Belakangan ini gue sedang mencoba keluar dari zona nyaman. Berusaha menemukan kesenangan baru lewat hal-hal yang sedang gue kerjakan. Zona nyaman gue sendiri adalah saat gue bercerita tentang pengalaman pribadi seperti yang gue lakukan sekarang ini. Zona nyaman yang kedua adalah ketika gue membagikan sebuah pandangan atau pendapat atas suatu peristiwa.
Poin yang pertama gue udah sering kerjakan; sementara itu, yang nomor dua, gue jarang melakukannya karena merasa kurang nyaman untuk membagikannya lewat media ini—biasanya lebih sering lewat obrolan langsung. Meski begitu, bukan berarti belum pernah dicoba. Gue pernah mencobanya. Salah satunya adalah saat beredar kabar bahwa data pengguna Facebook Bocor. Kalian bisa membacanya di sini.
Nah, karena pada dasarnya gue suka nulis, maka gue mencoba sesuatu yang masih berhubungan dengan menulis. Tentunya bukan menulis cerpen karena gue pernah mencobanya sebelum ini. Iya, gue dulu hanyalah seorang bocah SMP yang gemar menulis cerpen dan cerbung (baca: cerita bersambung). Semacam penulis Wattpad tapi bukan lewat platform Wattpad.
Dulu, tiap berhasil menyelesaikan sebuah tulisan, gue selalu memublikasikan cerpen-cerpen yang gue tulis melalui platform Blogger—atau lebih dikenal dengan nama blogspot. Karena sekarang gue mulai jarang nulis cerpen, blog yang dulunya dipakai untuk menampung cerpen yang gue tulis, dengan terpaksa harus ditutup sejak 2017 kemarin.
Lalu hal apa, sih, yang sebenarnya lagi gue coba? Nah, hal yang belakangan ini sedang gue coba adalah menulis sajak.
Sajak? Serius lo?
Ya, serius, dong. Masa gue bohong. Namanya juga keluar dari zona nyaman untuk mencoba hal baru, dan inilah yang ingin gue coba. Menekuni bidang yang belum pernah gue geluti sama sekali. Kenapa gue pilih sajak? Begini ceritanya.
Semua berawal dari tantangan menulis yang gue ikuti tahun lalu. Jadi waktu itu gue lagi main Twitter dan menemukan sebuah cuitan yang berisi beberapa tantangan dengan nama “7 hari menulis”. Boleh juga nih, pikir gue saat membaca tulisan yang tertera di dalam gambar.
Karena merasa sanggup, gue pun turut andil dalam tantangan tersebut dengan harapan semoga setelah ini gue bisa kembali produktif seperti sediakala.
Jadi tantangannya terdiri dari beberapa topik. Satu hari punya satu topik yang sudah ditetapkan dan harus diikuti dengan baik. Buat yang belum tau, begini cara mainnya: misalnya topik hari pertama adalah menulis sesuatu yang bikin si penulis bahagia. Jadi si penulis (yang ikut dalam tantangan) harus menulis sesuatu yang berkaitan dengan topik tersebut lalu membagikan hasilnya di media sosial disertai dengan tagar yang sudah disepakati bersama.
Kira-kira di hari kelima, topiknya adalah menulis sebuah puisi terbaik. Gue yang selama ini belum pernah bikin puisi, akhirnya terpaksa keluar dari zona nyaman itu sendiri. Mau enggak mau gue harus belajar bagaimana menulis sebuah puisi dengan baik dan benar.
Karena gue masih baru banget dalam bidang ini, gue pun berguru sama bokap. Kalau kalian belum tau, bokap juga punya hobi menulis. Bokap suka menulis berbagai hal. Mulai dari cerpen, pantun, puisi dan sebagainya.
Kalau mau ngebandingin antara orangtua dan anak, tentu bokap lebih hebat dari gue karena saat usianya dulu masih muda, karyanya sudah pernah dimuat di media cetak—dan beberapa karyanya juga pernah dibukukan.
Sementara itu anaknya, yaitu gue, sama sekali belum pernah punya kesempatan untuk tampil di media cetak. Haha, kapan ya gue bisa selevel dengan bokap? Pikir gue saat itu.
Lalu bokap mengirim beberapa karya puisinya yang pernah diterbitkan oleh salah satu media cetak dan dibikin ke dalam bentuk kliping. Ya, bokap memang suka membuat kliping. Biasanya menggunakan koran-koran terbitan tahun 90an hingga awal tahun 2000an. Yang pasti koran-koran bekas yang udah enggak terpakai lagi.
Setelah melihat beberapa gambar yang masuk, gue jadi punya sedikit gambaran tentang puisi yang akan gue tulis nanti. Namun gue mencoba untuk tetap santai dan enggak terburu-buru. Gue baca dan gue bedah lagi dengan sangat hati-hati.
Berkat rasa ingin tahu dan waktu yang terus mengejar, gue berhasil menyelesaikan tantangan dengan cukup baik. Akhirnya gue menghasilkan sebuah puisi! Mulai hari itu gue pun berkeinginan untuk menyaingi bokap. Walaupun enggak bisa nulis puisi, paling enggak anaknya ini bisa menulis sebuah sajak dengan baik dan benar.
—
Singkat cerita, dalam seminggu ini gue udah menghasilkan beberapa sajak. Gue merasa senang saat melakukannya. Gue sendiri enggak tau kenapa bisa seantusias ini. Biasanya gue perlu sedikit waktu untuk penyesuaian sebelum benar-benar merasa cocok dan terjebak di dalam sebuah kebiasaan.
Kali ini gue enggak butuh waktu yang lama untuk beradatapsi. Dalam 2 sampai 3 hari gue merasa seperti, inilah kesenangan yang selama ini gue cari.
Setelah gue pikir-pikir, mungkin karena gue udah mulai jenuh menggunakan blog sebagai tempat untuk curhat. Ya mungkin memang sudah waktunya gue mencoba hal baru. Menulis sesuatu yang serius dan bernilai. Bagaimana pun jua, setiap orang harus siap mengikuti perubahan, kan?
Hasilnya seperti yang bisa kalian lihat sendiri, ini lah salah satu dari beberapa sajak yang gue tulis selama seminggu ini. Daridulu, sajak seperti inilah yang selalu ingin gue tulis. Ya itu semua enggak terlepas dari pengalaman sebelumnya. Ya, sebelum ini gue memang pernah menulis beberapa sajak. Persisnya penghujung tahun 2017.
Kalau bisa kembali ke masa itu, gue pengin ngomong gini ke diri gue yang dulu: LU MENJIJIKAN! Karena pada masa itu, sajak yang gue tulis kerap berkaitan dengan kekesalan, penyesalan dan rasa marah. Sajak, gue pakai untuk menyindir seseorang yang amat gue sayangi. Tiap kali mengingat masa itu, gue selalu menyesal. Seharusnya gue enggak perlu bertingkah seperti itu. Menyerang lalu kembali dalam peluknya.
Tiap kali membaca tulisan lama, gue selalu berkomentar, “ANJIR! GELI AMAT YA TULISAN GUE!” saat membaca sajak yang dulu pernah gue tulis. Selain diabadikan di media sosial, beberapa tetap gue simpan menjadi koleksi pribadi di dalam notes hape. Untuk sekarang memang enggak bisa dilihat lagi karena gue sengaja mengarsipkannya biar tulisan-tulisan gue yang “menggelikan” itu cuma bisa dilihat oleh si pemilik akun yaitu gue sendiri. Hehe.
Mau dihapus tapi sayang. Meskipun jelek dan pernah digunakan untuk menyindir, gue tetap menganggapnya sebagai sebuah karya. Karena bagus tidak akan bisa bersinar tanpa si jelek. Begitu juga sebaliknya. Bagus dan jelek sama-sama saling membutuhkan.
Lewat tulisan-tulisan itu gue jadi tau, sudah sekeras apa keinginan mendorong gue untuk belajar menulis dengan baik.
Setelah mengevaluasinya kembali, gue jadi tau, bahwa saat sedang marah tulisan gue jadi sedikit berbeda. Bagai senjata laras panjang yang ditembakkan ke segala arah. Tak tentu mana kawan dan mana lawan.
—
Gue jadi berpikir. “Ini baik enggak ya kalau gue posting di sini?” sebelum memposting sajak yang gue tulis ke dalam Instagram. Karena gue merasa tulisannya berbau 17 tahun ke atas. Sementara itu follower gue ada yang masih di bawah umur. Seperti adik gue dan adik sepupu.
Dan karenanya gue bingung, mau posting di media sosial gue saat ini atau menampung pemikiran-pemikiran gue itu lewat akun baru. Tujuannya sih, ya, biar terhindar dari anak-anak di bawah umur. Menurut kalian gimana? Tolong tulis di kolom komentar, ya!
Kenapa Instagram? Ya karena gue bingung mau ngepos apa di akun gue. Gue bukan tipe orang yang suka foto-foto di tempat paling hits. Bahkan gue juga jarang pergi liburan. Daripada dipake untuk ngelike foto sama bikin Instagram Stories, mending gue pake untuk hal lain misalnya seperti membagikan hasil karya.
Kalau kalian mau lihat atau baca tulisan gue yang lainnya, silakan mampir ke akun Instagram gue dengan mengklik tautan ini.
Nah itu aja sih yang ingin gue ceritain kali ini. Intinya adalah gue seneng karena udah berhasil keluar dari zona nyaman gue selama ini. Kalau kalian punya kritik atau saran buat gue, silakan aja karena itu penting untuk perkembangan gue juga.
p.s: boleh mengkritik tapi jangan sampai menghujat, ya. :)
Dulu gue suka nahan-nahan diri untuk nulis hal-hal yang berkaitan sama seksual. Alasannya sama, takut karena sadar bahwa pembaca blog gue banyak anak SMP-nya. Tapi lama-lama gue mikir, kayaknya justru anak SMP yang butuh konten semacam ini. Kalau mereka nggak dibiasain, nantinya malah ngawur. Toh yang kita tulis itu kritikan, bukan ngajarin adegan percintaan.
Emang sih lebih bagus lagi kalau yang kita tulis itu edukasi seksual, bukan cuma kritik doang. Tapi ya, bagi gue, kritik pun udah langkah awal. Ketidakadilan harus dilawan, meskipun hanya dalam hati, kan?
Keep it cool, man.
Bener. Gue pun sebenarnya takut menyinggung hal-hal yang berkaitan sama seksual atau kekerasan. Di blog, gue masih bisa menahan dan membahas yang lain. Tapi di media sosial? Gue enggak bisa. Karena kebanyakan follower gue umurnya udah 18 tahun ke atas sehingga gue merasa aman untuk membagikan tulisan seperti itu. Memang ada sih yang di bawah umur, tapi jumlahnya enggak banyak kayak blog yang bisa dicari lewat kata kunci.
Habis gue juga kesel ngelihatnya (karena lu anak twitter gue yakin lu tau apa yang gue maksudkan hehe).
Btw, makasih buat dukungannya, Gip. :)
Ngerti banget. Karena kita sama. Bukan maksud mau sotoy bahas hal-hal tabu, tapi gue merasa perlu untuk beropini. Entah dalam bentuk artikel, sajak, cerpen, atau sekadar tweet.
Di samping itu, gue beropini juga untuk ngasih tau orang-orang, “Hey, ada yang salah lho dengan lingkungan kita! Ini tuh nggak bener. Harus dibahas. Kita mau gimana?”
Karena kalau pelecehan seksual dan kekerasan dibiarin, kita tutup mata, sengaja menulikan telinga, maaf-maaf aja, hati gue nggak terima. :p
Wah senengnya punya bokap yang seneng nulis juga. Jadi bisa sharing apapun termasuk soal nulis. Semangat untuk terus produktif nulis ya
Hahaha iya Bun. Bahkan bokap juga yang jadi editor + support sistemku waktu mau ngirim naskah ke penerbit. Makasih Bun :)
Kenalan sama Ayah kamu boleh? :)
Boleh kok. Boleh banget! :)
Keren sih itu puisinya. WE WANT MORE, WE WANT MORE :v
Ya, gimana gak mau hobi dan pinter nulis, wong orang tuanya penulis :v.
Makasih, Mike. Selebihnya bisa ditemukan di Instagram ya :p
Tapi sebenarnya enggak ada hubungan sama itu, sih. Coba deh sekarang kamu banyak-banyak baca, pasti nantinya bisa ngelahirin tulisan yang bagus juga :)
memang gak mudah melakukannya ya butuh perjuangan tersendiri
Menurut saya menulis puisi lebih susah dari pada menulis prosa, terutama karena harus ada seninya. (Saya nggak pernah menulis puisi kecuali dulu banget pas ada tugas sekolah atau tugas di kursus bahasa.) Waktu kuliah suka nulis cerpen dan dimuat di majalah seni kampus. Setelah lulus, udah sibuk dengan kerjaan. Jadinya malah menulis review peraturan pemerintah terbaru yang terkait, memo usulan kebijakan perusahaan, dan draft Surat Keputusan Direksi. (Ini kerjaan.) Selama masih bisa, sebaiknya terus menulis sesuai minat. Good luck, ya!
Sebenernya instagram emang tempat yang pas sih soalnya tumblr udah diblokir. Tapi, kalo banyak keluarga ya bahaya juga sebenernya. :))
Bener. Tapi kalau gue sih engga masalah kalau ada keluarga yang lihat. Yang gue khawatirkan itu kalau ada anak di bawah umur, yang belum ngerti apa-apa–atau mungkin udah ngerti–tapi enggak bisa nangkep apa yang ingin gue sampaikan. Semacam ditelan mentah-mentah, gitu. Kan, sajak/puisi beda dengan kutipan-kutipan motivasi. :))
Keluar dari zona nyaman yang cukup beraniiii :D
Saya dari dulu ingin mencoba ‘keluar’ dengan menulis beberapa puisi atau sajak, tapi sekali lagi, puisinya malah jadi kayak nggak bener gitu. Belum bisa bikin yang bener-bener merasuk jiwa ke dalam nirwana yang aduhai indahnya oh buset dah.
Tapi saya baca sajakmu itu… enak juga dibacanya :’)
Good move, lord!
HAHAHA sebenernya enggak berani berani banget, sih. Gue masih rada takut gitu. Takut salah dan semacamnya. Tapi gapapa deh, ntar juga pasti terbiasa.
Aduh, kok berat banget ya. HAHAHA. :)
Btw terima kasih mas feb udah sempetin baca tulisanku. Huhu jadi terharu karena dibilang enak dibacanya. :’)
keluar zona nyaman dengan membuat sajak, saya kira mungkin memperluas dan mencoba hal2 baru tapi yang masih berkaitan dengan tulis menulis juga.
eh, btw sajaknya itu bagus lhoo… penuh maka, dan enak dibaca
Keluar dari zona nyaman merupakan suatu tantangan tersendiri dan ketika sudah menjalaninya akan menghasilkan kepuasan yg lebih besar.