Sehubungan dengan masih suasana lebaran, gue ingin mengucapkan selamat hari raya idul fitri. Mohon maaf lahir dan batin. Telat banget ya gue ngucapinnya? Tapi gapapa, karena nggak ada kata terlambat untuk bermaaf-maafan.
Dalam postingan kali ini gue ingin membagikan pengalaman gue sakit di bulan ramadhan kemarin. Sungguh, ini adalah pengalaman pertama gue jatuh sakit saat bulan ramadhan. Tanpa perlu berbasa-basi, beginilah ceritanya…
Cerita ini bermula ketika gue sahur pada puasa ke-26. Bangun sahur, badan gue terasa panas. Saat itu gue sahur seperti biasa. Ketika sahur pun, makan gue masih lahap. Gue masih sanggup menghabiskan gulai ayam yang gue beli di rumah makan padang langganan gue.
Sehabis makan, gue mengambil paracetamol dan meminumnya dengan harapan supaya esoknya badan gue enggak panas lagi. Selepas sholat subuh, gue kembali melanjutkan tidur. Kebetulan, itu adalah hari Minggu. Jadi gue bisa menyambung tidur.
Ketika gue bangun, badan gue masih terasa panas. Saat itu gue masih bersikukuh untuk tetap menjalankan puasa. “Ah, cuma demam sedikit. Nanti juga sembuh,” ucap gue yang berusaha menenangkan diri.
Siang harinya, badan gue terasa semakin panas. Semakin badan gue panas, semakin kuat niat gue untuk tetap berpuasa. Membatalkan puasa saat jam 1 siang itu menurut gue sangatlah tanggung, karena waktu berbuka hanya tinggal beberapa jam lagi.
Tapi, pada akhirnya gue menyerah. Gue menyerah karena badan semakin lemas, mulut dan tenggorokan terasa kering seperti padang pasir. Akhirnya, gue mengambil segelas air putih lalu meminumnnya.
Setelah meminum beberapa gelas air, lalu gue menelpon ke klinik tempat gue biasa berobat. Ada hal yang harus gue pastikan, yaitu mengenai prosedur berobat di masa pandemi ini.
“Halo, selamat siang. Dengan klinik Sentosa?” tanya gue.
“Betul.” Jawab seseorang di seberang sana.
“Jadi gini, mas. Sejak semalam badan saya panas. Kira-kira ada prosedur khusus nggak ya untuk ke sananya?” tanya gue.
“Oh, enggak ada mas. Mas bisa datang langsung ke sini.”
“Oke, jadi saya boleh datang langsung kan ya? Tanpa prosedur khusus?”
“Betul mas. Mas bisa datang ke sini untuk berobat. Nanti, sebelum masuk, mas cukup ikuti protocol kesehatan aja.”
Gue mengira-ngira protokol apa yang dimaksud oleh petugas tersebut. Kemungkinan protocol yang dimaksud adalah memakai masker, mengukur suhu tubuh dan mencuci tangan sebelum masuk. “Baik, makasih banyak mas.” Tutup gue.
Setelah ngobrol via telepon, gue langsung bersiap-siap dan segera memesan ojek online.
Setibanya di klinik, gue langsung mencuci tangan dan mengukur suhu tubuh. “39,3 ya mas,” kata petugas yang mengukur suhu tubuh gue.
Gue langsung kaget dan memastikan lagi apakah gue salah dengar atau tidak.
“Iya mas, suhunya 39,3” kata petugas yang berjaga di depan.
Dengan suhu segitu tapi gue masih bisa senyam-senyum? Gue bener-bener udah gila kali ya! Harusnya dengan suhu segitu gue udah nggak bisa senyum lagi.
Setelah mengukur suhu tubuh, petugas yang berjaga di depan langsung mengizinkan gue masuk. Gue segera mendaftar dan menunggu giliran untuk dipanggil. Untung saat itu kliniknya sedang sepi, sehingga gue bisa mendapat penanganan dengan cepat.
Lima menit berlalu, gue dipanggil masuk ke dalam ruangan untuk bertemu dokter. Di ruangan tersebut gue segera menceritakan apa yang gue rasakan. Gue juga menceritakan bahwa dua hari sebelumnya gue sempat beraktivitas di tempat yang ramai dan apa yang gue konsumsi terakhir kali.
Setelah mendengar cerita gue itu, dokternya langsung melakukan pemeriksaan. Setelah serangkaian pemeriksaan, dokter itu berkata, “ini kan baru hari pertama. Jadi, saya resepkan obat pereda demam, obat radang dan obat lambung dulu, ya. Nanti kalau dalam dua hari demamnya belum juga turun, kamu bisa ke sini lagi. Nanti kita cek lab.”
“Makasih, dok.” Kata gue, lalu meninggalkan ruangan.
***
Setelah meminum obat yang diresepkan oleh dokter, dua jam kemudian perut gue merasa kurang bersahabat. Tepat setelah melepas celana, satu suara tembakan yang cukup keras pecah di dalam toilet. Saat itu gue langsung mengetahui bahwa gue kena diare.
Sudahlah demam, radang tenggorokkan, kena diare pula. Gue masih mencoba berpikir positif. Mungkin karena sahur tadi gue kebanyakan makan sambel, jadi sorenya kena diare. Paling juga besoknya sudah sembuh, pikir gue.
Yang pasti, gue harus menghadapi situasi ini dengan tenang. Jangan sampai gara-gara parno, gue jadi makin lama sembuhnya. Situasi yang gue hadapi saat ini sama percis dengan bulan September kemarin. Ceritanya bisa dibaca di Sakit Bikin Parno.
Beruntung lah hari itu selera makan gue masih bagus. Biasanya, kalau sudah demam, gue sama sekali nggak berselera makan. Sekalipun di depan ada makanan kesukaan gue, tetap aja nggak termakan sama gue. Paling-paling cuma dikit supaya bisa minum obat.
Karena diare, gue yang anaknya rebahan banget, dipaksa bersahabat dengan toilet. Ketika di toilet, gue berusaha mengeluarkan semuanya agar nggak bolak-balik terus. Ya, gue percaya kalau ampasnya dikeluarin semua, maka frekuensi untuk bolak-balik ke toiletnya bisa berkurang.
Benar saja. Gue jadi nggak sering bolak-balik ke toilet lagi. Bahkan, malamnya gue bisa main game tanpa gangguan.
Berhubung sudah jam 10 malam dan perut gue sudah mulai tenang, gue bersegera tidur dengan harapan semoga gue bisa tidur dengan tenang (baca: enggak terganggu karena pengen ke toilet).
Esok harinya, gue bangun tanpa mengantuk. Sebuah kesenangan karena gue mendapatkan tidur malam yang cukup dan tanpa gangguan. Benar, harapan gue terkabul.
Hanya saja, masalah baru muncul di pagi itu. Gue boker di celana! Ya, gue cepirit! Gue baru menyadarinya ketika menyentuh celana bagian belakang. “PANTASAN PANTAT GUE LEMBAB!”
Begonya lagi, sehabis menyentuh celana, gue langsung mencium jari gue dan berkata, “kok bau?” dengan polosnya.
Gue mencoba menenangkan diri karena ini adalah pertama kalinya dalam seumur hidup, gue cepirit di celana. “Tenang, Reza. Namanya juga lagi diare. Cepirit itu hal yang biasa.” Setelah cukup tenang, gue segera pergi ke toilet. Mencuci bokong dan membersihkan celana gue yang kena tai itu dan merendamnya dengan sabun.
Urusan celana sudah selesai. Sekarang gue hanya perlu memastikan kapan kliniknya buka karena gue harus segera mengobati diare. Gue nggak mau diare ini memperburuk kondisi tubuh gue. Jadi, pagi itu gue langsung menelpon ke klinik untuk memastikan kapan dokternya tiba.
Dari percakapan via telepon tersebut, gue jadi tahu bahwa dokternya datang jam 8 pagi. Oke, nggak masalah. Toh cuma nunggu satu jam doang.
Setibanya di klinik, gue langsung mencuci tangan dan mengukur suhu tubuh. Kali ini suhu tubuh gue enggak setinggi kemarin dan itu membuat gue sedikit lega.
Setelah mendaftar, nama gue akhirnya dipanggil untuk masuk ruangan. Di dalam ruangan itu gue langsung menceritakan bagaimana gue bisa sakit dan apa saja keluhan yang sedang gue alami.
“Aneh, di sini enggak ada catatan obat yang dikasih dokter sebelumnya. Kamu bawa obatnya enggak?” tanya dokter yang melayani gue pagi itu.
“Waduh, nggak bawa dok. Sebentar, kalau enggak salah kemarin saya sempat browsing nama dan manfaat obat yang diresepkan sama dokter sebelumnya.” Gue langsung membuka browser dan menunjukkan riwayat pencarian ke dokter.
“Bisa jadi kamu enggak cocok sama salah satu obatnya. Tapi, biar lebih pasti, kita cek lab dulu, ya.” Kata dokter itu sambil memberi gue selembar kertas permohonan pemeriksaan laboratorium. “Labnya ada di lantai dua, ya.”
“Baik, dok. Setelah dari lab saya langsung ke sini lagi kan, dok?” tanya gue, memastikan.
“Iya. Langsung masuk aja. Nggak perlu ngantre.”
Gue keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju lab di lantai 2. Sembari menunggu giliran, gue hanya bisa menyandarkan kepala ke dinding dan memejamkan mata. Setelah 20 menit menunggu, tibalah giliran gue untuk cek darah.
Dari pemeriksaan itu, gue jadi tau bahwa Leukosit gue ternyata tinggi banget. Setelah gue cari tau di artikel kesehatan, dikatakan bahwa efek samping dari leukosit tinggi adalah demam, diare, pusing dan beberapa gejala lainnya.
Saat itu gue merasa lega karena bukan terkena penyakit serius. Tadinya gue sempat khawatir jikalau gue kena DBD atau penyakit yang cukup bikin parno di saat seperti sekarang ini.
Setelah gue memberikan hasil lab ke dokter, dokter itu langsung meresepkan gue obat diare. Tapi, menurut gue obat diare saja nggak cukup. Badan gue juga lemes. Mungkin akibat dehidrasi. Saat itu juga, gue langsung minta untuk dirawat.
“Bisa dirawat aja nggak, dok? Diinfus gitu?”
“Di sini nggak bisa rawat inap,” kata dokternya.
“Kalau diinfus aja bisa kan, dok?”
“Tapi nggak ditanggung jaminan kesehatan. Gapapa?” tanya dokternya, memastikan.
“Gapapa, dok. Badan saya sudah lemes banget. Nafsu makan dan minum saya juga kurang. Jadi, lebih baik diinfus aja,” kata gue, memohon.
“Oke, kemungkinan kamu keluarnya sekitar jam 2 siang. Gapapa, kan?”
“Gapapa, dok.”
Dokter itu langsung menyiapkan ruangan untuk gue. Setelah semua persiapan beres, akhirnya gue mendapatkan asupan cairan dari infus. Gue merasa cukup lega karena sudah mendapatkan pertolongan. Sebab. saat itu badan gue betul-betul sudah lemas dan rasanya seperti mau pingsan akibat dehidrasi.
Gimana enggak dehidrasi coba, dalam sehari gue bisa bolak-balik ke toilet sebanyak sepuluh kali. Saat sedang boker pun, yang keluar cuma air. Iya, benar-benar air doang yang ke luar. Terus, di kos, gue juga kurang minum karena di lidah gue airnya terasa aneh.
Setelah terbaring selama 4 jam, gue segera turun dari ranjang klinik, lalu berjalan menuju tempat pengambilan obat. “Berapa totalnya, mbak?” tanya gue.
Petugas bagian farmasi menyebut nominal keseluruhan biaya. “Bayarnya bisa non tunai, kan?” tanya gue.
“Bisa, kak.”
Setelah melakukan pembayaran, gue segera kembali ke kos untuk istirahat.
Sebetulnya masih banyak yang ingin gue ceritakan. Tapi, biar nggak terlalu panjang, mungkin akan gue bagi ke dalam beberapa part. Jadi, itu dia cerita tentang bagaimana gue bisa sakit pada minggu terakhir puasa.
Postingan selanjutnya, gue ingin membagikan cerita bagaimana gue bisa masuk rumah sakit. Sampai ketemu di postingan berikutnya!