Selamat sore dari Jakarta. Enter. Kemudian home Line gue nampilin pesan yang gue ketik sebelumnya. Bersama dengan lokasinya. Perjalanan nggak lengkap kalau belum pamer foto dan lokasi di sosmed. Inilah cerita gue tentang hari pertama di Jakarta.
Setibanya di terminal kedatangan, beberapa orang berpakaian rapih dengan logo burung warna putih di dadanya menyambut kami dengan tawaran hangat: Mau ke mana mas? Biar barangnya saya bawain, tawar orang berpakaian rapih. Gile, orang-orang Jawa emang baik ya. Barang gue aja diangkatin. Kalau di Sumatera, apalagi di Bengkulu, jangan harap deh bisa digituin.
Reflek, dada gue membusung dengan sendirinya, “makasih, tapi saya bisa bawa barang saya sendiri, kok.” Kata gue, lembut. “Udah itu ada keluarga saya juga yang jemput,” Pas bagian, saya bisa bawa barang saya sendiri, itu suaranya sengaja gue berat-beratin biar hati nurani supir taksi tersebut nggak tergerak untuk nolongin gue karena merasa iba. Itu kalau gue terima, sama aja dengan gue nyakitin hati sendiri karena gue udah tau ujung-ujungnya bakal kayak gimana: gue ditolongin, trus supir taksinya mengira kalo gue masih SMP.
Padahal yang gue lakuin itu sama sekali nggak ngefek. Sama sekali nggak memberikan kesan dewasa karena orang-orang akan lebih percaya kalau gue adalah anak SMP yang sedang berlibur ke Jakarta. Badan gue kecil dan perawakan gue yang terlihat seperti anak-anak, sangat mendukung untuk bercosplay. Cosplay jadi anak SMP.
Baca Juga: Perjalanan Tak Terduga
Gue melirik besi stainless berwarna putih yang melingkar di pergelangan tangan kiri gue. Jarum pendek dan jarum panjang menunjukkan pukul setengah 5 sore. Hm, terlalu sore untuk berangkat ke rumah sakit, pikir gue. Selain terlalu sore untuk berangkat ke rumah sakit, waktu tersebut memiliki arti lain: kami harus bertahan untuk beberapa jam lagi sampai matahari tak lagi menampakkan kilaunya.
Sebagai orang yang ingin menumpang hidup di rumah keluarga, gue harus tau diri dan pintar membaca keadaan. Adik gue yang kesabarannya udah habis, mengeluarkan apa yang selama ini tertahan di lidahnya.
“Kita nungguin siapa lagi sih, ma?” tanya adik gue polos.
“Kita nunggu etek, dek.”
“Etek? Etek siapa?” tanyanya lagi.
“Etek, istrinya kakak mama,”
Lama-lama pertanyaan adik gue mulai ngawur, “kenapa dia nggak pake pintu ke mana saja seperti di film-film doraemon itu, ma?”
Pinter kamu, dek. Kalau pintu ke mana saja benar-benar ada, ngapain kita beli tiket mahal-mahal!
“Atau kenapa nggak medannya aja yang dipindahin ke sini?” tambahnya lagi.
Oke, kamu bener-bener genius, dek.
***
Yang kami nanti-nanti pun tiba. Pesawat yang tante gue naiki telah mendarat di Bandara Soekarno Hatta. Kalo diitung-itung, udah 6 jam kami terlantar di bandara. Penumpang gratis harus tau diri. Batin gue.
Keesokan harinya, kami di antar menuju rumah sakit yang telah ditunjuk oleh Rumah Sakit Bengkulu. Kami bertiga di drop di tempat penurunan penumpang. Beberapa langkah saja dari tempat kami berdiri, sebuah pintu masuk otomatis menyapa kami dengan suaranya yang khas. Pintu itu membuka dengan sendirinya, udara sejuk dari pendingin ruangan langsung menyapa kedatangan kami bertiga. Gile! Rumah sakit Jakarta sama rumah sakit di Bengkulu beda banget ya! Pikir gue. Perbedaan keduanya bagaikan langit dan bumi. Mulut gue nggak berhenti mengeluarkan pujian-pujian terhadap gedung dan fasilitas rumah sakit yang kami masuki. Pendingin udara di mana-mana. Ini mall atau rumah sakit sih?
“Ada yang bisa saya bantu, mas?” tanya mbak-mbak yang bertugas di bagian pusat informasi dengan ramah.
“Maaf, mbak, benar ini rumah sakit cipto?”
“Iya, benar.”
Gue bakal berobat di rumah sakit ini? Jangankan seminggu, sebulan aja gue siap! batin gue. “Jadi gini, mbak. Saya kan dirujuk dari rumah sakit Bengkulu ke rumah sakit cipto,” gue nunjukin amplop yang berisi surat rujukan. “Apakah jaminan sosialnya berlaku di sini?”
Petugas informasi menerima amplop yang gue kasih dan membaca surat rujukan tersebut dengan seksama. “Ehem, maaf mas, ini memang rumah sakit cipto, tapi ini rumah sakit swasta. Dan jaminan sosial tidak berlaku di sini” jawabnya dengan hati-hati.
What? Jadi rumah sakit cipto itu rumah sakit swasta? Ngapain gue jauh-jauh dari Bengkulu ke sini kalau taunya cipto itu rumah sakit swasta!
“Sejak kapan rumah sakit cipto berubah jadi rumah sakit swasta?” selidik kakak nyokap gue.
Benar! Sejak kapan cipto jadi rumah sakit swasta! Petugas jaminan sosialnya sendiri loh yang bilang kalau jaminan sosial berlaku di rumah sakit cipto!
“Rumah sakit cipto ada dua, pak. Negeri sama swasta. Yang bapak datangi sekarang ini yang swastanya. Kalau rumah sakit yang negerinya ada di sebelah sana,” katanya sambil menunjuk arah barat. “Di sana menerima pasien BPJS.” Tambahnya lagi.
“Ohh jadi ada dua ya, mbak?”
“Iya, betul, mas.” Petugas itu melempar senyum.
“Oke, makasih ya mbak.”
Sial, pantes aja full ac. Ternyata swasta. Pantesan fasilitasnya bagus, batin gue. Kami langsung menuju rumah sakit negeri yang letaknya tak jauh dari tempat kami berdiri saat ini.
Baca Juga: Benarkah Orang Padang Pelit?
***
“Poli penyakit dalam ada di mana ya pak?”
“Mas lurus aja ke sana, trus ada tangga, belok ke kiri. Naik ke lantai dua. Di sana letaknya.” terang satpam tersebut.
“Makasih ya pak.”
“Ya, sama-sama mas.”
Biarpun punya negara, tapi rumah sakit ini nggak kalah kerennya sama yang swasta. Gue rasa, gue bakalan betah berobat di sini.
Kami bertiga menuju ke lantai dua. Menjejali anak tangga demi anak tangga. Saat sudah setengah perjalanan, kami bertiga disapa oleh papan yang bertuliskan: poli penyakit dalam. Pasti ini tempatnya, nih, batin gue.
Kulit gue di sapa lagi oleh udara dari penyujuk ruangan. Mantap, gumam gue, persis kayak orang yang nggak pernah masuk ke dalam ruangan ber-ac.
Gue mengambil posisi di sebelah ibu-ibu berjilbab coklat dan menyapanya, “Maaf bu, kalau mau berobat, apa-apa saja ya, yang harus saya serahin?”
“Buku birunya ada mas?”
“Buku biru yang mana?” tanya gue bingung. Gue nunjukin apa yang gue punya. Termasuk kartu jaminan sosial. “Nah! yang ini, sama yang ininya ditaruh di sini, mas,” ibu-ibu itu memilih-milih dan menaruh segala persyaratannya di loket pendaftaran.
“Trus saya harus gimana lagi bu?”
“Mas tinggal menunggu namanya dipanggil. Trus nanti mas akan diarahin ke sana.” Tunjuk ibu-ibu itu.
***
“Duh. Harus sampai jam berapa sih menunggu panggilannya?” keluh gue, yang namanya tak kunjung dipanggil daritadi.
“Mas nomor berapa?” tanya ibu-ibu yang duduk di sebelah kiri gue.
“empat puluh, bu. Ibu nomor berapa?”
“Saya nomor tiga puluh tiga. Mas udah dipanggil untuk cek tensi belum?”
“Belum. Ibu udah?” tanya gue balik.
“Udah. Paling bentar lagi nama mas dipanggil.”
Bener aja, sekitar 15 menit kemudian nama gue dipanggil. Gue girang setengah mati ketika namanya dipanggil. Perawat tersebut melempar beberapa pertanyaan seputar gejala yang gue rasain. “Tensi mas normal, tapi detak jantungnya lumayan tinggi, seperti yang mas bilang tadi.”
“Iya, Sus. Sekarang udah nomor berapa ya?” serang gue langsung.
“Tunggu aja. Nanti nama mas dipanggil, ya?” jawab perawat tersebut.
***
“Mana pasien dari Bengkulu?” tanya dokter yang berpakaian batik. Gue kaget karena lagi asik main hape.
“Saya, dok?” jawab gue.
“Tunggu sebentar di sana, nanti saya panggil.” Katanya. Meminta gue duduk kembali.
“Kamu dari Bengkulu?” tanya mbak-mbak yang duduk di Belakang gue.
“Iya. Kenapa?”
“Ayuk juga dari Bengkulu!” serunya. Sebuah kebetulan bisa bertemu dengan pasien asal Bengkulu yang juga berobat di sini.
“Oya? Ayuk, Bengkulunya di mana?” tanya gue.
“Di kotanya. Tau kolam intan?” tanyanya, menyebut salah satu nama kolam renang yang selalu ramai dikunjungi oleh orang Bengkulu.
“Iya, tau! Ayuk tinggal di dekat sana?”
“iya!”
“Berarti deket dong? Aku juga tinggalnya nggak jauh dari sana!”
Nama gue dipanggil lagi sama dokter berbaju batik tadi. “Ayo, sini.” Katanya.
“Aku dulu ya, yuk.” Pamit gue.
“Iya.”
Di dalam sebuah ruangan, mahasiswa dari fakultas kedokteran Universitas Indonesia itu menerangkan gejala-gejala yang gue alami kepada dokter spesialis berkacamata, berbadan besar. Gue berharap banyak pada dokter yang satu ini. Soalnya tadi dokter spesialisnya nggak sanggup menangani gue. Kali ini, gue ditangani oleh dokter yang lebih ahli, dr. Tri Juli.
Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh calon dokter dari fakultas kedokteran UI tersebut, dokter langsung mengambil alih tubuh gue. Melakukan serangkaian pemeriksaan fisik dari atas sampai bawah. Dan juga beberapa pertanyaan sempat di cecar ke gue.
Beralih dari ruang dokter, gue diajak ke sebuah ruangan khusus yang letaknya di lantai atas. Sebuah ruangan yang jauh dari jangkauan orang sakit. Bukan ruangan radiologi, tapi ruangan untuk pemeriksaan USG.
Gue senyum-senyum sendiri ketika alat USG tersebut menyentuh Jakun gue. Geli, anjir. Setelah pemeriksaan khusus tersebut, kami kembali ke ruangan sebelumnya dan diberikan resep Krabby Patty. Bukanlah. Resep obat serta surat untuk pemeriksaan di laboratorium dan juga beberapa surat untuk pemeriksaan tambahan.
“Kamu minta cap di depan ya.”
“Siap dok.”
Keluar dari ruangan, gue menemui perawat untuk minta di cap surat pemeriksaannya. “yang ini kamu minta tanda tangan sama yang di sana, ya?” kata perawat tersebut menunjukan sebuah ruangan yang harus gue masuki.
“Dari ketiga surat untuk pemeriksaan yang dikasih dokter, ada yang masih buka, nggak, sus?”
“Oh, semuanya udah tutup. Lagian kamu diminta untuk periksa glukosa. Jadi besok aja.” Kata perawatnya. “Yang ini ruangannya di lantai satu gedung sana, yang ini di lantai tiga digedung sana, yang ini dilantai tiga gedung ini.” Tambah perawat tersebut sambil menuliskan lokasi pemeriksaan.
“Satu lagi, apoteknya di lantai dua gedung ini.” Tambah perawat satunya lagi. Setelah minta tanda tangan, kami berpencar. Nyokap ngantre ke apotek, gue minta acc sama Bu Dewi di lantai tiga untuk pemeriksaan besok: Scan dan MRI.
“Bu Dewi nya ada, bu?” tanya gue sama salah satu petugas.
“Iya, dengan saya sendiri. Mau minta acc, ya?” tanyanya, seolah bisa membaca pikiran gue.
“Iya, betul, bu.”
“Sekarang udah tutup. Kalau mau besok aja. Persyaratannya ini,” katanya, nunjukin persyaratan yang harus gue penuhi jika ingin suratnya di acc. “Kalau udah komplit semua, kamu boleh letak di sini.” Tambahnya lagi.
“Baik, makasih ya, bu?” gue langsung ke lantai dua untuk ngantre obat.
Gue baru dapat obatnya jam 5 sore. Untung nggak kemaleman. Andai obatnya nggak tinggal di Bengkulu, mungkin gue nggak bakal antre obat!
Jadi, tips buat kalian yang pengen berobat ke RSCM:
Apalagi di rumahnya temen yang suka ngutang. Tar dia malah ngutang. Antrean obat di apotek RSCM tuh parah banget udah kayak ngantre sembako gratis.
Hari pertama di Jakarta berjalan dengan rumit karena banyaknya hal yang nggak gue ketahui dari prosedur di RSCM. Bagaimana dengan hari-hari berikutnya? Tunggu saja, hanya di blog ini!
You have brilliant daughter, suka mengeluarkan kalimat ajaib, pasti karena suka nonton manusia jadi jadian (ggs).
Heh, lu kira mantra apa? :(
Gak, gue sukanya nonton uttaran
Yaarabb, nunggu sampai 6 jam itu kayak jemuran digantung! Za, untung kamu nggak nunggu sendiri :’)
Btw kamu berangkat ke RSCM-nya pagi jam berapa? Gila, jam 5 baru selesai. Itupun harus datang besoknya lagi.
HAHAHA ZA AKU PUSING SUSTERNYA BILANG YANG INI DI GEDUNG SINI, YANG ONO GEDUNG ITU HAHAHA huft. Untung Reza sabar ya :’)
Ayooo aku tunggu yang lainnya!
Iya Ris, makanya aku ngajakin ortu ku buat menemani :’)
Pagi jam setengah 7 udah di jalan. Iya nih. Dan akan terus begitu selama 3 minggu :(
Siaap!
Tulisannya rapih :-D Tapi kan udah pake kata gantu “gue” saya kira emang orang Jakarta
Jakarta nya mana sob ? siopa tahu deket sama tempat saya :)
salam kenal sob dari blogrudhi.id, jangan lupa mampir ke blog saya juga sob :)
Guenya jakarta selatan, berobatnya di Jakpus.
Iya, salam kenal juga ya, bro. Amaan :)
Hahahaha.. selamat datang di Jakarta mas.. semoga lancar semua urusannya ya.
Hehe kalau di RSCM harus sabar. Tapi penanganan dokternya dan juga pemilihan obatnya Insya Allah cocok :)
Ibu ku dulu patah tulang belakang, oprasi pembedahan, seminggu udah bisa pulang dan rawat jalan pun, dokternya teliti banget dan Alhamdulillah sampai hari ini udah sehat bisa jalan kesana kesini tanpa ngerasa sakit dii punggung.
semoga selamat sampai tujuan ya,.. semanagat…
Selamat datang di Jakarta mas, dan semoga lekas sembuh. :)
Wah kita dekat :D Gue di Gorontalo Sulawesi Utara.. Eh, jauh ya ? :|
Sakit apa sih lo za? Tumor dipantat?
Untung aja gak langsung rawar inap di rumah sakit swasta, brabe tuh.. Gak bisa pake bpjs. Ahaha….
Bengkulu.. Kapan2 pengen maen kesono.. Berapa harga tiket? :D
Bangke!
Tergantung, sih. Kalau dari Jakarta ke Bengkulu tiketnya agak mahal. Min. 450ribu lah
info yang menarik kak.. semangat kak pantang nyerah dan selamat berjuang..
Gue kapan yah bisa ke Jakarta???
Mantep curhatnya kak. Jadi makin pengen naek pesawat :’v
salam riofernandoblog.blogspot.com
gue pas baca judulnya langsung mikir gue kira tentang macetnya jakarta hehe soalnya pas pertama kali kejakarta, aduuhh sumpek gue macet bangeett sepanjang jalan, tapi asik sih ya liatin gedung tinggi tinnggi hehehe
eh lo skit apasih? ko sampe jauh kesna
Duh, di Jakarta berobat ya ._. duuuh, semoga lekas sembuh ya :’) Aamiin :)
Wah jauh kita brader saya mah di jakarta pusat, tapi sih sebenarnya lebih enakan di jaksel karena tidak terlalu kota banget kalau menurut saya mah.
Apaaaaa?????????? Nunggguuuuiiinnn 6 jaaaaammmmmmmm????? Hiiiihhhhhh betah amat….. >_<
Selamat datan di Jakarta, kota penuh sesak. Jaga dompet, jangan sampe dijambret. Eh?? Ya pokoknya gitu lah…
wah gila lo bang menunggu itu adalah hal yang paling membosankan, apalagi sampek 6 jam