Selasa, November 26, 2024
HomeStoryPerjuangan Mendapatkan Nilai

Perjuangan Mendapatkan Nilai

on

Kemarin menjadi hari yang panjang bagi gue dan teman gue, Dian namanya. Gue dan Dian sama-sama memperjuangkan nilai yang kosong karena belum mengumpulkan tugas.

Cerita ini bermula pada hari Selasa kemarin. Di hari selasa ada satu mata pelajaran yang cukup gue sukai. Gue rasa tiap pelajar pasti memiliki mata pelajaran yang di sukai. Kalau tidak ada, lo bukan pelajar! Lo pasti sudah putus sekolah a.k.a sudah bekerja. Mata pelajaran yang gue sukai tidak lain adalah mata pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).

Sebelumnya gue pernah membahas kalo gue ingin menjadi seorang suami yang baik sama istrinya. Eh bukan deng. Gue pengin jadi seorang IT Consultant. Setelah berhasil mengambil keputusan yang cukup nekat, gue pikir gue tidak akan pernah bisa kesampaian menjadi IT Consultant karena tidak masuk ke dalam jurusan yang semestinya, IPA, gue malah milih masuk ke jurusan IPS karena tidak mau direpotkan sama tugas-tugas dan juga Kurikulum K13 yang cukup menyiksa.

Awalnya gue sempat pesimis cita-cita gue itu tidak akan pernah kesampaian karena masuk ke jurusan yang tidak semestinya. Gue berpikir kalau gue sudah salah jalan. Sedih. Itu yang gue rasakan. Tapi pada saat itu juga, gue merubah cara pandang gue. Memandang dalam cangkupan yang lebih luas lagi. Dan alhasil gue menemukan jalan lain untuk mencampai tujuan itu.

Peribahasa “Banyak jalan menuju Roma”, memang benar adanya. Peribahasa itu bukan sekedar permainan kata-kata yang diciptakan oleh orang terdahulu. Peribahasa itu memiliki makna tersendiri. “Banyak jalan menuju roma” bermakna: banyak cara untuk menggapai harapan.

Selalu ada jalan yang terbuka kalau kita mau merubah cara pandang. Memandang dalam jangkauan yang lebih luas. Tidak terpaku oleh satu pintu, karena pasti akan ada pintu lain yang terbuka buat kita. Itu yang gue sadari.

Dan saat melihat ada pintu lain yang terbuka, gue bergegas menyiapkan rencana kedua atau dalam bahasa kerennya Plan B. Sebenarnya gue udah punya Plan B sebelum melihat pintu itu. Tapi Plan B yang gue rencanakan sebelum menemukan pintu lain yang terbuka itu, tidak ada hubungannya sama sekali dengan cita-cita gue. Bisa dibilang berbeda jalan.

Setelah menemukan pintu lain yang terbuka, gue langsung menyusun Plan B versi 2.2. Salah satu versi terbaru (revisi) dari rencana kedua 2.1.

Plan B versi 2.1 adalah sebuah rencana kedua kalau-kalau rencana utama gue tidak terlaksana sebagaimana mestinya. Dan isi dari Plan B versi 2.1 adalah: Menjadi seorang wartawan. Seperti bokap gue dulu. Kini bokap gue udah jadi seorang manager. Menjadi seorang wartawan ada kaitannya dengan hobby gue. Menulis. Gue akan merasa lebih bahagia karena pekerjaan gue berhubungan dengan hobby gue.

Tapi kekurangannya: Tidak sejalan sama misi gue. Jauh banget. Gue orangnya sedikit kuper. Tidak cocok kalau turun kelapangan.

Lalu gue menciptakan Plan B 2.2. Versi terbaru dengan peng-revisi-an misi gue dari versi 2.1. Dalam versi terbarunya, ada sedikit perubahan yakni: Gue tetap bisa menjadi IT consultant kalau gue mau. Meski gue telah salah memilih jurusan, gue tetap bisa menjadi IT Consultant. Kalau tidak mau menjadi IT Consultant, masih banyak pekerjaan lain yang hubungannya erat dengan minat gue.

Baca Juga: Saatnya Memikirkan Masa Depan

Kekurangan: Mungkin jadinya gue akan jarang mengupdate blog karena terlalu sibuk sama pekerjaan.

Oke kembali ke pembahasan…

Karena selasa yang lalu gue tidak masuk sekolah, nilai gue jadi kosong. Gue udah kelas tiga SMA. Akan menjadi masalah kalau sampai ada nilai yang kosong. Apalagi yang kosong itu adalah nilai dari salah satu mata pelajaran yang gue sukai. Dan juga salah satu mata pelajaran yang cukup penting.

Di hari selasa itu, gue jadi kalap. Guru yang mengajar menggunakan sistem absent yang sedikit berbeda. Bukan menggunakan absent nama, tapi menggunakan absent NIS. Bukan cuman gue, tapi teman-teman yang lain juga tidak tahu NIS-nya. Kami terancam tidak bisa mengikuti pelajaran kalau tidak tahu NIS kami sendiri.

Gue dan kawan-kawan berbondong-bondong menuju ruang komite untuk menanyakan NIS.

Setibanya di kelas, pelajaran dilanjutkan kembali. Ada penilaian tugas minggu lalu yang harus dikumpulkan. Tugas itu tidak lain adalah mendesain sebuah logo kreasi masing-masing. Cukup lama bagi gue untuk mendapatkan gambaran logo yang ingin ditampilkan ke dalam bentuk visual. Setelah memutar-mutar otak (sengaja dibilang memutar otak karena gue bener-bener jungkir balik demi mendapatkan ide), jadilah logo gue sendiri.

Perjuangan-Mendapatkan-Nilai-3
Taraa! Ini dia logonya!

Meski terbilang sederhana, yang penting adalah kreasi sendiri. Proses yang gue laluin untuk mendapatkan gambaran ini tidak gampang. Gue mesti jungkir balik. Minum dua gelas kopi untuk menemani waktu gue mendesain (setelah pulang sekolah dan malam hari), browsing ke sana-kemari, jalan kesana-kemari, merenung, dan gue cukup bangga sama hasilnya. Worth it lah sama proses yang gue lalui.

Gue cukup bangga sama hasilnya.

Dan pada saat dinilai, gue langsung membuka lembar kerja satu lagi. Berisi sebuah tugas yang seharusnya dikumpulkan selasa yang lalu. Tapi karena gue sakit, gue jadi tidak bisa mengumpulkan tugas itu.

Baca Juga: Gak Enaknya Sakit

“Pak, tugas minggu lalu saya belum di nilai,” kata gue sambil nunjukin tugas minggu lalu.

“Nanti aja.” jawab bapak.

“Oke pak.” gue langsung menutup buku modul.

Hening.

“Nanti kapan pak?” lanjut gue.

“Nanti siang aja.” jawab guru gue, singkat.

“Oke pak.”

Gue cukup segan ngomong sama beliau. Padahal beliau bukanlah guru killer yang suka menerkam (memarahin) siswa. Beliau adalah guru yang sangat disiplin. Paling tidak suka kalau ada siswa yang lalai. Malas. Dan segala tetek bengeknya.

Kalau beliau ngomong hari ini, maka hari itu juga tugas harus di kumpul. Tidak ada tapi-tapi. Maka dari itu banyak siswa yang ketakutan sama beliau. Yang paling lucu itu adalah ketika melihat anak IPA lari terbirit-birit saat melihat beliau ingin masuk ke kelas. Seperti teman gue, Dodi, saking takutnya sama beliau, dia sampai jatuh saat tau kalau beliau ingin masuk ke kelas.

Siangnya, gue mencari-cari si bapak. Gue mencari kesana-kemari. Namun gue tidak melihat motornya beliau. Gue mulai putus asa. Pada saat itu yang gue pikirkan adalah “Tamatlah riwayat gue. Si bapak udah pulang. Tugas yang seharusnya dikumpul siang ini, tidak jadi gue kumpulkan karena bapaknya udah pulang.”

Gue dan Dian kalang kabut.

Besoknya, Dian menemui si bapak. Kampretnya, gue lupa bawa laptop. Dian gak bilang sih kalau dia bawa laptop. Gue jadi panik karena Dian mengumpulkan tugas hari itu juga. Lalu gue menemui si bapak untuk membicarakan nilai gue yang kosong dan laptop gue yang ketinggalan.

“Pak, gimana nilai saya yang kosong?” tanya gue.

“Ya saya gak tau,” jawab beliau sambil menilai tugas murid kelas IPS 4. “Mana laptop kamu?” kemudian tanya si bapak.

“Ketinggalan pak.” kata gue, pelan. Takut-takut kalau si bapak tidak mau nerima lagi tugas gue itu. “Besok bapak ngajar gak? Biar besok saya datang langsung ke kelas tempat bapak mengajar.”

“Iya, besok saya mengajar.” jawab beliau singkat.

“Oke, berarti besok ya pak saya kumpulkan?”

“Terserah kamu.” jawab beliau, singkat.

Gue langsung keluar dari kelas tempat bapak itu mengajar. Kebetulan gue ngelihat ada Sudi. Ketua kelas dari IPS 2.

“Sud, besok kalian ada pelajaran TIK?” tanya gue.

“Iya, ada.”

“Jam pelajaran ke berapa?” tanya gue kembali.

“Ke dua. Memang kenapa Za?”

“Begini. Selasa kemarin itu gue gak masuk karena sakit. Tugas waktu itu belum dikumpulkan. Pas mau di kumpul, kata bapak nanti aja.”

“Oh… besok datang aja Za ke kelas. Besok bapak ngajar di jam pelajaran ke dua.”

“Oke, terima kasih Sud.”

“Ya, sama-sama.”

Besoknya, di jam pelajaran kedua, gue melintasi kelas IPS 2. Namun bukan guru TIK yang mengajar pada saat itu. Malah guru Sosiologi.

“Loh? Katanya TIK, kok masih Sosiologi?” tanya gue.

Lalu gue mampir ke kantin sebentar. Membeli makanan karena perut gue tidak boleh sampai kosong. Seusai membeli makanan, masih guru Sosiologi yang mengajar. “Apa Sudi berbohong?” gue membatin.

Istirahat pertama… gue ketemu sama Rian. Salah satu murid dari kelas IPS 2. Gue nanya sama Rian.

“Hari ini kamu ada TIK?”

“Iya, ada.”

“Jam ke berapa?!” gue pasang muka serius. Bermandikan keringat.

“Barusan aja selesai.”

“Loh? Tadi pas gue lewat kelas kamu, yang mengajar sampai istirahat bukan guru TIK, tapi guru Sosiologi.”

“Tadi kami tukar ruangan sama anak IPS 4. Karena listrik gak nyala di kelas kami, jadinya kami tukar ruangan sama anak IPS 4.”

Tamat sudah riwayat gue. Satu-satunya kesempatan telah terbuang. Tiket menuju nilai TIK sudah hangus. Seragam gue basah oleh keringat saat tau kalau gue melewatkan kesempatan itu.

“Oke, makasih Ian.” kata gue.

“Yap, sama-sama.”

Lalu gue berlari menuju kelas. Menyalakan laptop. Memandangi kembali tugas yang telah gue kerjakan. Gue berusaha menghibur diri dengan menonton salah satu film yang tersedia di laptop gue. Tak Kemal Maka Tak Sayang.

Kemudian Dian masuk ke kelas. Nafas dia tidak teratur. Mungkin habis lari-larian. Dian kemudian menghampiri meja gue.

“Ketemu bapaknya, Za?”

“Gak. Kata anak IPS 2 tadi bapak ngajar di kelas mereka. Tapi mereka tukar ruangan sama anak IPS 4. Mangkanya aku kira anak IPS 2 sedang belajar Sosiologi. Padahal saat itu yang lagi belajar sosiologi adalah kelas IPS 4 di ruangan IPS 2.”

“Yah… terus gimana, Za?” Dian mengerutkan dahinya.

“Gak tau deh Ian. Aku mulai putus asa.”

“Kita cari bapak, yok?” ajak Dian.

“Nyari kemana? Sekolah kita ini luas. Sulit untuk nyari si bapak. Dan bisa saja bapak udah pulang.”

“Ya pokoknya kita cari aja dulu. Kalau memang gak ketemu, kita cari besoknya lagi. Jangan nyerah gitu lah.” kata Dian.

Dian benar. Tidak seharusnya gue menyerah sebelum berperang. Gue langsung menutup laptop, dan berpetualang mencari si bapak.

Hasil jeri payah kami berbuah manis. Si bapak sedang mengajar di kelas XII IPA 1. Gue dan Dian bergegas kembali ke kelas, mengambil laptop bersama buku modul dan mendatangi kelas IPA 1.

Tugas gue dan Dian akhirnya dinilai sama bapak. Delapan koma lima, gue cukup puas sama nilai ini.

Inilah cerita perjuangan mendapatkan nilai. Meski sempat putus asa dan menyerah, ternyata masih ada harapan buat gue dan Dian yang nilai TIK nya kosong. Sebenarnya masih ada beberapa orang di kelas gue yang nilainya kosong. Tapi nampaknya mereka tidak menghiraukan hal itu.

Gue pribadi sangat membutuhkan nilai ini. Karena nilai TIK menjadi salah satu syarat untuk masuk ke dalam universitas yang gue inginkan. Kalau nilai mata pelajaran yang gue sukai ini sampai rendah dan kosong, gue tidak bisa masuk ke universitas itu.

Sampai hari ini gue masih terbayang-bayang kisah penuh perjuangan mendapatkan nilai itu. Jujur, untuk mendapatkan nilai dari si bapak cukup sulit. Bapak tidak akan memberikan nilai kepada siswa yang tidak menganggap penting mata pelajaran yang ia ajarkan. Maka dari itu, gue dan Dian berusaha demi mendapatkan nilai itu.

Puas rasanya setelah berjuang. Perjuangan yang berbuah manis, melahirkan kepuasan tersendiri. Gue puas karena telah berjuang.

Apakah kamu pernah mengalami hal yang sama? Yuk, bagikan ceritamu ke dalam kolom komentar yang ada di bawah ini!

Reza Andrian
Reza Andrianhttps://rezaandrian.com
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.

Hey, jangan pergi. Kamu perlu baca ini

31 KOMENTAR

  1. kayak aku banget ini, pas SMA aku di bilang murid paling ribet. gurunya ada waktu, aku ada kegiatan eksul. aku ada waktu, gurunya ga keliatan. susah jodoh(ketemu) sama guru di saat yg diinginkan :( tetap semangat ya !

  2. KOK ADA NAMA GUE!! O A O) *backsound petir*
    Kalo gue dulu, pernah nilai Biologi gue di bawah KKM, terus gue disuruh beli Batagor buat si Bapak, ya udah gue beliin kan, abis itu gue nanya, “Pak, jadi remednya gimana?”
    Dengan baik hati bak malaikat tak bersayap *halah*, si bapak bilang, “Udah, nilai kamu udah di atas KKM.”
    Gue terharu :””V

    • Konspiresyen nih Oyan wkwkwk
      Wah enak banget ya. Kalau gue mah gak kayak gitu. Kalo nilai TIK ada yang kosong bisa gaswat. Repot ngurusnya. Kalau beliau bilang “gak” ya enggak. Kalau “hari ini” ya hari itu juga. Gak ada tapi-tapi :”V

  3. Menurut saya sendiri mau anak IPA atau IPS itu sama tergantung niat anak itu sendiri. Mungkin ini adalah sebuah problematika anak IPS yang selalu tertindas dalam sudut pandang pendidikan.
    Oiya, sebenarnya jika memang berniat untuk menjadi IT Consultant bisa dipelajari sejak sedini mungkin. Untuk pekerjaan yang berhubungan dengan IT juga banyak ada networking, programming, design, system security, database management dan banyak lagi. Tapi pikir-pikir dulu sebelum terjun kedunia IT. Banyak orang masuk ke dunia IT hanya karena terlihat ‘keren’ sehingga sampai ditengah-tengah pada gugur dan berhenti dari mendalami dunia IT.

    • Iya. Kita anak IPS memang selalu tertindas. Bukan dalam perkataan saja, tapi sudah terbukti secara nyata ketika pembagian kelas kemarin. Anak IPA kelasnya sudah di umumin semua sementara anak IPS nggak diumumin. Jadi pada bercarian T_T
      Yup betul. Bisa dipelajari sejak dini. Kalau pekerjaan sih, gue tertarik sama System Analyst atau ERP. Heheh nggak juga kok. Gue memang serius pengin terjun ke sana. Gue juga berminat ke design grafis. Tapi kekurangan gue adalah gue nggak bisa menggambar secara langsung T_T

  4. perjuangannya sangatlah keras untuk mendapatkan nilai. kisah ini sangat mengispiratif untuk para teman-teman yang masih sekolah. terima kasih ulasannya. semoga tambah sukses dan terus kreatif.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Enter the captcha *

Sebelum kamu pergi, tinggalin komentar dulu, ya!
Setiap komentar yang kamu tinggalkan selalu aku baca dan itu sangat berarti untukku agar terus semangat dalam menulis. Semoga harimu menyenangkan \o/
*komentar baru akan muncul apabila sudah di Approve terlebih dahulu oleh admin.

Reza Andrian
Hi, nama gue Reza. Gue seorang Blogger dan saat ini sedang meniti karir dibidang Project Management di sebuah perusahaan Swasta Jakarta.
577FansSuka
688PengikutMengikuti
893PengikutMengikuti

Belum Gaul Kalau Belum Baca