Apa yang terlintas di kepala kalian ketika mendengar atau membaca kata positif? Kalau gue pribadi, yang terpikirkan adalah positif covid. Ya, sebagai informasi, gue sempat dinyatakan positif beberapa bulan lalu.
Pada postingan kali ini, gue ingin bercerita tentang bagaimana gue bisa dinyatakan positif. Begini ceritanya…
Hambar
Kecurigaan gue bermula pada malam senin di tanggal 27 Juni 2021. Di mana malam itu gue tidak merasakan makan malam yang baru saja gue beli dari luar. “Kayaknya, garem sama penyedapnya belum tercampur rata, deh,” ketik gue kepada mbak pacar.
“Oh iya? Coba kamu tambahin garem deh.”
Sebagai orang yang tidak suka mengonsumsi terlalu banyak garam, gue memilih untuk tetap menyantap sop iga yang sudah terhindang di mangkuk berwarna oranye.
Sehabis menyantap sop iga tersebut, gue masih merasa curiga dengan lidah gue sendiri. Sebenarnya yang salah itu lidah gue, atau memang sopnya yang terasa hambar? Untuk memastikan hal tersebut, gue melakukan testing rasa.
Di depan gue sudah ada beberapa bahan yang akan digunakan untuk menguji indera perasa. Diantaranya garam, gula, madu, dan juga sirup rasa jeruk. Percobaan pertama dimulai dari garam.
Tes ini cukup sederhana. Gue hanya perlu menjulurkan lidah lalu menaburkan sedikit garam di atasnya. Setelah garam tersebut ditaburkan, yang terasa oleh lidah gue adalah… asin banget! Rasa asinnya terlalu pekat sampai-sampai gue perlu menenggak dua gelas air untuk menyingkirkan rasa asin dari lidah.
Percobaan ini sebenarnya cukup tolol karena mengorbankan lidah sendiri. Tapi mau gimana lagi, yang ada di dekat gue hanya keempat bahan tersebut.
Setelah menyingkirkan rasa asin di lidah, gue bersiap untuk masuk ke percobaan kedua, yaitu gula.
Pada percobaan kedua, gue bisa merasakan rasa manis dari gula yang gue taburkan ke lidah. Karena gue bisa merasakan manis dan asin, gue bersiap untuk masuk ke percobaan ketiga, madu.
Percobaan ketiga dimulai. Sama seperti sebelumnya, di percobaan ketiga gue berhasil lulus karena bisa merasakan manis dari madu. Setelah lulus percobaan ketiga, gue mempersiapkan diri untuk masuk ke percobaan terakhir, sirup rasa jeruk.
Percobaan keempat adalah ujian terakhir yang harus gue lewati untuk memastikan bahwa indera perasa gue dalam keadaan baik-baik saja. Masih sama seperti percobaan sebelumnya, gue menuangkan sirup ke sendok lalu memasukkannya ke dalam mulut.
Untungnya, gue bisa merasakan rasa manis dari jeruk.
Berdasarkan keempat percobaan tersebut, gue menyimpulkan bahwa sop iga yang gue makan barusan memang hambar. Sebab, pada saat gue membeli sop tersebut, pemiliknya baru menuangkan garam dan bumbu penyedap ke dandang atau wadah tempat kuah sopnya.
Mengetahui bahwa indera perasa gue baik-baik saja, membuat pikiran gue menjadi sedikit tenang.
Penurunan kemampuan indera perasa.
Gue memulai senin pagi dengan perasaan letih. Bukan letih fisik, melainkan rasa letih pada batin. Karena gue merasa ada yang tidak wajar dengan diri gue di hari itu, gue pun menghubungi teman gue, curhat.
“Kayaknya lu lagi burnout, deh. Ambil cuti aja, Za. Jangan dipaksakan kerja. Lu kan punya jatah cuti,” saran sohib gue di kantor.
Ucapan sohib gue itu ada benarnya. Status gue memang sedikit berbeda dengan sohib gue itu. Di mana dia sama sekali tidak memiliki jatah atau kesempatan untuk cuti karena masih masa probation.
Sementara itu gue memiliki jatah cuti dan gue sama sekali belum menggunakan jatah atau hak cuti tersebut kecuali pada saat cuti bersama lebaran kemarin.
“Udahlah gapapa. Besok kalau emang masih capek, gue akan coba ambil cuti.” balas gue.
Jam 8 teng, gue sudah standby di depan laptop. Bersiap untuk ikut daily meeting.
Selepas daily meeting, gue langsung mandi supaya badan lebih segar dan siap untuk bekerja. Sehabis mandi, seperti biasanya, gue langsung menyemprot pengharum ruangan. Sekadar untuk menambah kesan fresh dan membangkitkan mood.
Di sini lah kecurigaan nomor dua. Setelah menyemprot pewangi ruangan, gue tidak bisa mencium aroma bunga dari pengharum yang sudah gue semprotkan ke udara. Masih belum yakin, gue coba mendekatkan lubang semprotan ke hidung.
Benar saja, gue tidak bisa mencium aroma pengharum ruangan tersebut. Tapi, gue tidak mau langsung menyimpulkan itu sebagai tanda positif, karena gue sama sekali belum melakukan tes dan kebetulan ketika itu hidung gue sedang mampet.
Jadi, gue merasa itu hal yang wajar jika gue tidak bisa mencium aroma apapun di sekitar gue.
Mendekati jam makan siang, gue buru-buru memesan Tongseng langganan melalui aplikasi ojek online. Setelah Tongseng tersebut sampai, seperti biasa, hal pertama yang gue lakukan adalah menyeruput kuah Tongsengnya.
Pada seruputan itu, gue sedikit terkejut mengetahui tongsengnya seperti tidak ada rasa di lidah gue. “Masa sih penjual lupa naruh bumbu?” pikir gue, sambil mengingat kejadian semalam.
Sebagai penyuka tongseng, gue cukup tahu bagaimana proses memasaknya. Tongseng dibuat langsung sesuai dengan pesanan yang datang. Jadi, tidak mungkin kalau juru masaknya tidak mengaduk atau lupa menaruh bumbu.
Untuk memastikan itu, gue harus melakukan percobaan seperti malam sebelumnya. Testing rasa!
Berdasarkan percobaan tersebut, gue menyimpulkan bahwa gue tidak bisa mendapatkan “detail rasa” dari makanan yang gue konsumsi. Ketika gue mengatakan tidak mendapatkan detail rasa, itu artinya lidah gue masih bisa merasakan sesuatu.
Hanya saja, lidah gue tidak mampu menangkap kompleksitas rasa yang ada pada kuah tongsengnya. Jadi, boleh dibilang saat itu gue sudah memasuki fase penurunan kemampuan penciuman dan juga indera perasa.
Akibat penurunan kemampuan indera perasa, gue hanya bisa menangkap 4 rasa dasar, seperti manis, asin, asem, dan juga pedas.
Kok bisa ada rasa pedas? Karena ketika itu gue memesan tongseng yang pedas. Sehingga tongsengnya ada banyak irisan cabe rawit dan ketika gue makan tongseng tersebut dan mengigit cabenya, lidah gue menangkap rasa pedas dari rawit tersebut.
Karena mengalami penurunan kemampuan merasa dan juga penciuman, saat itu gue langsung berjanji ke diri gue sendiri, jika besok gue masih tidak bisa mencium aroma atau tidak mampu menangkap rasa makanan, maka gue harus segera mengambil cuti dan melakukan tes.
Melakukan Test
Esok paginya, di tanggal 29 Juni, gue merasa kalau batin itu masih letih. Karena sudah berjanji di hari sebelumnya, hari itu gue langsung menggunakan jatah cuti tahunan untuk istirahat dan menenangkan diri. Tidak hanya istirahat, gue juga harus melakukan tes.
Sebelum gue memesan jadwal test, gue perlu memastikan test apa yang harus gue ambil. Oleh karena itu, gue melakukan konsultasi dengan dokter secara online.
Situasi ini cukup membingungkan karena terjadi di waktu yang berdekat. Pertama, gue kehilangan indera penciuman dan perasa. Kedua, esok harinya gue ada jadwal vaksin dan nama gue sudah terdaftar sejak seminggu yang lalu.
Saat itu, yang terpikirkan oleh gue adalah melakukan dua test sekaligus, tes rapid antigen dan antibodi kuantitatif.
Setelah berkonsultasi dengan dokter, gue jadi tahu harus mengambil tes apa supaya uang yang dikeluarkan tidak sia-sia.
Gue langsung membuka situs rumah sakit terdekat dan membooking jadwal untuk tes antigen. Dari empat pilihan jadwal yang tersedia, gue mengambil jadwal test di siang harinya dan langsung melakukan pembayaran.
Jam 11, gue langsung memesan ojek online. Berhubung tempat yang akan gue datangi adalah sebuah rumah sakit dan ketika itu gue sedang memiliki gejala, maka saat itu gue menggunakan dua masker dan memberitahu pengemudi ojek tersebut bahwa gue memiliki gejala dan saat itu perlu ke rumah sakit untuk melakukan test.
Setibanya di rumah sakit, gue langsung mendatangi pos verifikasi data. “Tempat testnya ada di belakang ya, mas.” Kata petugas di posko verifikasi.
Di pos tersebut, ada beberapa petugas dan satu orang yang sedang dites. Giliran gue pun tiba, gue langsung melepas kedua masker yang sedang gue kenakan dan petugasnya langsung mencolok hidung gue dengan alat yang ada di tangannya.
“Hasilnya akan ketahuan dalam 15 atau 30 menit ya, mas.” Kata petugas yang melayani gue.
“Oke, ini saya sudah boleh pulang kan?” tanya gue.
“Sudah. Nanti hasilnya bisa dicek di website tempat mas tadi melakukan pendaftaran.” jawabnya.
Gue mengangguk sebagai tanda mengerti, lalu berjalan meninggalkan pos tersebut. Diperjalanan, rupanya tempat yang biasa gue lewati ketika pulang, sedang ditutup sehingga kendaraan tidak dapat melintas.
Wajar saja, saat itu kasus sedang tinggi-tingginya. Bahkan, gue terpaksa membatalkan jadwal rawat jalan karena khawatir dapat terpapar saat kontrol di rumah sakit.
Karena jalannya ditutup, mau tidak mau gue terpaksa turun dan meneruskannya dengan berjalan kaki karena kos gue tidaklah jauh dari tempat tersebut.
Saat lagi jalan menuju kos, kaki gue berhenti di sebuah warung yang terdapat spanduk bertuliskan warmindo. Makan siang pakai mie rebus kayaknya enak, pikir gue dalam hati, yang kebetulan saat itu belum mengisi perut dari pagi.
“Bang, mie sotonya satu, pake telur, sawi dan irisan rawit, ya. Bungkus.” pesan gue.
Pemilik warmindo itu mengancungkan jempolnya sambil berkata, “oke bos.”
Sembari menunggu pesanan gue dibuat, gue sengaja mengambil bangku kosong untuk menjaga jarak dari orang yang sedang makan dan nongkrong di warmindo tersebut. Mengingat hasil test antigen gue ketika itu belum keluar.
Setelah pesanan gue selesai dibuat, gue langsung membayar dengan cara non tunai. “Makasih ya, bang.” kata gue, lalu berjalan meninggalkan warmindo tersebut.
Setibanya di kos, gue langsung menuangkan mie soto tadi ke mangkok, lalu segera menyantapnya karena perut gue betul-betul sudah lapar.
Setelah seruputan pertama itu, gue teringat kembali dengan sop iga yang gue makan pada hari minggu. “ini abangnya lupa masukin bumbu kali ya? Masa indomienya nggak ada rasa, sih?”
Kesal, gue menyeruput kuah mie tersebut sambil mengigit irisan cabai rawit. Gue tetap tidak bisa merasakan kuah mie, juga gue tidak bisa merasakan pedas dari cabai rawit itu. Akan tetapi, di lidah gue, gue bisa merasakan sensasi panas dari cabai yang gue gigit.
Karena gue belum makan sejak pagi, mau tidak mau gue harus menyantap mie itu meskipun rasanya “hambar”. Setelah melepas rasa lapar, gue kembali mengecek apakah hasil tesnya sudah keluar atau belum.
“Yes! Hasilnya sudah keluar!” batin gue. Dengan perasaan yang bercampur aduk antara senang, cemas, deg-degan, penasaran, gue segera mendownload hasil test tersebut.
Saat itu gue sudah pasrah dan siap untuk menerima apapun hasil yang akan keluar nanti. “Bismillah,” ucap gue saat akan membuka laporan hasil test tersebut.
Berdasarkan hasil test tersebut, gue pun dinyatakan positif. Gue pribadi sebenarnya nggak terlalu kaget, karena sejak senin kemarin indera perasa gue sudah menumpul dan penciuman gue hilang sama sekali.
Mengetahui hasilnya positif, di hari itu gue langsung memulai isolasi mandiri. Mulai membatasi aktivitas di luar kamar, juga membatalkan rencana memasak. Selain itu, gue segera memberitahu keluarga di rumah dan penjaga kos kalau gue positif.
Dengan memberitahu mbak kos, harapannya beliau mau membatu mengantarkan makanan yang gue pesan secara online dan menggantungnya di depan pintu kamar.
Setelah memberitahu mbak kos, gue langsung memberitahu supervisor di kantor bahwa hasil tes antigen gue positif.
“Beberapa hari ini kamu ada aktivitas atau kegiatan di luar nggak, Za?” tanya supervisor gue.
“Ada, pak. Sabtu kemarin saya pergi ke kampus untuk ambil ijazah,” jawab gue.
“Oke. Bisa tolong kirimkan capture hasilnya, Za? Biar bisa saya teruskan ke HRD,” kata supervisor gue.
“Baik, pak. Filenya terlampir,” balas gue melalui WhatsApp.
Setelah mengabari keluarga, atasan dan juga orang-orang terdekat, gue melewati hari itu perasaan yang lebih anteng karena gue sendiri sudah siap dan tahu apa yang harus dilakukan. Karenanya sudah siap, gue bisa menghadapi situasi dengan lebih tenang.
Demikian cerita yang bisa gue bagikan terkait bagaimana gue bisa dinyatakan positif. Di lain waktu, gue akan menceritakan bagaimana dan apa yang gue lakukan selama isolasi mandiri. Jangan lupa untuk menjaga kesehatan selalu, ya!