Selasa, November 26, 2024
HomeStoryKemakan Omongan Sendiri

Kemakan Omongan Sendiri

on

Kalian pernah kemakan omongan sendiri nggak, sih? Ambil contoh, misal suatu hari gue pernah bilang, “gue enggak akan galau lagi!” yang nggak lama kemudian gue galau berat gara-gara habis lihat mantan lagi jalan sama pacar barunya. Contoh lain misalnya gue pernah bilang, “gue bakal move on!” tau-taunya masih stalking media sosial mantan.

Cemen! Dasar payah! Harusnya stalking orangnya langsung, dong! (ENGGAK GINI JUGA SIH!).

Oke, itu cuman perumpamaan. Aslinya enggak gitu, kok. Karena terakhir kali gue punya pacar itu waktu masih duduk di bangku SMA. Sekitar tiga tahun yang lalu lebih tepatnya. Cukup lama, ‘kan? Kecil kemungkinannya untuk gue melakukan sesuatu seperti contoh di atas.

Bahkan gue lupa bagaimana rasanya cemburu.

Gue itu orangnya cukup konsisten. Karena gue orangnya begitu, jadi selama tiga tahun ini gue masih konsisten dengan status gue sebagai seorang jomblo. Sebenernya gue mau ngomong kalau gue itu single. Tapi netizen pasti nggak setuju dengan sebutan tersebut. Lagipula gue bukan penyanyi yang ngeluarin single dalam periode waktu tertentu.

Oleh karenanya, maka gue menggunakan sebutan jomblo pada tulisan ini. Biar lucu-lucu gimana gitu. Tiga tahun menjomblo. Kalau lagi nyicil, berarti bisa dua kali ganti hape dengan masa cicilan selama 18 bulan. Okesip! Besok-besok gue kredit hape aja!

Pernah terpikirkan untuk punya kekasih, enggak?

Pernah. Sering banget. Tapi dengan gue yang sekarang, gue pikir sebaiknya enggak usah dulu deh. Banyak hal yang mesti gue ubah. Banyak lagi yang mesti perbaiki. Seperti memperbaiki sifat gue yang kadang suka kekanak-kanakan. Gue takut sifat kekanak-kanakan itu terbawa ke dalam hubungan asmara.

Lagipula bukankah dalam sebuah hubungan harus ada yang lebih dewasa? Kalau keduanya sama-sama punya sifat kekanak-kanakan, apalagi dengan ego yang tinggi, bisa berabe, deh.

Kemungkinan untuk berubah ke arah yang lebih baik tuh selalu ada. Tapi kemungkinan untuk mempertahankan ego juga nggak kalah besar. Dua kemungkinan tersebut selalu terbuka untuk sepasang manusia yang sedang mabuk asmara. Mungkin hari ini masih bilang sayang. Hari esok siapa yang tahu? Mungkin udah saling melupakan. Mungkin juga saling mengumbar keburukan.

Walaupun pemikiran seperti, “ah, coba ada penyemangat. Pasti gue bisa bekerja dengan lebih maksimal” atau “sepi banget. Pengin deh dibawelin”, sering datang dan menghantui, gue berusaha untuk tetap berjalan di jalur yang udah gue pilih. Untuk itu gue sengaja menjomblo dulu. Biar lebih fokus untuk mencapai tujuan: merubah dan perbaiki.

Oke, kembali ke topik sebelumnya.

Gue rasa sebagian besar dari kita pernah termakan omongan sendiri. Nggak usah jauh-jauh deh. Buat anak kos yang nggak pinter masak dan selalu susah untuk makan enak di akhir bulan, setidaknya pasti pernah bilang, “aku bakal kurang-kurangin belanjaan supaya akhir bulan nanti nggak makan mi instan!” yang pada prakteknya ya, tetap aja makan mi instan tiap akhir bulan karena gagal mengatur keuangan. Benar apa benar? Hehehe.

Tapi hal itu kayaknya nggak berlaku untuk orang yang lahir dari keluarga yang berada.

Kalau gue pribadi, ya, kalau lagi mau makan mi instan, ya, makan aja. Nggak usah nunggu akhir bulan dulu. Soal keuangan, gue cukup ahli dalam mengaturnya. Meskipun gue bukan lahir dari keluarga yang berada, mau awal atau akhir bulan buat gue sama aja karena dari awal gue berhasil mengatur pola keuangan gue sendiri.

Kalau termakan omongan sendiri tuh rasanya malu banget nggak sih? Kalau menurut gue iya! Malu banget! Apalagi kalau temen dan orang-orang di luar lingkup pertemanan pada tahu! Huh! Mau taruh di mana muka ini. :’)

Ngomong-ngomong… gue pernah termakan omongan sendiri dan buat gue itu memalukan banget karena ada beberapa orang temen yang tahu soal tersebut. Untungnya nggak ada orang lain yang tahu. Waktu itu gue masih duduk di bangku SMP. “Yee si Reza termakan omongannya sendiri,” temen gue tertawa meledek.

“Makanya jangan sembarangan ngomong. Lihat sendiri kan hasilnya!”

Gue tertunduk malu dan enggak bisa membantah karena begitulah faktanya. Udah termakan omongan sendiri, galau, dan malu sendiri.

Gue juga pernah termakan omongan sendiri. Kejadiannya belum lama. Waktu itu gue berhasil menyatakan isi hati gue. Dia mendengarkan dengan baik dan sama sekali nggak menjauh setelah itu. Pada kesempatan itu gue bilang, kalau gue belum siap dan lagi pengin sendiri.

Menyatakaan Perasaan
Menyatakan Perasaan
sumber: pexels.com

Lama-lama jadi tambah dekat. Gue selalu meluangkan waktu untuk dengarkan curhatan dia. Mulai dari hal yang penting sampai yang nggak penting banget. Dan entah kenapa gue selalu senang tiap kali mendengarkan curhatannya.

Semuanya berjalan sesuai harapan sampai dia curhat soal sahabatnya. Awalnya gue biasa-biasa aja. Menanggapi sesuai kapasitas gue, yaitu sebagai seorang teman yang baik. Bahkan gue setuju kalau dia jadian sama sahabatnya itu. Biarin deh gue jadi tempat curhat asal dia betul-betul serius dan bahagia dengan cowok sekaligus sahabatnya itu. Lagipula gue kasihan ngelihat dia.

Dia menolak. Takut kalau persahabatannya jadi rusak. Tapi satu sisi dia selalu cerita soal cowok itu. Karena responnya selalu begitu tiap kali di dukung, gue jadi gemes sendiri. Kalau lu takut bakal rusak, ya, nggak usah, batin gue. Lama-lama jadi cemburu karena dia sering cerita soal sahabatnya. Pada suatu malam yang sunyi gue berpikir, kok gue jadi gini, ya? Kok gue bisa cemburu sama sahabatnya itu?

Anehnya gue cuman cemburu sama sahabatnya itu. Gue sama sekali nggak cemburu ketika dia curhat soal cowok yang dulu pernah atau sekarang lagi deketin dia. Waktu itu gue memendamnya sendiri. Belum ada orang lain yang tau. Tapi lama kelamaan gue nggak bisa menampungnya sendiri. Gue perlu tempat untuk berbagi. Akhirnya gue curhat ke sahabat gue.

“Jangankan elu. Gue yang cewek aja nggak tahu maksud dia apa.” respon sahabat gue. “Lu nggak coba tanya ke dia langsung?”

“Enggak bisa, Man. Dari awal gue udah bilang kalau gue belum siap.”

“Tapi tingkahnya aneh juga, ya. Padahal dia tahu kalau lu belum siap untuk itu.”

“Makanya!” kali ini gue setuju dengan Manda.

“Kalau gitu tinggalkan dia.” Kata Manda.

Gue bener-bener pengin nyiram air ke muka Manda. Gampang banget dia ngomong gitu. Untung waktu itu pesanan kami belum datang dan sepertinya dia masih belum menyelesaikan kalimatnya.

“Gue tahu lu tuh orangnya kayak gimana, Za. Dan ini tuh sama aja dengan buang-buang waktu lu.”

Curhat ke sahabat
Curhat ke sahabat
sumber: pexels.com

Manda benar. Gue setuju sama dia dan sebaliknya gue ingin nyiram air ke muka sendiri. Biar gue bangun dari mimpi. Untungnya dia lagi nggak sibuk-sibuk banget. Malam itu kami berdua menghabiskan waktu untuk bertukar cerita. Dia cerita soal cowok yang dia suka dan gue minta pendapat dia soal cewek ini.

Belum puas curhat dengan Manda. Gue juga curhat ke beberapa orang kawan.

“Dianya nggak jelas, Za.” Kata Kak Beby. “Mending nggak usah dilanjutin.”

“Tapi gue juga nggak jelas, Kak. Belum siap tapi malah cemburu.”

“Ya wajar kalau lu cemburu. Kan lu demen sama dia.”

“Terus gue harus gimana?”

“Nggak usah lanjut. Wasting time.”

Sesuai sarannya Manda dan Kak Beby, gue bilang ke diri sendiri bahwa kali ini gue nggak akan peduli dan akan menanggapinya dengan biasa aja.

Dua minggu kemudian gue kembali merasakan yang namanya cemburu. Sial, ternyata sulit ya untuk nggak peduli sama orang yang kita suka, gue membatin. Sebanyak apapun gue mencoba, tetap aja ujung-ujungnya kecewa dan kemakan omongan sendiri. Mungkin karena dia nggak tau dan gue nggak ngomong.

Setelah mengumpulkan cukup keberanian, gue berhasil mengatakan hal itu. Kini dia tau dan masih melakukannya. Capek juga ya jadi gue. Huft. Guenya juga sih yang salah. Kalau belum siap ya nggak perlu cemburu.

Benar kata Dilan. Cemburu tuh hanya untuk orang-orang yang nggak percaya diri. Dan sekarang ini gue lagi nggak percaya diri.

Baca Juga: Menertawakan Canggung

Gue perlu saran dari kalian. Temen-temen pembaca. Sebaiknya gue tetap lanjut atau berhenti aja seperti sarannya Manda dan Kak Beby? Kalau lanjut alasannya kenapa? Kalau berhenti alasannya kenapa?

Kalian punya pengalaman serupa nggak, sih? Yuk ceritakan pengalaman “kemakan omongan sendiri” versi kalian di kolom komentar. Yang paling gokil akan gue post di media sosial gue \o/

 

 

STAY CONNECTED

Facebook || Google+ || Instagram || Twitter ||

email: [email protected]

Previous Article
Next Article
Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

19 KOMENTAR

  1. Waduh ribet juga ya bang. Menurut saya yang masih setia menjomblo dari lahir, tinggalkan saja bang. Hidup udah ribet jangan diribetin. Ada waktunya nanti ketemu pasangan hidup yang kerjaannya menyelesaikan permasalahan hidup bukannya nambah beban hidup. Hehe. Gitu aja.

  2. Tapi dengan gue yang sekarang, gue pikir sebaiknya enggak usah dulu deh. — Ih I love it! Emang bener sih, kalo mau mulai suatu hubungan, mending ‘beres’ dulu sama diri sendiri. Kalo masih banyak yang pengen diraih, mending sendirian dulu aja. Bukannya sok kuat, tapi biar lebih cepet aja meraih apa yang dimau gitu. Nanti pas udah jadi best version dari diri sendiri, baru deh cari gandengan (yang semoga juga udah jadi best version dari dirinya). Btw, gak usah lanjut Za. Bener. Yg kayak gitu wasting time. Aku baru aja ngalamin. Haha :D

  3. “aku bakal kurang-kurangin belanjaan supaya akhir bulan nanti nggak makan mi instan!” – Aku banget astagaaa! Haha. Kalo lagi miskin gak punya duit tuh, rasanya langsung sok jadi pakar keuangan (bikin list apa-apa aja yang harus dibeli & nggak), eh pas gajian bablas juga sama jajan online & delivery makanan. Omoooo

  4. Pastinya aku juga pernah kemakan omongan sendiri. Misalnya dulu bilangnya anti makan pedas. Eh malah kini suka makanan pedas. Kalau teman aku yang tau banget gimana aku dulu yang anti kini malah suka. Habis aku.

    Kayaknya banyak banget deh orang yang mengalami kemakan omongan sendiri. Jadi aku cuek aja sih. Hahaha.

  5. Kalo di prinsip saya sih. Saya bakal puas kalo saya dapetin dengan usaha sendiri, iyap kita yang memulai. Iyap kita lelaki, kita yang memulai, kita yng memutuskan. Jujur ke diri sendiri. Kalau suka ya bilang suka, terkadang si dia memang menunggu kata-kata itu dari mulut kita.
    Berbeda, bagi saya cemburu itu adalah suatu anugrah tanda betapa sukanya kita kepada dia, kalau ga cemburu ya ga suka donk, kalo ga suka ya temenan aja, kalo suka ya utarakan perasaan. Ditolak? biasa, ga ada pembalap yang ga pernah jatuh. So take it easy, jujur ke hati sendiri.

  6. hahaha….. asyik nih tulisannya..
    widih… aku kalah nih sama Reza, keren kamu ya udah bisa ngatur keuangan sendiri
    Anyway cemburu dinikmati aja, jangan sampe menguras hati kayak Vidi Aldiano.. haha

  7. Ciee reza curhat
    Dari pengalaman aku za, kalo masih banyak yg akan kamu raih or cita2in mending ga usah dlu deh
    Mending fokus dlu ke kuliah or apalah..
    Nanti lo klo dah siap ke yg serius boleh la di uungkapin
    Dlu aku wktu blm nikah dan masih kuliah pernah nangis parah pas putus ma cwok, bukan krn sdih pisah, tp nyesel ngabisi waktu aku selama ini sama yg ga halal eyaaa

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Reza Andrian
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca