Pada postingan sebelumnya, gue menceritakan pengalaman gue ketika hendak dibawa ke Rumah Sakit dan dirawat di IGD saat sedang pandemi seperti sekarang ini. Setelah berada di IGD selama 10 jam, kemudian gue dipindahkan ke ruang isolasi sementara.
Melanjutkan postingan sebelumnya, kali ini gue akan membagikan pengalaman rawat inap di rumah sakit Jakarta. Untuk diketahui, ini pertama kalinya gue merasakan rawat inap di rumah sakit Jakarta. Penasaran bagaimana kelanjutannya? Begini ceritanya…
Kesan pertama ketika gue masuk ke ruang isolasi sementara adalah… Pedes! Yup, baru 2 menit gue masuk ruang isolasi sementara, mata gue terasa pedes. Kalian pernah menghirup aroma cabe yang lagi ditumis atau goreng? Nah, itulah yang gue rasakan ketika memasuki ruang isolasi sementara.
Karena pedesnya terasa mengganggu, gue pun bertanya kepada perawat yang sedang mewawancara gue. “Mbak, di luar ada tumbuhan atau taneman yang aromanya pedes nggak? Soalnya mata saya terasa perih…” kata gue.
“Enggak ada, mas. Emang perih, ya?” tanyanya.
“Iyaa, ini mata saya sampai berair saking pedesnya. Kayak lagi cium aroma cabe yang lagi digoreng,” kata gue sambil memperlihatkan mata gue yang berair. “Boleh tolong lap-in mata saya nggak, mbak?” pinta gue, yang saat itu tangannya tidak bisa digerakkan sama sekali.
Harus gue akui, bahwa tangan gue saat itu seperti tangannya Orochimaru yang habis tersegel oleh Hokage ke 3 dalam cerita anime Naruto.
“Boleh. Maaf ya,” kata perawatnya saat hendak melap mata gue yang berair.
Setelah melap mata gue, perawat itu kembali mewawancara. “Dulu, saya pernah begini juga, mbak. Dirawat di rumah sakit juga. Hanya saja, saat itu yang tidak bisa digerakkan cuma kaki saya. Kalau sekarang, yang nggak bisa digerakkan kaki sama tangan.” Jawab gue.
“Sebelumnya pernah diare atau kecapekan?”
“Iya. Beberapa hari sebelumnya saya sempat diare hebat dan juga demam. Saking lemesnya karena diare itu, pas diklinik saya minta diinfus.”
Diakhir tanya jawab itu, gue kembali memastikan soal siapa yang akan membantu gue selama di ruang isolasi. Perawat itu tersenyum dan menjawab, “nanti ada petugas yang akan bantu gantiin popok kamu. Kalau butuh sesuatu, tinggal tekan bel ini.”
Gue merasa cukup lega mendengar jawaban perawat tersebut. Dengan begini, gue bisa istirahat total. Setelah perawat itu pergi, gue memejamkan mata dan berusaha tidur.
Belum lama gue memejamkan mata, tiba-tiba gue terbangun karena mendengar suara pintu dibuka. Ternyata itu adalah pasien yang juga baru dipindahkan dari ruang IGD.
Jadi, dalam satu kamar isolasi ini ada 3 orang pasien yang sama-sama menunggu hasil PCR. Karena statusnya sama-sama menunggu hasil, jadi, ketika tidur gue tetap memakai masker sebagai pencegahan.
Satu hal yang amat gue syukuri di ruang isolasi ini adalah, perawat yang berjaga sangat-sangat membantu. Ketika gue menekan bel karena merasa haus, petugasnya akan segera datang dan membantu gue untuk minum dengan cara memegang air mineral gelasan dengan sedotan diarahkan ke gue.
Itu tidak hanya terjadi sekali, tapi berkali-kali karena gue merasa sangat haus selama di ruangan itu. Yang paling membuat gue terkesan adalah ketika perawatnya menggantikan popok gue yang ketika itu bocor.
Jadi, sekitar jam 5, gue minta tolong untuk gantikan popok karena popok yang gue kenakan sudah tidak bisa digunakan lagi. Karena perawatnya masih punya tugas untuk berkeliling ke tiap kamar, perawat itu berpesan, “saya keliling dulu ya, Mas. Nanti saya balik ke sini lagi kalau tugas saya sudah selesai.”
Gue menggangguk, petugas itu pamit karena dia harus keliling ke tiap-tiap kamar untuk mengukur tekanan darah pasien yang berada di ruang isolasi sementara.
Tiga puluh menit berlalu, perawat itu datang lagi untuk melunasi janjinya. “Popoknya di mana, mas?”
“Ada di dalam tas,” kata gue. “Oh iya, mas, ini spreinya basah.”
Perawat itu langsung mengecek. Benar saja, spreinya basah. Lalu dia pamit untuk mengambil sprei baru.
Sekembalinya perawat itu, dia membawa sebuah sprei pengganti. Ini sudah kedua kalinya gue membasahkan sprei rumah sakit. Gue merasa malu dan nggak enak karena menambah pekerjaan petugas laundry rumah sakit.
Tapi mau gimana lagi? Bahkan gue sendiri sedang dalam kondisi tidak bisa bergerak. Gue nggak bisa jalan ke toilet, bahkan untuk bangun dari tempat tidur atau sekadar mengambil air minum saja gue nggak bisa.
“Tisu basahnya di mana ya, mas?” tanya perawat itu saat akan melap badan gue.
“Kayaknya paman saya nggak beli deh, mas,” jawab gue.
“Oh gitu. Sebentar, ya, saya ambil tisu basah dulu.” Pamit perawat itu sekali lagi.
Gue hanya bisa mengangguk sebagai tanda mengerti. Tak lama, perawat itu kembali sambil membawa tisu basah dan baju khusus pasien. Dia menutup tirai itu, supaya tidak ada yang melihat gue dalam keadaan tidak berbusana. “Maaf ya, mas.” Katanya, lalu memiringkan badan gue ke sebelah kiri.
Setelah memiringkan badan gue ke sebelah kiri, dia langsung menarik sprei tersebut, kemudian melap pantat, pinggang dan paha gue yang basah terkena pipis.
Untungnya lagi yang membersihkan dan menggantikan popok gue ketika itu adalah seorang perawat pria.
Setelah mengganti sprei dan membersihkan badan gue, tibalah waktunya sarapan pagi. Saat akan sarapan pagi, perawat itu juga yang membantu menyuapi makan hingga minum obat.
Selama di ruang isolasi, gue merasa amat terbantu karena petugas yang berjaga selalu siap memberikan bantuan kepada pasien. Petugasnya pun sangat ramah.
***
Siangnya, gue mendapat kabar bahwa hasil test PCR gue negative dan dalam satu jam ke depan gue akan dipindahkan ke Ruang Melati. Gue sangat senang ketika mendapat informasi itu dan segera mengabari paman dan abang sepupu gue bahwa sebentar lagi gue akan pindah ruangan.
Jam 2 siang, gue sudah masuk kamar dan berhubung jaminan kesehatan gue masuk dalam golongan kelas 1, maka gue mendapatkan kamar sesuai kelasnya.
Tak lama setelah gue masuk ruangan, abang sepupu gue datang untuk meletakkan barang pribadinya. “Uda pergi untuk swab di bawah, ya, Za.” Pamitnya.
“Oke, uda.”
Satu jam berlalu, abang sepupu gue datang dengan membawa ID Card sebagai bukti bahwa dia merupakan anggota keluarga yang menjaga pasien. Menurut peraturan rumah sakit, pasien hanya boleh dijaga oleh satu anggota keluarga saja.
Setelah dipindahkan ke kamar, gue merasa lega karena akhirnya ada yang ngejagain dan satu sisi gue juga punya temen ngobrol. Selain punya temen ngobrol, di kamar yang gue tempati, gue beruntung punya tetangga atau teman satu kamar yang baik.
Beberapa kali ketika abang sepupu gue pergi untuk membeli makan atau sekadar sholat di musholah rumah sakit, keluarga dari pasien yang ada di sebelah gue siap memberikan pertolongan seperti memberikan minum saat gue haus.
Yah, intinya di kamar itu gue tidak merasa sendirian seperti di ruang isolasi sebelumnya.
Sore harinya, setelah mendapat obat, perawat datang memberikan sebuah wadah berukuran kecil yang biasa digunakan sebagai tempat naruh keju di restaurant cepat saji. “Pipisnya tampung di tempat itu, ya.” Kata perawat pria yang baru saja memberikan gue obat.
“Diisi penuh atau gimana, mas?” tanya gue.
“Secukupnya aja. Yang penting jangan sampai tumpah.”
Jujur saja, saat mengisi wadah itu, gue merasa takut. Yang gue takutkan adalah pipisnya melebar ke mana-mana dan mengenai sesuatu di sekitarnya seperti sprei atau tangan abang sepupu gue.
Pengambilan sampel semacam ini sebenarnya bukanlah hal baru buat gue. Dulu pun juga pernah, hanya saja, ketika itu tangan gue dapat digerakkan dan sample urinnya gue sendiri yang nampung. Jadi kalau pipisnya kena tangan pun nggak masalah karena itu tangan gue sendiri.
Setelah beberapa jam berusaha, wadah itu akhirnya terisi juga.
***
Keesokan harinya, paman membawakan gue ketupat sayur padang. Saat itu gue merasa sangat senang karena ketika suasana lebaran seperti sekarang ini, biasanya di rumah gue akan makan ketupat sayur sepuasnya. Berhubung lebaran tahun ini gue nggak pulang kampung karena tidak ingin membawa penyakit ke rumah dan satu sisi guenya juga sedang sakit, jadi, ketika dibawakan ketupat sayur gue merasa senang sekali.
“Ini gimana cara makannya, ya?” tanya abang sepupu gue itu, karena tidak ada piring atau mangkuk untuk makan. Mau pinjam mangkuk rumah sakit pun sulit karena harus mengambil ke dapur yang lokasinya beda Gedung.
“Langsung suapin dari plastik itu aja, Uda.” Kata gue.
“Gapapa, nih?” tanya abang sepupu gue.
“Iya. Mau gimana lagi? Kan, nggak ada piring.”
Ketika sedang berusaha menyuapi gue makan, kuah gulai dari ketupat padang itu tumpah ke lantai. Abang sepupu gue buru-buru mengambil tisu dan mengelap lantai yang terkena siraman kuah gulai nangka yang sedang gue makan.
Tak lama, perawat masuk ke kamar untuk memberikan obat. “Ini obatnya ya, mas.” Kata perawat itu, meletakkanya di laci besi di samping ranjang gue.
“Sus, ini Reza gapapa, kan, makan yang bersantan?” tanya abang sepupu gue, memastikan. “Soalnya dia bilang lagi selera makan lontong padang dan barusan sudah saya kasih lontong.”
Baca Juga: Pengalaman Sakit di Bulan Ramadhan
“Nggak boleh, soalnya Mas Reza dapat obat keras.”
“Jadi, beneran nggak boleh, Mbak?”
“Iya, jangan makan yang bersantan sama pedes dulu ya, Mas. Biar sembuhnya cepat.”
“Kalau kopi boleh nggak, Mbak?” tanya abang sepupu gue, karena sebelumnya gue sempat minta kopi.
“Nggak boleh juga.”
Kalau perawatnya sudah berkata demikian, mau nggak mau gue harus menuruti apa yang dia bilang. Menurut gue, makanan rumah sakit itu sebenarnya nggak buruk. Bahkan beberapa kali gue selalu dapat makanan yang menurut gue enak, dan pastinya sangat bergizi.
Tapi, ketika malam tiba, gue sering merasa lapar lagi, sementara rumah sakit hanya memberikan makan kepada pasien pada pagi, siang dan sore mendekati malam hari. Sebagai pasien yang tidurnya suka larut malam, ketika sudah larut malam, gue sering merasa lapar dan itu cukup menyiksa gue jika harus menunggu pagi.
***
Pada minggu sore, gue diberitahu oleh perawat bahwa kadar kalium di dalam darah gue mengalami penurunan drastis sehingga mau tidak mau gue harus mendapatkan perawatan khusus. Setelah melalui penjelasan yang cukup panjang dan runut, perawat itu menanyakan pendapat gue.
“Alhamdulillah, impian saya sejak kecil terkabul juga. Akhirnya bisa masuk program acara bedah rumah.” kata gue, dengan nada bercanda.
“Bukan, Mas. Bukan bedah rumah. Tapi pembedahan untuk pemasangan alat di dada,” perawat itu cepat-cepat mengoreksi kalimat gue. “Kalau mas setuju, mas bisa menandatangani formulir ini.”
Gue menerima formulir yang diberikan oleh perawat itu. Formulir itu berjudul “PERSETUJUAN TINDAKAN DAN PENGOBATAN BERISIKO TINGGI”
“Ini serius, mbak, saya harus dioperasi?” tanya gue, setelah membaca isi formulir itu.
“Kalau masnya setuju, iya, nanti mas akan dioperasi. Untuk jadwal dokternya akan saya pastikan lagi. Tenang aja, bukan operasi besar, kok.” Perawat itu berusaha menenangkan gue.
Mendengar kata “operasi”, badan gue serasa makin lemes karena gue enggak punya pengalaman dioperasi. Gue mengingat-ingat lagi pengalaman saat gue di rawat di rumah sakit daerah. Tidak ada operasi, tidak ada pantangan makan, hanya ada terapi menggunakan cairan infus dan vitamin.
Selain mengkhawatirkan operasi, gue juga mengkhawatirkan soal biaya rumah sakitnya nanti. Memang, ketika mendaftar, gue menggunakan jaminan kesehatan dari pemerintah. Tapi, gue tidak yakin soal apakah jaminan kesehatan ini mengcover biaya operasi yang gue hadapi nanti.
Jika rupanya tidak dicover, entah bagaimana gue membayarnya nanti. Saat gue memutuskan untuk dirawat, yang terpikirkan oleh gue hanyalah membayar biaya PCR Test yang digunakan sebagai syarat untuk mendapatkan kamar.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya gue menyetujui tindakan operasi tersebut dan meminta abang sepupu gue untuk melengkapi formulir persetujuan yang diberikan perawat barusan.
Gue membaca ulang data yang ada di formulir tersebut. Semuanya sudah terisi lengkap, gue hanya perlu memberikan sentuhan terakhir yaitu tandatangan. Formulir itu akhirnya gue tandatanganin sebagai bentuk persetujuan, lalu abang sepupu gue menyerahkannya kepada perawat yang berjaga di depan.
Tak lama, perawat masuk bersama dengan seorang petugas. “Ini ada masker sama penutup rambut. Tolong dipake ya, mas. Masnya akan dibawa ke ruang bedah di bawah.” Kata perawat itu.
“Bisa tolong pakaikan, bang?” pinta gue, kepada abang sepupu yang berdiri di dekat TV.
Dengan inisiatifnya sendiri, perawat itu membantu memasangkan masker dan penutup rambut ke gue. Setelah memakaikan masker dan penutup kepala, perawat itu memberi kode kepada petugas untuk segera memindahkan ranjang gue.
“Masnya kalau mau ikut juga boleh. Paling, nanti mas nunggu di depan karena boleh masuk ke ruang bedahnya” kata perawat itu ke abang sepupu gue.
“Yaudah, gapapa, sus.” Kata abang sepupu gue, kemudian bersiap untuk mengikuti perawat dan petugas yang membawa gue ke ruang bedah.
Setibanya di ruang bedah, gue bertemu dengan satu orang dokter dan dua asistennya yang akan membantu memberikan tindakan. Untuk menghilangkan stress di kepala, gue mengajak dokter dan asistennya ngobrol.
“Boleh lihat alatnya, mas?” tanya gue.
“Boleh, sebentar, ya, mas.” Kata salah satu asisten dokter. “Ini dia alatnya.”
Gue mengamati alat itu dengan lekat. Itu adalah alat yang akan dimasukkan ke tubuh gue untuk beberapa hari ke depan. Setelah mengetahui bentuk alatnya, lalu dokter memberi tanda bahwa pembedahan akan segera dimulai.
“Pakai bius lokal atau total, dok?” tanya gue.
“Lokal,” jawabnya ramah. Sebenarnya dokter memberikan penjelasan lengkap, tapi gue tidak ingat lagi.
“Kepalanya tolong menghadap ke kanan dan tahan, ya. Jangan noleh ke kiri dulu sampai saya beri aba-aba.” Kata dokternya ketika mulai memberikan tindakan.
Oleh karena gue diberi bius lokal, maka sepanjang proses pembedahan dan pemasukan alat, gue memiliki kesadaran penuh. Karena gue memiliki kesadaran penuh, sepanjang operasi tersebut gue mengajak dokter dan asistennya ngobrol.
Setelah pembedahan selesai, dokter memberi gue tanda bahwa gue sudah boleh meluruskan kepala. “Udah nih, dok?” tanya gue, memastikan.
Dokter bersama asistennya menjawab, “Sudah, mas.”
Dalam hati gue berkata, “ternyata operasi nggak seserem itu, ya.”
Saat gue akan dibawa keluar dari ruang bedah itu, gue langsung berpamitan dan mengucap terima kasih kepada dokter dan asisten yang sudah memberikan gue bantuan.
“Sama-sama, mas.” Balas mereka.
Selesai dari ruang bedah, kemudian gue dibawa ke ruang radiologi untuk dilakukan pemotretan. Bukan, pemotretannya bukan kayak pemotretan model kayak yang ada di majalah fashion gitu. Tapi pemotretan tubuh bagian dalam gue, khususnya bagian thorax. Pemotretan itu bertujuan untuk melihat apakah alatnya sudah terpasang dengan baik.
Setelah pemotretan tersebut, lalu gue dibawa ke kamar.
Tak lama, perawat masuk lagi sambil membawa beberapa cairan infus dan memasangkannya ke gue. “Inilah mas, enaknya kalau udah dipasang alat itu. Jadi, masnya nggak perlu pakai infus di tangan lagi.” Kata perawat itu, lalu melepaskan infus yang ada di tangan gue.
Sebagai informasi, sebelum pemasangan alat bernama CVC dibagian dada gue, kedua tangan gue terpasang jarum infus dan itu lumayan nyeri ketika gue harus menggerakkan tangan.
Tapi, setelah alat bernama CVC itu dipasang, jarum infus yang ada di tangan gue mulai dilepas, dan cairan infus yang tadinya masuk ke tangan, mulai dipindahkan ke bagian dada.
Ketika jarum infus di kedua tangan gue dilepas, gue merasa cukup lega karena artinya gue mulai bisa bergerak dengan bebas tanpa harus merasakan nyeri lagi.
***
Pada hari kamis, tanggal 20 Mei, gue mendapat kabar dari perawat bahwa gue sudah memenuhi syarat untuk pulang. Sebagai informasi, syarat supaya gue dibolehkan pulang dan menjalani program rawat jalan ialah gue harus memiliki kadar kalium sebesar 3,0.
Mendapat kabar tersebut, tentu saja gue senang karena akhirnya gue bisa kembali ke kosan dan yang paling penting adalah tidak ada pantangan makan lagi. Ditengah kebahagiaan tersebut, perawat itu langsung menjelaskan situasinya.
“Tapi, sebelum Mas Reza pulang, kita akan periksa kadar oksigen dalam darahnya dulu.”
Mendengar kabar tersebut, raut kebahagiaan di muka gue seketika berganti serius. “Jadi, nanti ambil darah dibagian “itu” lagi, mbak?” tanya gue.
“Iya. Habis ini ambil darah lagi dibagian selangkangan.”
Mampuslah, pikir gue. Kalau dihitung-hitung, sudah tiga kali perawat mengambil sample darah di sekitar selangkangan gue. Mana keduanya masih diperban pula.
“Apa nggak di tangan aja, mbak? Tadi pagi saya habis ambil darah di selangkangan soalnya. Masa sekarang di selangkangan lagi?”
“Bisa aja, tapi kalau di tangan rasanya lebih sakit. Lebih susah karena kecil. Lagipula ini yang terakhir kok. Kalau ini terpenuhi, masnya bisa segera pulang ke rumah.”
Sebenarnya gue sudah tahu perbedaannya karena sebelum ini gue juga bertanya kepada perawat yang akan mengambil darah di selangkangan gue. Rasanya sungguh berat jika samplenya harus diambil di selangkangan lagi karena itu akan menimbulkan pegal, rasa ngilu ketika berjalan dan tadi pagi gue juga sudah melakukannya.
Akhirnya, gue terpaksa harus setuju dengan perawat itu. Setelah mengambil samplenya, perawat itu berpamitan dan berjanji akan segera mengurus berkas kepulangan gue.
Sore harinya, perawat yang lebih senior mampir ke kamar untuk bertemu gue. “Mas Reza? Betul, ya?”
“Betul, bu.” Kata gue.
“Kita akan ambil sample gas darah, ya.” Kata perawat senior itu, tegas. “Karena perlu arteri yang lebih gede, jadi pengambilannya dilakukan di lipatan paha.”
“Haah? Ambil sample lagi? Tadi siang udah, bu.”
“Iya, tapi samplenya tadi nggak terbaca. Jadi harus diambil ulang.”
“Lagi? Yaampun, bu, hari ini aja selangkangan saya sudah dua kali dicium sama jarum suntik. Masa ini jadi yang ketiga kalinya?” jawab gue, memelas.
“Yaudah, kalau gitu di tangan aja. Tapi akan lebih sakit. Gimana?” tanyanya.
“Gapapa, bu. Saya bersedia ambil di tangan. Daripada selangkangan saya dicium jarum lagi.”
Perawat yang lebih senior itu mulai mengambil tindakan. Perawat itu melakukan sterilisasi menggunakan kapas berakohol, kemudian mulai menusukkan jarum ke pergelangan tangan kanan gue.
Saat itulah gue mulai menyesali keputusan untuk melakukan pengambilan darah pada pergelangan tangan. Ternyata benar yang dikatakan oleh perawat sebelumnya, bahwa di tangan rasanya akan jauh lebih sakit dan lebih sulit karena arterinya lebih kecil dan sulit dijangkau.
Berbeda dengan pengambilan di selangkangan yang sakitnya lebih cepat hilang, di pergelangan tangan, rasa sakitnya lebih awet bahkan setelah seminggu gue keluar dari rumah sakit gue masih bisa merasakan sakit di pergelangan tangan gue.
Dua jam setelah pengambilan sample gas darah di pergelangan tangan, perawat datang ke kamar gue untuk meminta gue agar menghubungi keluarga karena perawatnya akan memberikan pengarahan tentang obat yang akan gue konsumsi dan hal apa saja yang harus gue lakukan setelah ke luar dari rumah sakit.
Setelah satu minggu berada di dalam rumah sakit, akhirnya gue bisa menghirup udara bebas. Pada malam itu juga, akhirnya gue bisa bertemu nyokap setelah hampir satu tahun tidak jumpa karena gue nggak bisa pulang ke daerah.
Setelah berbincang-bincang singkat, akhirnya gue berpamitan dengan paman yang selama seminggu ini gue repotkan karena harus bolak-balik dari Tangerang ke Jakarta. Sementara itu, abang sepupu gue sudah lebih dulu berpamitan pulang pada kamis siangnya karena dia harus mempersiapkan segala sesuatu untuk mahasiswa yang akan masuk pada Seninnya.
Bagaimana dengan biaya rumah sakitnya? Ternyata, ketika abang sepupu gue mengurus administrasi rumah sakit, petugasnya mengatakan bahwa tidak ada biaya sama sekali. Semuanya sudah ditanggung oleh jaminan kesehatan yang gue gunakan pada saat mendaftar.
Mendengar kabar tersebut tentu saja gue kaget dan juga ada perasaan senang karena tidak keluar biaya sama sekali.
Demikian cerita pengalaman gue di rawat di rumah sakit saat pandemi. Terima kasih sudah bersedia membaca tulisan ini hingga selesai dan untuk yang membaca dari cerita pertama hingga cerita ketiga ini, gue ucapkan terima kasih banyak.
Sebagai orang yang pernah dirawat di rumah sakit saat lagi pandemi, gue ingin berpesan kepada kalian, para pembaca, untuk selalu menjaga kesehatan, makan-makanan yang bergizi, konsumsi buah untuk mencukupi kebutuhan vitamin dan menyempatkan waktu untuk berolahraga.
Semoga semuanya tetap sehat agar kita bisa berjumpa di lain kesempatan.