parno

Sakit Bikin Parno

on

Kalian pernah sakit enggak selama masa pandemi ini? Gue pernah dan itu lumayan bikin gue ketar-ketir karena mengalami sakit itu bikin parno. Dalam postingan kali ini gue ingin bercerita tentang bagaimana gue bisa sakit dan berapa lama proses penyembuhannya.

Begini ceritanya…

Cerita ini bermula pada suatu sore di bulan september. Kala itu gue sedang mencari jajanan di luar karena ingin makan-makanan yang berkuah. Kenapa harus berkuah? Karena gue sedang bosan sama makanan yang digoreng. Maklum, saat itu gue hanya bisa masak ayam dan ikan goreng.

Saat sedang keliling, gue menemukan sebuah warung bakso pinggir jalan yang cukup ramai. “Kayaknya enak. Beli ah…” pikir gue saat melewati warung bakso itu untuk yang kedua kalinya.

Gue melihat menu yang ada di samping gerobak. “Mas, bakso beranaknya satu porsi, ya. Bungkus,” kata gue dengan nada antusias. Ini akan menjadi semangkuk bakso pengobat rindu karena gue tidak akan bisa lagi makan bakso beranak yang berjualan di dekat kantor mandiri tempat gue magang kemarin.

Biasanya gue dan kawan kantor suka makan di sana selepas sholat jumat. Spot favorit kami adalah taman karena di taman itu kami bisa makan sambil menikmati hembusan angin.

Buat yang belum tahu, bakso beranak adalah bakso berukuran besar dan di dalamnya terdapat berbagai macam isian mulai bakso dan telur. Beda tempat, biasanya beda juga isi di dalamnya. Jadi, gue selalu tertarik untuk mencoba bakso beranak di tempat yang sedang gue kunjungi.

Setelah pesanan gue dibuat, gue langsung membayar dengan uang pas. Untuk satu porsinya sendiri, harganya 18k.

Sesampainya di kos dan menuangkan bakso ke dalam mangkuk, gue langsung mencicipi kuahnya terlebih dahulu. Benar saja. Rasa baksonya enak. “Pantes banyak yang beli,” pikir gue.

Selanjutnya gue mencicipi sambel dari bakso tersebut. Gue mencicipi sambel dengan tujuan mengukur tingkat kepedasan dari si sambel. Ini penting untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti ke-pedes-an dan yang lebih parah adalah perut mules.

Begitu gue cicipi, ternyata sambelnya pedes. Karena sambelnya pedes, jadi gue hanya menuangkan sedikit sambel supaya enggak merusak rasa asli dari baksonya.

Penasaran, gue mulai membedah bakso beranak tersebut. Ini adalah saat yang paling gue tunggu-tunggu ketika makan bakso beranak. Setelah melakukan ‘operasi’ singkat, gue menemukan isiannya yang terdiri dari telur, bakso sedang sebanyak 7 biji, dan satu unit mobil Aliphard urat. Yah, standar sih. Sesuai sama harganya.

Selesai makan, gue merasa cukup puas karena dengan harga yang murah, gue bisa mendapatkan semangkuk bakso yang enak dan dagingnya benar-benar terasa. Biasanya kalau bakso murah gitu sewaktu di makan yang lebih dominan itu rasa tepungnya.

Jadi gue pikir, suatu saat gue akan beli bakso ini lagi karena bakso seperti ini sangat jarang gue temukan di Jakarta. Di mana bumbunya benar-benar terasa, baksonya betul-betul terasa dagingnya dan harganya standar.

Besok paginya, perut gue mules. Bukan cuma sekali, tetapi tiga kali gue bolak-balik ke toilet dalam rentang waktu satu jam. “Ada apa, nih? Perasaan gue enggak makan yang aneh-aneh,” pikir gue.

Gue sempat berpikir bahwa penyebab gue diare karena kebanyakan makan pedes. Tapi kalau diinget lagi, selama masak, gue enggak pernah bikin sambel karena belum bisa bikin sambel yang enak dan kemarin adalah pertama kalinya gue ketemu sambel setelah 2 minggu ‘puasa’ sambel.

Sambel baksonya memang pedes, tapi gue hanya menggunakan sedikit sambel, jadi enggak mungkin gue diare karena makan sambel. Masa toleransi gue terhadap sambel jadi berkurang hanya gara-gara enggak ketemu sambel 2 minggu?

Setelah dipikir-pikir lagi, mungkin penyebab karena gue makan bakso yang dibeli kemarin sore. Ya, gimana gue enggak mikir ke sana, wong gue jarang jajan. Sekalinya jajan, langsung diare.

Karena mungkin salah makan, gue pikir diarenya paling cuma 1-2 hari doang. Selama diare, gue mencukupkan kebutuhan cairan dengan banyak minum air putih dan minum oralit yang diracik sendiri menggunakan campuran gula, garam dan air hangat.

Di hari kedua, muncul lagi masalah baru: nafsu makan gue berkurang. Ini aneh. Biasanya gue selalu sanggup menghabisi makanan yang sudah gue tuangkan ke piring. Apalagi hari itu gue lagi enggak masak karena tukang sayurnya enggak jualan, jadi hari itu gue hanya masak nasi sedikit.

Kalau porsinya sedikit dan gue enggak sanggup menghabisi apa yang ada di piring, biasanya pertanda kalau gue akan sakit. Benar saja. Malamnya, penyakit yang paling gue khawatirkan beberapa bulan terakhir datang menemui gue: demam.

Yah, sebenarnya hal biasa karena setiap orang pasti pernah mengalami demam setidaknya satu kali seumur hidup. Gue sendiri sudah cukup bersahabat dengan demam sampai-sampai gue punya stok obat pereda demam sebagai pertolongan pertama jika belum bisa ke dokter.

Sebenarnya gue bukan tipikal orang yang gampang minum obat. Justru kalau bisa gue pengin menghindari yang namanya minum obat karena enggak mau memiliki ketergantungan. Tetapi ada pengecualian untuk kondisi seperti ini.

Pertimbangan gue saat itu hanya dua. Pertama, kalau gue hanya demam biasa tapi tetap mengunjungi fasilitas kesehatan (klinik) risikonya gue bisa saja tertular penyakit dari pasien lain. Kedua, ketakutan gue bisa saja benar, yang artinya kalau gue sampai mengunjungi klinik, gue bisa menularkan penyakit ke petugas, dokter dan sesama pasien yang ingin berobat.

Karena pilihannya cuma dua dan keduanya enggak ada yang lebih baik, gue pikir ini saat yang tepat untuk menggunakan obat pereda demam karena syaratnya sudah terpenuhi. Pertama, gue mengalami demam dan kedua gue belum bisa ke dokter karena kondisinya tidak memungkinkan.

Sehabis makan malam, gue langsung minum paracetamol sambil berharap ini hanya demam biasa.

Yang membuat gue panik sebetulnya bukan karena demamnya, melainkan gejalanya yang cocok dengan ciri-ciri pasien covid-19. Sebagai informasi, pertanggal 25 Juni 2020, CDC menetapkan ada 11 gejala penyakit yang dialami oleh orang atau pasien yang terinfeksi Covid-19.

Meskipun sedang sakit, gue justru merasa bersyukur karena tidak satu rumah dengan orangtua sehingga gue bisa fokus melakukan isolasi mandiri di kos.

Saat melakukan isolasi mandiri gue sangat membatasi segala bentuk aktivitas sosial. Gue hanya akan keluar kos untuk membeli makan dan selebihnya beraktivitas di dalam kamar saja.

Di tengah waktu istirahat gue mencoba untuk berpikir positif. Mungkin ini karena gue kelelahan. Kebetulan beberapa hari terakhir gue melakukan olahraga yang lumayan berat. Kemudian diperparah oleh kondisi gue yang sedang diare.

Olahraga berat di kos
Olahraga
Sumber gambar: Photo by Li Sun from Pexels

Keesokan harinya, gue masih merasa demam. Mungkin karena obatnya baru diminum sekali, sehingga efeknya belum kelihatan. Namun yang pasti, hari itu gue betul-betul sudah kehilangan nafsu makan.

Berhubung gue kehilangan nafsu makan, maka gue harus mencari cara supaya nafsu makan gue kembali meskipun sedikit. Dan makanan yang cukup menggunggah selera makan gue saat sedang sakit adalah jenis makanan berkuah seperti sayur sop.

Tidak seperti biasanya, pagi itu gue mampir ke warteg. “Sopnya sepuluh ribu, tolong banyakin kuahnya ya mas,” kata gue. “Lauknya tahu sama telur dadar.”

“Tumben beli sayurnya banyak, mas?” kata pelayan warteg langganan gue itu..

“Iya mas, soalnya aku lagi enggak selera makan. Jadi aku mau coba ‘pancing’ dengan sop atau makanan yang berkuah,” jawab gue sambil mengarahkan kamera ke sticker QR Code yang terpampang di dinding.

Ya, warteg tersebut sekarang sudah menerima pembayaran non tunai sehingga gue hanya perlu memastikan saldo di dalam dompet digital gue cukup untuk membayar makanan yang gue pesan.

“Sudah ya, mas,” kata gue sambil menunjukkan bukti bayar.

“Oke, mas.”

Sesampainya di kos gue langsung makan dengan sayur dan lauk yang gue beli dari warteg. Sama seperti sebelumnya, gue masih belum sanggup menghabiskan makanan yang ada di depan gue. Bahkan untuk sekadar menelan makanan yang ada di mulut pun harus dibantu dengan air minum.

Tak terhitung sudah berapa gelas yang gue habiskan untuk membantu proses menelan makanan yang sudah gue kunyah. Gue terpaksa melakukan ini karena gue merasa mual setiap kali berusaha menelan tanpa bantuan air.

Yah, gapapa lah. Yang penting makanannya habis, pikir gue.

Selesai makan dan minum obat, gue langsung merebahkan badan di kasur dan tertidur. Entah karena efek Paracetamol yang gue minum atau karena kekenyangan akibat kuah sop dan air minum, yang jelas mata gue terasa berat dan mengantuk.

Memasuki hari keempat, demam gue belum juga reda dan sesekali masih bolak-balik ke toilet meski tidak separah sebelumnya. Memang merepotkan, tapi gue mencoba untuk ikhlas dan berpikir semuanya akan baik-baik saja.

Karena bosan makan nasi, hari itu gue memutuskan untuk makan yang lain. Pilihan gue jatuh pada mie instan. Untung gue punya persediaan mie instan rebus sehingga tidak perlu pergi ke warung untuk membeli mie dan telur karena itu akan sangat merepotkan.

Gue menyiapkan air dan mengeluarkan bumbu dari dalam bungkus mie instan tersebut. Lalu menyalakan kompor dan memasukan sayur ke dalam panci berisi air mendidih.

Masak Mie Pedes
Masak mie instan rebus pedes
Sumber gambar: Photo by Prince Photos from Pexels

Setelah semua bahan dimasukkan, selanjutnya gue mengaduk mie dan bahan-bahan yang ada di panci lalu mendiamkannya. Tak lama setelah menganduk mie, gue merasa agak sulit bernafas.

Saat itu gue masih berpikir bahwa mungkin penyebabnya gue lagi masak di dapur sehingga oksigennya kurang. Lalu gue mencoba berjalan ke balkon kos, di mana gue bisa mendapatkan oksigen yang lebih banyak karena berada di ruang terbuka.

Hasilnya, sama saja. Gue masih agak kesulitan bernafas. Entah karena pengaruh sugesti atau memang oksigen di dapur sangat minim, yang jelas, saat itu gue merasa seperti sulit bernafas dan itu cukup bikin gue parno.

Gue kembali ke dapur untuk mengecek mie yang sedang gue masak. Lalu di saat yang bersamaan, kepala gue terasa sedikit pusing. Gue mengambil sikap jongkok karena tidak kuat berdiri. Untungnya semua bahan sudah gue masukkan, sehingga gue hanya perlu menunggu sedikit lagi.

Setelah pusingnya reda, gue langsung mematikan kompor dan membawa masuk panci ke dalam kamar. Gue tahu bahwa makan mie saat sakit itu enggak bagus, tapi gue sudah enggak perduli lagi sama makanan sehat atau enggak, yang terpenting bagi gue saat itu adalah bisa makan dan segera minum obat.

Kejadian pusing dan sulit bernafas ini tidak hanya terjadi satu kali. Tetapi juga terjadi saat gue sedang mencuci peralatan makan. Sadar kalau enggak bisa berdiri terlalu lama, akhirnya gue mengurangi jumlah peralatan yang akan dicuci dan ketika pusingnya muncul, gue langsung jongkok seperti sebelumnya.

Akibatnya gue perlu mengurangi aktivitas yang membutuhkan banyak pergerakkan atau berdiri terlalu lama. Gue juga membatasi diri untuk tidak membuat pergerakan secara tiba-tiba seperti bangkit dari tempat tidur, mengganti posisi dari duduk menjadi berdiri dan sebaliknya.

Gue berusaha mengingat kembali belakangan ini bepergian ke mana saja dan bertemu siapa. Gue berhasil mengingat 4 tempat yang gue kunjungi dalam dua minggu terakhir. Supermarket, belanja di tukang sayur, warteg dan beli bakso.

Supermarket gue coret dari daftar kemungkinan karena selama di sana gue selalu mengenakan masker dan tidak menyetuh area mata, mulut dan wajah. Maskernya pun hanya gue lepas saat gue mau minum saja.

Kalau warung bakso kayaknya enggak mungkin, karena gue cuma sebentar dan menjaga jarak dari penjual baksonya. Lagipula, waktu itu gue minta supaya baksonya dibungkus, kok. Warteg juga rasanya enggak mungkin karena gue sama sekali enggak menyentuh apapun yang ada di warteg.

Kemungkinan terakhir adalah belanja di tukang sayur. Sejak masakan pertama gue berhasil, gue jadi cukup sering belanja di tukang sayur. Entah itu untuk sekadar belanja sayur–ya gue termasuk orang yang suka makan sayur. Jadi gue lebih sering belanja karena beli sayur dibanding beli lauk.

Belanja di tukang sayur
Belanja di tukang sayur
Sumber gambar: Photo by Clem Onojeghuo from Pexels

Mulanya gue tidak menemukan kecurigaan sampai gue teringat kejadian yang cukup membuat gue kesal.

Jadi, sekitar enam hari yang lalu, saat belanja di tukang sayur, keadaan sedang cukup sepi karena gue belanjanya sudah agak siang. Ya, gue memang sengaja belanja agak siangan untuk menghindari kerumunan. Saat gue sedang menunggu penjual sayur membersihkan insang dan sisik dari ikan pesanan gue, datang seorang ibu-ibu menengok bahan dan bumbu masak yang digelar oleh penjual sayur.

Awalnya gue tidak mempedulikan ibu-ibu tersebut karena posisi gue sedang menunggu pesanan gue dibersihkan. Lalu ibu-ibu itu mendekat karena bahan yang dia cari ada di dekat gue. Gue masih biasa-biasa saja, sampai gue melihat ibu itu tidak mengenakan masker.

Melihat ibu tersebut tidak mengenakan masker dan jaraknya dekat banget sama gue, padahal gue sudah berusaha belanja agak siang untuk menghindari keramaian supaya bisa jaga jarak, gue merasa cukup was-was dan berharap supaya bisa segera pergi dari sana. Namun gue tidak bisa karena pesanan gue belum selesai dibersihkan.

Ibu-ibu itu batuk beberapa kali. Perasaan gue semakin kacau karena pertama ibu itu tidak mengenakan masker. Kedua, jaraknya sangat dekat dengan gue. Ketiga dan yang paling gue sesalin dari semua, ketika ibu itu batuk, ibu itu sama sekali tidak menutupi batuknya dengan siku ataupun baju.

Setelah gue pikir-pikir lagi, pantesan sudah beberapa hari ini tukang sayurnya enggak jualan. Gue pikir, dia lagi pengen libur jualan. Tapi rasanya enggak mungkin banget karena penjual sayur di depan kos gue itu paling lama liburnya dua hari, dan ini sudah hari kelima dia tidak berjualan.

Ya, gue sangat yakin bahwa kemungkinan gue tertular di sana. Sebab saat hari pertama dia enggak berjualan itu berbarengan sama hari pertama gue mulai diare.

Ini seperti sebuah kebetulan. Bagaimana tidak? Gue lagi belanja, ada ibu-ibu belanja, enggak pake masker dan batuk-batuk di dekat gue. Hari pertama gue diare adalah hari pertama penjual sayurnya enggak jualan. Gue masih sakit, penjual sayurnya enggak berjualan juga selama berhari-hari.

ARRGHH! Kok bisa gitu, ya?

Hari kedelapan, kondisi gue perlahan membaik. Nafsu makan gue sudah mulai bagus, suhu tubuh gue juga sudah normal kembali. Gue juga udah enggak pusing lagi ketika berdiri terlalu lama atau melakukan pergerakan secara tiba-tiba.

Lalu yang lebih membuat gue gembira adalah, tukang sayurnya sudah berjualan kembali, yay! Ya, penjual sayurnya kembali berjualan pada hari ke delapan. Meskipun dia sudah berjualan kembali, gue belum bisa belanja di tempat dia karena gue masih harus memancing nafsu makan dengan makanan kesukaan gue sampai porsi makan gue kembali seperti semula.

Gapapa boros dulu, namanya juga baru sembuh dari sakit jadi makannya harus terus dipancing.

Gue merasa beruntung berhasil melewati ujian ini. Berhasil sembuh dari penyakit yang gue sendiri tidak tahu disebabkan oleh apa karena belum diperiksa oleh dokter.

Satu hal yang gue sadari selama sakit, gue butuh istirahat yang cukup. Selama sakit, gue menggunakan kesempatan itu untuk tidur (istirahat) sebanyak-banyaknya. Sebab, belakangan ini tidur malam gue hanya 2 – 3 jam. Dan, 1 jam saat tidur siang. Kalau durasi tidurnya begitu gimana penyakit enggak datang, coba?

Sering Tidur
Banyak istirahat selama sakit
Sumber gambar: Photo by Andrea Piacquadio from Pexels

Meski kondisi gue sudah membaik, tetapi gue tetap melakukan isolasi mandiri sampai satu minggu ke depan. Ini gue lakukan supaya lebih aman aja.

Bagaimana cara gue sembuh pun gue enggak begitu yakin. Gue enggak yakin cara ini ampuh untuk sembuh dari sakit, gue ingin coba berbagi sedikit tentang apa yang gue lakukan selama sakit.

Yang gue lakukan sebetulnya tidak banyak dan tidak ada yang spesial karena gue yakin setiap orang pasti melakukan ini. Yang menurut gue paling penting adalah istirahat yang cukup karena selama sakit, gue lebih sering tidur dan mungkin itu yang membantu proses penyembuhannya.

Di samping itu gue juga rutin mengonsumsi madu, melakukan olahraga ringan supaya badan gue mengeluarkan keringat dan enggak kaku karena tidur melulu. Lalu yang tidak kalah penting adalah banyak minum air putih, makan teratur dan makan buah yang cukup.

Mungkin itu aja yang bisa gue bagi. Kalau kalian punya pengalaman sakit atau mungkin tips atau ritual untuk menjaga kesehatan tubuh selama masa pandemi, kalian bisa tulis pengalaman itu di kolom komentar. Akhir kata, mari menjaga kesehatan tubuh supaya kita terhindar dari sakit!

Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Reza Andrian
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca