Sebagai anak muda yang pernah bermimpi ingin bekerja di lingkungan yang dinamis dan serba cepat, gue merasa amat terharu sekaligus bersyukur ketika mendapatkan offering letter dari sebuah tech company untuk pertama kalinya!
Di postingan kali ini, gue ingin membagikan cerita gue ketika mengikuti proses rekrutmen, hingga akhirnya sign kontrak dan resmi menjadi anak startup. Penasaran? Simak terus ceritanya!
Cerita ini bermula ketika gue menyadari bahwa kontrak kerja gue akan habis dalam tiga minggu lagi. Lebih tepatnya di akhir bulan Juli kemarin. Setelah mengabdi selama 6 bulan lamanya, gue harus bersiap mencari pengganti, karena pilihannya saat itu hanya ada dua: pengangkatan menjadi karyawan tetap, atau berhenti bekerja karena kontrak habis.
Sebagai orang yang penuh dengan persiapan, tentu saja gue harus mengirim lamaran saat itu juga, sampai ada pengumuman dari atasan terkait status gue apakah diangkat atau tidak. Gue juga tidak ingin terlalu berpikir positif, karena seandainya tidak berjalan seperti yang diharapkan, gue takut itu akan membuat gue patah hati.
Jika itu memang terjadi, maka gue harus siap untuk memulai lembaran baru.
Lalu, gue melamar di beberapa tech company atau startup yang namanya cukup gue kenal. Mulai dari bidang education technology, sampai dengan bidang Financial. Ya, sepertinya gue masih belum bisa move on dan menghilangkan ketertarikan gue terhadap industri keuangan.
Lamaran yang gue kirim saat itu, mengantarkan gue menuju proses rekrutmen. Di minggu terakhir bulan Juli itu, gue memenuhi interview HR di sebuah startup yang bergerak di bidang education technology.
Bagi gue, panggilan interview tersebut hanya sebuah awalan. Gue menganggapnya seperti sebuah pemanasan.
Berkaca dari lingkungan kerja gue selama ini yang berkebalikan dari startup dan juga hasil psikotes yang sudah gue ikuti, yang bisa gue lakukan adalah cukup memenuhi panggilan tersebut, tanpa perlu memasang harapan yang tinggi terhadap hasilnya.
Bulan Agustus pun tiba. Di bulan itu, gue resmi melepas status gue sebagai karyawan swasta menjadi pencari kerja atau kalau menurut bahasa akamsi—anak kampung sini—menyebutnya Job Seekers. Yah, menjadi job seekers sebenarnya bukan hal yang baru buat gue. Karena sebelumnya gue pernah menjadi job seekers selama 5 bulan.
Belum puas menerima satu panggilan saja, gue tetap mengirimkan lamaran ke perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan. Sebagai job seekers, gue selalu menerapkan prinsip, “pantang berhenti (kirim lamaran) sampai ada sign kontrak.”
Sebagai pelamar, tentu ada saja lamaran gue yang ditolak. Entah karena tidak sesuai kualifikasi, atau posisinya memang sudah terisi. Tapi tidak apa, karena gue sama sekali tidak memasang harapan yang tinggi pada saat mengirim lamaran.
Suatu hari, di pertengahan bulan Agustus, gue iseng mengirimkan lamaran ke sebuah startup yang bergerak dibidang Digital Supply Chain Management.
Alasan gue mengirim lamaran ke sana, karena gue ingin mencoba bekerja di perusahaan yang bidangnya berbeda dengan tempat gue bekerja sebelumnya.
Gue masih ingat, kala itu, gue mengirim lamaran pada jam 19.31 malam. Satu jam setelah mengirimkan lamaran, gue menerima sebuah email pemberitahuan bahwa lamaran gue diproses ke tahap selanjutnya.
Terang saja gue kaget. Bagaimana mungkin, lamaran yang gue kirim pada malam hari bisa diproses secepat ini? Apalagi, gue dijadwalkan untuk interview keesokan harinya.
Tidak ingin membuat HRDnya menunggu, gue segera membalas email tersebut, lalu menjelaskan bahwa gue tidak bisa memenuhi interview yang sudah ia jadwalkan, karena di hari yang sama, gue sudah dijadwalkan untuk menerima vaksin dosis kedua. Ya, gue harus meminta agar interview tersebut di reschedule.
HRD dari perusahaan tersebut menyetujui permohonan gue. Jadwal interview itu pun digeser ke Jumat pagi.
***
Setelah menjalani sesi interview pada jumat pagi, siang harinya di jam 2, gue menerima email yang memberitahukan bahwa gue lanjut ke tahap berikutnya, interview user! Interview itu sendiri akan dimulai pada Senin sore.
Gue lumayan kaget mengetahui hasilnya bisa keluar secepat ini. Karena sepengalaman gue menjadi job seekers dan mengiktui pelbagai proses rekrutmen, paling cepat itu hasilnya keluar dalam 3 hari kerja. Tapi untuk perusahaan ini, bahkan hasilnya bisa diketahui hanya dalam hitungan jam!
Gue terkagum-kagum dengan proses rekrutmen di perusahaan itu. Kalau hasilnya bisa keluar secepat ini, maka, semakin cepat pula gue bisa bergabung. Urusan hasil, itu belakangan saja. Yang penting, cukup memberikan yang terbaik untuk setiap interviewnya.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sesi interview bersama user perusahaan tersebut berjalan dengan mulus. Selanjutnya, gue hanya perlu menunggu email pemberitahuan apakah gue lanjut ke tahap selanjutnya atau tidak.
Sama seperti sebelumnya, gue menerima hasil interview itu dengan cepat. Kali ini sedikit berbeda, gue mengetahui hasilnya dua hari setelah interview. Di hari rabu itu, gue menerima email pemberitahuan bahwa gue akan lanjut ke sesi interview manager pada hari jumat nanti.
Sesuai email pemberitahuan yang gue terima di hari rabunya, jumat pagi, gue sudah standby di room google meet yang tercantum di invitation. Tak lama setelah gue masuk, manager yang akan mewawancara gue ikut bergabung. Interview pun berlangsung.
Hal yang tidak gue duga-duga dari interview ini adalah… adanya tes tambahan dari manager yang mewawancara gue. Sebelumnya, gue sudah mengerjakan tes yang diberikan oleh HRD. Akan tetapi, pada saat sesi interview bersama manager, gue diberi satu lagi tes tambahan.
Manager itu pun menjelaskan tentang tes yang akan gue jalani, dan juga temanya. Karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu, gue setuju untuk melakukan tes saat itu juga. Gue segera mengatur nafas dan membetulkan posisi duduk. Setelah merasa cukup tenang, sesi tes itu pun dimulai.
***
Pada tanggal 4 September kemarin, gue menerima kabar soal status lamaran gue. Bahwa, gue adalah kandidat terkuat untuk mengisi posisi tersebut dan selanjutnya gue akan masuk ke tahap terakhir, yaitu offering!
Berbeda dengan perusahaan sebelumnya, tahap offering kali ini dilakukan oleh HRD melalui sebuah surat yang sekaligus menjadi kontrak. Jika gue setuju untuk bekerja di sana, maka gue diharapkan untuk membubuhi surat tersebut dengan tandatangan dan juga materai sepuluh ribu.
Jika tidak setuju atau ada hal yang perlu didiskusikan, gue bisa mengajukan pertanyaan, bahkan juga negosiasi. Gue juga diperbolehkan untuk menolak mengisi offering letter tersebut jika hasil diskusinya tidak menemukan kata sepakat.
Berhubung ada hal yang perlu gue diskusikan, maka, gue mengajukan sekitar 5 pertanyaan. Kelima pertanyaan tersebut kemudian dijawab melalui panggilan telepon untuk dijelaskan lebih detail.
Setelah melalui tahapan tersebut dan gue juga menemukan kata sepakat, akhirnya gue membubuhi surat itu dengan tandatangan di atas materai sepuluh ribu. Dan pada tanggal 6 September itu, gue resmi bekerja dan menjadi anak startup!
***
Setelah bekerja selama sebulan di kantor baru, gue merasa posisi yang gue tempati saat ini cukup strategis. Di sini, gue mendapatkan ilmu baru, pengalaman baru, dan juga hal-hal menarik lainnya yang tidak bisa gue sebutkan satu per satu.
Di pekerjaan ini, gue bisa mengerjakan pelbagai hal. Artinya, gue tidak melakukan pekerjaan yang sama setiap harinya. Yang gue kerjakan setiap harinya bisa berbeda-beda.
Satu hal lagi yang membuat gue cukup mencintai pekerjaan gue saat ini. Pekerjaan ini memberikan gue pilihan: menjadi front office dan juga back office atau orang yang bekerja di belakang.
Mengapa gue begitu mencintai pekerjaan gue saat ini? Begini, jadi di pekerjaan sebelumnya, atau pun pada saat magang, gue selalu berada di back liner. Dengan kata lain, gue tidak bertemu dengan klien atau menghadapi user secara langsung.
Akan tetapi, di sini, gue bisa memilih menjadi front office atau pun back office. Tergantung dengan situasi dan juga project yang di-assign kepada gue. Beberapa hari yang lalu misalnya, gue diajak ke tempat klien untuk membantu training penggunaan di lapangan. Kebetulan, tempatnya masih di wilayah Jakarta.
Pada saat jam makan siang, kami makan dan mengobrol. Gue bernisiatif melempar pertanyaan.
“Udah berapa lama kerja di sini, mas?” pancing gue.
Melalui obrolan tersebut, gue terkagum-kagum dengan rekan kerja gue ini. Dia sudah melalang buana di semua wilayah Indonesia Timur. Memang dia sendiri lebih banyak bertugas di lapangan. Mendengar cerita tersebut, gue menjadi semakin tertantang.
Yah, gue sadar, bahwa gue sebagai anak baru tidak mungkin dilepas begitu saja memberikan training sendirian di luar kota. Kalau pun diberikan kesempatan untuk pergi ke luar kota dan memberikan training, gue pasti akan dipasangkan dengan satu orang lagi yang lebih berpengalaman.
Gue juga sadar, bahwa memberikan training di luar kota, bukan berarti gue terbebas dari kewajiban gue saat ini. Gue tetap mencatat setiap temuan yang ada di lapangan, menghadiri setiap meeting, berkomunikasi dengan engineer dan tim product.
Karena di kantor gue saat ini, menerapkan yang namanya Working From Home atau gue lebih suka menyebutnya Working From Anywhere. Bekerja dari mana saja selama ada koneksi internet.
Sudah sebulan lebih gue bekerja di startup. Sejauh ini gue sangat menikmati alur kerja dan juga lingkungannya. Demikian lah cerita gue tentang menjadi anak startup. Sebetulnya gue punya cukup banyak cerita yang ingin dibagikan. Akan tetapi, itu akan menjadi cerita yang panjang dan tentunya tidak semua orang bisa relate dengan cerita gue karena setiap perusahaan punya ceritanya masing-masing.
Mungkin akan ada yang bilang bekerja di startup itu nggak enak, mungkin juga ada yang bilang bekerja di startup itu enak. Oleh karena itu, gue hanya mengangkat cerita dari sisi pekerjaan gue saja dan tulisan ini gue cukupkan sampai di sini.
Kalau kalian punya pengalaman di startup atau sekadar ingin berbagi cerita soal pekerjaan atau lingkungan kerja kalian saat ini mau pun dulu, tulis di kolom komentar di bawah ini. Siapa tau cerita kalian bisa membantu yang lainnya. Sampai jumpa di postingan selanjutnya!