Untuk seseorang yang memiliki hobi memasak, mempelajari menu masakan baru merupakan suatu keharusan agar dapat mempertahankan dan juga meningkatkan kemampuan memasak. Untuk melevel up skill memasak, per Maret lalu, gue mulai mempelajari masakan yang belum pernah gue bikin sebelumnya.
Pada postingan kali ini, gue ingin membagikan cerita bagaimana gue melevel up kemampuan memasak gue. Begini ceritanya…
Gue masih ingat betul, ketika pertama kali belajar membuat ayam gulai, gue yang masih dalam tahap belajar itu menggunakan bumbu halus praktis yang dibeli dari penjual sayur keliling. Gue merasa senang sekali mendapati ayam gulai gue itu berhasil.
Itu adalah pencapaian pertama gue dalam dunia memasak ketika itu. Keberhasilan itu, membuat gue tertarik untuk belajar masak yang lain. Seperti opor, rendang ayam, kare ayam, dan pelbagai jenis gulai. Yah, memang saat itu gue masaknya menggunakan bumbu praktis. Sehingga tidak ada yang ‘khas’ dari masakan gue ketika itu.
Ketergantungan gue terhadap bumbu halus atau bumbu praktis berlangsung selama 1,5 tahun. Setiap kali mau memasak, gue selalu membeli bumbu halus atau bumbu praktis baik di penjual sayur ataupun di minimarket terdekat. Tapi rasanya puas, karena bisa menghemat uang makan.
Secara rasa, hasil masakan yang dibuat menggunakan bumbu praktis tersebut sebenarnya enak. Tidak capek pula karena tinggal dituang saja. Tetapi, rasanya memanglah kurang nampol atau kurang medok. Contohnya saja ayam gulai. Ayam gulai yang dimasak menggunakan bumbu asli, rasanya jauh lebih pedas dan lebih lezat dibanding ayam gulai yang dimasak menggunakan bumbu praktis.
Setelah 1,5 tahun terbiasa di dapur, gue merasa perlu untuk belajar membuat bumbu asli. Rasa ingin tahu dan keinginan gue untuk mendalami dunia masak tak dapat ditahan lagi. Akhirnya, minggu lalu, gue mulai belajar membuat hindangan di luar zona nyaman gue: ayam goreng sambal ijo dengan terong balado.
Biasanya setiap kali membuat sambal, gue selalu menggunakan cabe halus dari penjual sayur. Namun kali ini, gue berusaha membuat sambal sendiri menggunakan cabe hijau yang dibeli secara online kemudian dihaluskan menggunakan chopper yang gue beli pada bulan oktober lalu.
Chopper itu gue beli dalam rangka untuk meningkatkan semangat memasak. Supaya gue tahu segala proses yang harus dilalui dalam menciptakan suatu masakan dan mengenal lebih jauh semua bahan dapur yang dibutuhkan ketika ingin membuat suatu bumbu.
Pada proses masak ayam sambal hijau tersebut, gue mendapatkan rasa sambal hijau yang pas di lidah. Sambal hijau yang sudah jadi tersebut, sebagian gue pindahkan ke sebuah mangkok dan sebagiannya lagi tetap di dalam pan karena selanjutnya gue ingin menumis ayam gorengnya bersama dengan sambal hijau.
Seperti ada sesuatu yang bergejolak di dalam diri gue saat mencicipi ayam goreng dengan sambal hijau ini. Sukses dengan ayam sambal hijau, gue makin bersemangat untuk mencoba masakan lainnya.
Pada Kamis tanggal 3 Maret lalu, gue memutuskan untuk belajar membuat hidangan asal Manado: Ayam Woku. Hal itu gue lakukan dalam rangka mengisi waktu luang saat libur nasional.
Mengapa gue memilih masakan khas manado, alasan utamanya karena gue memiliki kegemaran menyantap hidangan dengan citarasa pedas dan menggiurkan seperti ayam woku.
Sebagai orang sumatera yang tidak pernah membuat hidangan asal Sulawesi, tentunya gue perlu mencari tahu bahan apa saja yang dibutuhkan untuk membuat ayam woku yang enak. Gue mulai mengeksplor Youtube, Cookpad dan, Tiktok. Dari tiga platform itu, gue mengumpulkan informasi bahan-bahan yang dibutuhkan. Juga tips yang berhubungan dengan masakan gue nanti.
Sebagai informasi, per awal Februari kemarin gue mulai menginstall tiktok di handphone gue. Motivasi gue menginstall tiktok di handphone, tidak lain karena ingin melihat video cewek joget-joget masak-masak. Di Tiktok, gue mendapat banyak sekali referensi hidangan dan minuman menarik. Karenanya gue menjadikan Tiktok sebagai sumber referensi masakan.
Setelah mencatat bahan-bahan yang perlu dibeli, gue langsung berbelanja di penjual sayur langganan yang biasa berjualan di bawah gedung kos.
Sambil melihat bahan dan bumbu dapur yang dijajakan, gue menyebut satu per satu bahan-bahan yang gue butuhkan. “Mbak, saya mau kunyitnya seribu, paha ayamnya dua, cabe merah keriting lima ribu, cabe rawit dua ribu, nipisnya 1. Sama ada kemiri nggak, ya?” tanya gue, memastikan.
“Kemirinya habis, kak.’ Jawab mbaknya. “Pahanya mau dipotong berapa?” tanyanya.
“Pahanya dipotong jadi 6 bagian aja.”
Penjual sayur itu memotong-motong ayam pesanan gue dengan lincah. Kemudian memasukan potongan-potongan tersebut ke dalam kantung plastik. Mengikatnya dengan rapat. “Ada lagi kak?” tanyanya.
“Bawang merah sama bawang putih masing-masing dua ribu. Serehnya tiga. Tomat merahnya dua. Ada daun pandan sama daun kemangi nggak, mbak?”
“Daun Pandan nggak ada. Daun kemangi ada di sana, di bagian bumbu dapur.” Jawabnya, sambil menunjuk kantong plastik berisi bumbu dapur yang terikat di gerobak sayurnya.
Berhubung gue enggak pernah beli daun kemangi dan gue enggak tau hitungan atau cara beli daun kemangi, jadi gue hanya mengambil sesuai kebutuhan gue saja yakni sebanyak dua tangkai dan meletakkannya di dekat ayam pesanan gue. “Sama bayamnya dua ikat.” Kata gue.
“Ada lagi, kak?” tanya penjual sayur itu.
“Berapa semuanya?” tanya gue, sambil berusaha mengingat bahan apa lagi yang gue butuhkan untuk masak ayam woku.
Penjual sayur itu memasukan satu per satu pesanan gue ke dalam kantung plastik berukuran besar sambil menghitung total belanjaan gue. Inilah yang membuat gue kagum dengan penjual sayur keliling. Mereka bisa menghitung barang belanjaan secara cepat dan tepat tanpa menggunakan alat hitung seperti kalkulator.
Setelah membayar belanjaan, gue mampir ke toko buah dan sayur tak jauh dari kos untuk mengecek apakah mereka memiliki bahan-bahan yang gue cari. “Ada kemiri sama daun pandan, bu?” tanya gue.
“Ada. Mau berapa?” tanyanya.
“Kemirinya berapa? Daun pandannya berapa?” tanya gue.
“Kemirinya satu bungkus isi lima. Harganya seribu. Daun pandan seikat ini, dua ribu.” Katanya.
“Yaudah, kemirinya satu bungkus, daun padannya seikat aja.” Kata gue, lalu menyerahkan selembar uang sepuluh ribu.
“Makasih, bu,” ujar gue, setelah menerima uang kembalian belanjaan.
Gue memeriksa kembali barang belanjaan gue apakah sudah lengkap atau masih ada yang kurang. Rupanya, gue melupakan satu bahan penting, daun kunyit. Karena gue malas turun, jadi gue akan masak ayam woku tanpa menggunakan daun kunyit.
Sebelum mulai masak, gue mencuci bersih semua bahan selain kemiri yang akan digunakan. Setelah dicuci bersih dan dikeringkan, bahan-bahan tadi dimasukkan ke dalam chopper.
Untuk kemirinya sendiri perlu disangrai terlebih dahulu agar memperkuat aroma masakannya nanti. Sembari menyangrai kemiri, gue juga membakar kunyit menggunakan api kompor.
Usai menyangrai kemiri dan membakar kunyit, kedua bahan tersebut turut dimasukkan ke dalam chopper untuk selanjutnya dihaluskan. Biar enggak seret, gue menambahkan sedikit minyak. Setelah memasukkan semua bahan ke dalam chopper, lalu haluskan semua bahan tadi hingga menjadi seperti pasta.
Setelah dihaluskan sampai jadi pasta, gue mengambil beberapa foto sebagai bahan dokumentasi karena ini adalah bumbu halus pertama yang gue bikin sendiri. Tidak Cuma bumbu halus pertama, itu juga merupakan bumbu woku pertama yang gue buat. Jujur saja, gue merasa senang dan bangga pada diri gue sendiri.
Lalu gue menumis bumbu tersebut di api sedang sampai warnanya berubah dan mengeluarkan minyak. Setelah warnanya berubah dan mengeluarkan aroma yang kuat, gue segera mematikan api kompor dan membiarkan bumbu tersebut menjadi dingin.
Kenapa begitu? Karena gue ingin menggunakan bumbu woku ini untuk dua kali masak. Supaya nanti ketika ingin memasak woku, gue tidak perlu repot-repot menghaluskan bumbu lagi.
Setelah bumbunya dingin, gue memindahkannya ke wadah plastik yang sudah dibersihkan supaya nanti bisa disimpan di dalam kulkas. Selanjutnya, gue mempersiapkan ayam yang akan dimasak.
Saat semua persiapan sudah selesai dilakukan, saatnya masuk ke bagian paling penting, memasak ayam wokunya! Begitu aroma dari bumbu woku tadi sudah keluar, saatnya masukkan ayam ke dalam panci dan biarkan ayamnya ditumis bersama bumbu halusnya hingga meresap.
Setelah warna ayamnya berubah, gue langsung menambahkan sedikit air supaya ayamnya matang dengan cepat. Begitu ayamnya matang, selanjutnya masukkan bahan-bahan lainnya.
Ayam woku pun jadi. Sebenarnya, gue bisa saja langsung menyantap ayam woku ini dengan nasi panas. Tapi, karena gue tipikal orang yang harus makan dengan sayur, jadi gue perlu memasak sayur bayamnya juga.
Setelah masak-masak, tibalah momen yang paling ditunggu-tunggu, makan! Karena gue baru belajar membuat ayam woku, jujur saja, gue merasa deg-degan saat akan menyantapnya. Suapan pertama itu membuat gue gugup.
Suapan pertama masuk. Kunyahan demi kunyahan, membuat gue tidak bisa menyembunyikan senyuman di bibir. Harus gue akui, ayam woku yang gue masak kali ini nyaris memenuhi harapan gue.
Dikatakan nyaris, karena pedasnya masih belum sesuai ekspektasi gue. Mungkin saja yang membuat rasa pedasnya kurang nampol dikarenakan gue menggunakan dua tomat pada masakan ini. Yang mana, tomat sendiri memiliki kandungan air yang banyak sehingga akhirnya men-tone down rasa pedas dari ayam woku itu sendiri.
Meski begitu, gue tetap bangga sekaligus puas dengan hindangan ayam woku pertama gue ini. Dari pengalaman pertama belajar memasak ayam woku ini, gue jadi tahu bahwa gue hanya perlu menggunakan satu tomat saja.
Kalau harus menilai, ayam woku ini gue beri nilai 7.5/10. Diberi nilai 7.5 karena woku ini memiliki rasa manis, sedikit asem, sedikit pedas, gurih, juga wangi. Itu semua membuat nafsu makan gue bertambah.
Nasi panas, ayam woku, sayur bayam, menjadi menu santap sore gue hari itu. Keputusan gue untuk belajar membuat hidangan ayam woku dirasa sangat tepat karena dengan bahan yang cukup banyak dan rasa yang dihasilkan sangatlah sepadan. Tidak ada bahan yang terbuang sia-sia dan gue bisa menghabiskan hidangan ini dalam beberapa kali makan.
Berhasil membuat hidangan di luar zona nyaman, gue semakin bersemangat untuk mempelajari masakan lainnya. Hidangan yang sempat membuat gue tertarik untuk mempelajarinya adalah ayam betutu bali dan juga ayam rica.
Tapi, karena belakangan gue cukup sering makan ayam, jadi rencana untuk masak ayam betutu atau ayam rica itu gue batalkan dan digantikan dengan membuat oseng udang saus mentega.
Yang syukurnya, hindangan udang saus mentega ini juga berhasil dan menjadi hidangan favorit gue sepanjang sejarah masak-masak. Untuk yang penasaran, ini dia, oseng udang saus mentega yang gue berhasil gue buat minggu lalu.
Itu dia cerita pengalaman gue dalam melevel up skill dibidang memasak. Sebenarnya masih ada banyak sekali masakan yang ingin gue pelajari. Tetapi karena keterbatasan waktu, jadi gue hanya bisa mencoba satu masakan setiap minggunya.
Sekian cerita gue pada postingan Level Up Skill Memasak. Lain kali, gue akan kembali dengan hidangan yang lebih baru dan pengalaman yang lebih seru. Terima kasih sudah membaca tulisan ini, happy weekend!
Omaigoddd, ngeliat ayamnya aja udah ngiler.
Meskipun sibuk tapi masih berusaha untuk explore resep masakan. Daebak
Dulu waktu masih jadi anak kosan, aku cukup sering masak tapi yang simpel kayak oseng oseng aja. Selebihnya kalau yang kayak rawon,kare belum pernah.
wah mantap deh , wah bsia jadi mantu idaman ini