Di suatu pagi yang cerah di bulan Februari. Gue terbangun dalam keadaan hampa. Selesai menunaikan kegiatan rutin di pagi hari: minum air putih sembari mengucap syukur, gue lihat, orang-orang pada memamerkan sepotong cokelat dan setangkai bahkan sebucket bunga di akun social medianya masing-masing. Gue baru inget, kalau hari ini hari Selasa dan bagi sebagian orang, hari itu adalah hari kasih sayang atau valentine.
“Pantes rasanya hampa.” Gumam gue. Namun kemudian gue menyadari ada yang salah dari gue. Kenapa gue merasa hampa di hari seperti ini? Harusnya gue yang memberi cokelat dan bunga kepada perempuan yang gue suka. Bukan menunggu di bawain cokelat dan sekotak susu kaya protein. “Ini sayang, sebatang cokelat dan sekotak susu kaya protein. Ini bukti kalau aku sayang sama kamu,” ucap seseorang berbadan tinggi besar dan kekar. Dengan suara yang laki banget.
Kemudian gue menerima sekotak susu dan sebatang cokelat tersebut lalu jatuh diantara otot-ototnya yang kekar. FAK! Khayalan macam apa ini! Membayangkannya aja udah ngeri duluan!
Rasanya gue pengin pergi ke luar. Membeli sebatang cokelat dan setangkai bunga lalu memberikan hadiah kepadanya. Tapi gue dikalahkan oleh rasa malu dan nggak enakan. Lucu, ya, bagaimana sebuah status bisa menghalangi seseorang yang ingin mengungkapkan senggenap isi hati. Karena sebuah status, gue jadi sulit menyampaikan hal ini ke dia.
Tapi nggak mungkin gue lakuin. Pada akhirnya, gue menghadiahi diri sendiri. Karena gue orangnya anti mainstream, bukan cokelat yang gue hadiahi. Melainkan sebuah buku. Halah!
Selesai makan kami menemani Willy pergi ke kampus. Sementara Willy menyelesaikan urusannya, gue pergi sebentar buat ngeupdate buku tabungan.
“Ayo Za, kita ke starducks.” Ajak Aldo di depan pintu keluar sebuah bank.
“Ayo, tapi gue nggak mesen.”
“Kenapa gitu?” tanyanya penasaran.
“Lagi nabung.”
Selesai dari Starducks, gue mampir sebentar ke toko buku yang kebetulan letaknya tak jauh dari café. Gue melihat-lihat buku-buku yang terpajang. Beberapa diantaranya ada yang menarik. Berbeda dari toko buku pada umumnya, toko buku di sini khusus menjual buku-buku import. “Ada nggak, Za?” tanya Aldo.
“Ada. Tapi yang gue cari kayaknya nggak ada deh,” jawab gue.
Gue hampir ingin meninggalkan toko tersebut. Langkah kaki gue terhenti lalu bibir gue meracau di luar kendali. “Ada Norwegian Wood karya Haruki Murakami nggak, mbak?”
Gue baru menyadarinya setelah kata-kata tersebut meluncur dengan bebas. “Ada”
“Di mana?” lanjut gue.
Mbak-mbak tersebut menuntun gue ke barisan terdepan. “Ini,” katanya menunjuk sebuah buku yang judulnya sama persis dengan yang gue ucapin.
Mata gue tertuju langsung pada judul dan cover dari buku tersebut. Bener aja. Buku yang gue cari ternyata ada. Gue langsung menarik buku tersebut lalu membalikkan posisinya supaya bisa melihat harga yang tertera di belakangnya. Seratus dua puluh dua ribu, di situ tertulis.
Baca Juga: Kaget!
“Oke, gue ambil yang ini.”
Tanpa pikir panjang gue membawa buku tersebut menuju kasir untuk membayarnya.
Yang lucu dari toko buku ini, harganya lebih murah dibanding toko buku yang biasanya gue kunjungi setiap pergi ke mall-mall. Muncul pikiran-pikiran negative tiap kali gue melihat harga yang tertera di punggung buku. Jangan-jangan buku ini second, pikir gue. Harganya berbanding terbalik dari harga yang gue lihat di toko buku lain. Bedanya seratus lima puluh ribu lebih.
Setelah melunasi pembayaran untuk buku tersebut, kami kembali ke sekre.
“Mau ke GI, nggak?” tanya Ivan.
“Siapa aja?” tanya gue. Maksudnya, siapa aja yang ikut ke Grand Indonesia.
“Gua, Aldo, Elu, Dicky.” Jawabnya.
Gue mempertimbangkan tawarannya itu. “Memang Aldo mau?”
“Mau.”
Tak lama dari itu gue kembali ke kost untuk ngisi batere hape gue yang udah mau habis. Selesai dengan urusan batere, gue kembali ke sekre lagi. “Yuk,” kata gue dengan nafas terengah-engah.
Malamnya, Jakarta di guyur hujan deras. Mobil yang kami tumpangi terjebak macet di Pasar Palmerah. Gue hampir nggak yakin kami bisa sampai di Grand Indonesia tepat waktu. Tepat sebelum mallnya di tutup. Gue terus memandang ke luar jendela. Menikmati setiap tetesan hujan yang membasahi kaca jendela mobil.
Kami tiba di Grand Indonesia tepat pukul delapan malam. Tepat sebelum mallnya di tutup. “Mau ke mana dulu, nih?” tanya gue. “Atau kalian jalan-jalan aja, gue ke toko buku dulu, ya?”
“Bareng aja, Za.”
“Bareng?”
“Iya. Kita temenin lu ke toko buku dulu. Trus nanti temenin gue ke Pull & Bear. Selanjutnya terserah. Gimana?”
“Boleh aja.”
Ini bukan kunjungan pertama gue kemari. Cukup mudah untuk menemukan toko buku yang gue cari karena sebelumnya gue pernah ke sini bareng teman gue, Alvin. Kami turun satu lantai lalu sampailah di Toko Buku Kinokuniya.
“Ada bukunya Haruki Murakami, kak?” tanya gue pada petugas di sana.
“Ada.”
Lalu gue diarahkan menuju sebuah rak yang isinya Haruki Murakami semua. Gue kaget. Di sini buku-bukunya lebih lengkap. Bahkan gue sampai bingung mau pilih yang mana. Gue pun meminta saran sama Aldo. “Do, bagusnya beli satu aja atau beli dua?” tanya gue.
“Satu aja cukup. Sisa uangnya itu bisa lu pake buat keperluan yang lain,” katanya. Gue tetep ikutin sarannya karena apa yang dia bilang ada benarnya.
Sesuai perkiraan gue, harganya bisa murah bukan karena bekas. Bukunya tetap baru. Yang membuatnya murah adalah karena toko tersebut memang mengkhususkan penjualan buku-buku produksi luar. Heu.
Singkat kata, gue mendapat dua judul buku karyanya Haruki Murakami sebagai hadiah valentine tahun ini. Menghadiahi diri sendiri dengan dua bacaan baru karena belum mampu menyampaikan semua rasa kepada dia yang gue kagumi sejak lama. Tak apalah, karena dua buku tersebut sudah cukup untuk membuat gue senang.
Nah, itu dia hadiah valentine gue. Kalau kalian gimana? Dapet hadiah apa kemarin? Yang kemarin dapet cokelat dari pacarnya, bagi gue, dong! :D
Asik nih ngado valentine sendiri. Buku lagi, yang jelas banget kesukaan diri.
Btw dirimu pernah nggak sih seharian full diem di kosan atau tempat tinggal sekarang? Keknya tiap cerita jalan-jalan mulu wkwk :(
Iya dong. Jomblo kan perlu bahagia juga *eh
Pernah, kok. Tapi gak bener-bener diem juga. Selalu ada keluar dari kost. Nyari makan misalnya. Hahaha
Nggak selalu, kok. Kebetulan waktu itu lagi libur kuliah. Makanya jalan. Hihihi
hadiah valentine untuk diri sendiri, bisa aja ya idenya,, hahaha tapi keren kok….
Lucu tapi kok miris ya :’)
kadang kalau liat buku luar yang harganya murah, aku paling takut itu bajakan. haha. biasanya kalau udah pengen lebih suka beli online sih. jarang nyari di toko buku.
Yee selamat ya, aku nggak dapet apa2 nih
mau ngasih gitu Rez? hahahha
Gue sejauh ini masih nggak kuat baca Haruki yang versi Inggris. Coba baca cerpennya aja bisa stres. Kemampuan gue dalam bahasa Inggris masih cetek. Wahaha. Gue mah baca Norwegian Wood versi Indonesia aja bikin depresi dan puyeng. Gimana yang versi Inggris itu. :(
Sebuah kisah yang juga sering terjadi sama gw. Daripada nunggu-nunggu nggak ada yang ngasih hadiah (terutama buku), mending menghadiahi diri sendiri
Aku suka idenya. Menghadiahi diri sendiri ;)