Mumpung sekarang masih WFH, jadi gue pengin cerita tentang pengalaman liburan ke puncak bersama teman gue dari awal masuk kuliah. Jadi begini ceritanya…
“PIC makanan Opik, gue keuangan, dan Willy ngurusin villa.” Pesan Jordi dalam grup yang beranggotakan sepuluh orang. “Sesuai pembahasan tadi, ini project akhir tahun kita. Kita akan liburan ke Puncak dan masing-masing patungan 500 ribu.”
Gue menyimak informasi yang disampaikan Jordi dengan seksama. Project ini merupakan kali pertama bagi kami semua. Yaitu liburan ke Puncak dan menginap semalam di villa. Sementara Jordi menyampaikan informasi, Rico mulai mengerjakan tugasnya. Yaitu membuat perkiraan budget yang akan dikeluarkan untuk membeli bahan makanan.
Gue pribadi sebenarnya agak keberatan dengan besaran biaya untuk project ini. Untuk ukuran tamasya ke Puncak, gue yakin tidak akan menghabiskan biaya yang besar. Lagipula kondisi ekonomi gue lagi buruk dan gue perlu berhati-hati dalam membuat keputusan.
Di lain sisi, gue juga menginginkan liburan. Retret bersama teman atau sahabat lalu menyewa villa. Menginap selama beberapa hari atau satu malam di villa yang kami sewa menggunakan uang dari hasil patungan bersama.
“Mulai nabung dari sekarang!” Jordi menegaskan.
Bulan berganti. Masing-masing sudah menerima gaji dari tempat magang dan beberapa sudah menerima uang bulanan dari orang tua. Satu persatu mulai menyetorkan uang sebagai tanda ikutserta.
Di waktu yang hampir bersamaan, Willy mengeluarkan daftar villa yang dia kumpulkan melalui situs penyewaan properti. Lengkap dengan foto dan fasilitas yang dimiliki oleh masing-masing villa. Untuk mempersingkat waktu, semua sepakat untuk melakukan voting secara anonim.
Kayaknya menarik, pikir gue sewaktu melihat foto yang diposting oleh Willy.
Beberapa hari kemudian, to-do-list untuk akhir tahun mulai diposting. Begitu juga dengan rincian untuk masing-masing pos pengeluaran seperti biaya sewa villa, makan, bensin, ongkos tol, dll.
“Gapapa sekali-kali retret bareng teman,” pikir gue setelah mantap untuk ikut. Sebagai tanda ikut, gue melampirkan foto bukti transfer ke PIC keuangan kami.
“Oke, udah gue update.” Balas Jordi.
Kembali ke voting. Hasil voting menunjukkan bahwa kami akan menyewa sebuah vila di daerah Cipanas. Setelah menerima uang dari Jordi, Willy langsung menyewa villa tersebut. Sementara itu PIC konsumsi kami, Rico, mulai berbelanja bahan makanan bersama Raymond.
Malam H-1, kami mengadakan rapat untuk terakhir kalinya. Dalam rapat ini kami membahas beberapa hal penting. Di antaranya mobil, lokasi sarapan, dan titik kumpul. Di waktu yang bersamaan, Willy memberi kabar bahwa kemungkinan dia tidak bisa ikut karena harus menjaga anggota keluarganya yang sedang sakit. “Nanti gue kabari jadi atau enggaknya.” Pesan Willy.
Rapat segera kami akhiri ketika waktu menunjukkan jam 8 malam. Berdasarkan rapat tadi, kami sepakat bahwa akan ada dua mobil yang dipakai. Titik kumpulnya di Lawson, jam 4 pagi.
Hari yang ditunggu pun tiba…
Waktu berlalu dengan sangat cepat. Baru beberapa jam yang lalu kami berkumpul di sebuah kedai untuk membahas rencana hari ini. Sekarang, kami sudah berkumpul di titik yang kami sepakati. “Willy gimana, tuh?” tanya salah seorang diantara kami.
“Dia ngabarinnya mendadak banget. Jadi nggak ada refund.” Kata Jordi, tegas. “Lagipula uangnya udah dipake beli makanan dan bayar villa. Satu-satunya jalan, ya, lihat nanti. Masih ada sisa atau enggak.”
Semua setuju tidak ada ada refund untuk pembatalan mendadak. Berhubung Matt bawa satu temannya, jadi, jatah makan Willy akan digantikan oleh anggota baru. Namanya Ade.
Waktu sudah menunjukkan pukul 04.30 pagi, sementara dua orang teman kami belum juga muncul. Karena lelah menunggu, kami setuju untuk pindah lokasi sambil mencari tempat makan. Pilihan kami jatuh pada restoran ayam yang tak jauh dari tempat kami berkumpul. Untungnya, restoran tersebut buka 24 jam saat weekend seperti ini.
Sebelum membeli makan, Jordi lebih dulu membagikan uang yang dia pegang. Masing-masing menerima modal sebesar lima puluh ribu untuk membeli sarapan pagi. Uang tersebut boleh dipergunakan sesuka hati. Gue sendiri mempergunakan uang tersebut untuk membeli minum dan menyimpan kembaliannya karena masih kenyang.
Selesai sarapan, perjalanan ke puncak pun di mulai. Kami berangkat dengan menggunakan mobil Matt dan mobil Opik. Mobil Matt diisi oleh lima orang yaitu Matt, Rico, Amok, Raymond, dan Ade. Sementara itu mobil Opik diisi oleh Opik, Jordi, Aldo, Ahong dan gue.
Semua berjalan dengan baik. Opik yang habis dari acara DWP menyetir dengan amat baik. Tidak terlihat sedikitpun lelah pada wajahnya. Jordi yang duduk di bangku depan, tak pernah kehabisan bahan obrolan, sehingga Opik punya teman ngobrol sepanjang jalan.
Gue yang belum tidur sama sekali mulai mengantuk. Namun di satu sisi, gue enggak mau tidur karena ingin menikmati perjalanan ini. Untuk menghilangkan kantuk, gue meraih hape dari saku celana. Mencari e-books yang belum gue baca. Pilihan gue jatuh pada buku yang ditulis Eka Kurniawan.
Kesialan baru terjadi di KM 40. Pik, Pik, ada kantong kresek, enggak? Tanya gue dari bangku belakang.
“Lu kenapa?” tanya Opik, melirik dari kaca depan.
“Gue mual, nih.”
“Kenapa? Lu mualnya karena apa?” tanya dia, dengan nada sedikit panik. “Karena asap rokok atau apa?” dia menyebutkan pelbagai hal yang dapat memicu mual.
“Gue enggak tau. Selama ini gue enggak pernah mabuk di jalan.” Balas gue.
“Tahan dulu, ye. Dikit lagi, kok.” Opik berusaha menenangkan.
Di bangku belakang, gue berpikir bagaimana caranya supaya nggak muntah di dalam mobil Opik. Pelbagai cara gue lakukan. Mulai dari mengingat hal yang menyenangkan, memandangi jalan, sampai mencoba tidur.
Namun mual tak bisa ditahan. Gue memberi isyarat untuk berhenti dari bangku belakang. Jordi dengan sigap menelpon perwakilan di mobil Matt, meminta mereka untuk menepi sebentar. Mobil merah di depan kami berhenti. Pun begitu dengan kami. “Kasih ruang, Do. Biarin Reza keluar.” Pinta Jordi kemudian.
Aldo segera bergeser, memberi jalan supaya gue bisa keluar. Gue turun dari mobil. Menghirup udara segar sebanyak yang gue bisa. Berharap mual ini segera berakhir. Tiba-tiba seseorang berdiri di depan gue. “Nih, kresek.” Rico menawarkan dua kantong kresek kosong di tangannya.
Gue menerima kantong tersebut. Menggenggamnya dengan erat. Setelah gue merasa baikan, perjalanan kembali dilanjutkan. Gue dan Aldo bertukar posisi. Aldo duduk di bangku paling belakang, melanjutkan tidurnya sementara gue duduk di tengah dengan kantong kresek terikat di antara telinga. Menjadikan kresek tersebut layaknya masker.
Jancuk, sekarang kebelet boker. Komentar gue di dekat pintu keluar tol.
“Lu kebelet, Za?” tanya Opik.
“Iya,” balas gue. “Masih jauh enggak, Pik?” tanya gue penasaran.
“Enggak, sih. Tapi masalahnya…”
“Kenapa?”
“Itu.” Opik memberi isyarat untuk melihat ke depan. Dan, kesialan jilid dua terjadi. Macet panjang di pintu keluar tol menuju Bogor. Kemacetan itu disebabkan oleh sistem buka-tutup jalan. Gue menengok ke jalan. Berharap menemukan batu untuk digenggam. Namun rupanya, di sekitar sana tidak ada batu. “Apa gue boker di semak-semak aja, ya?” kata gue, nekat.
Mendengar ucapan gue, Opik langsung merespon, “gila lo. Tahan dulu, Za. Paling bentar lagi jalurnya di buka.”
Gue setuju dengan Opik. Tapi perut gue sakit bukan main. Melihat banyak orang yang keluar dari mobil, gue merasa pengin ikut. Tapi gue bukan sekadar ikut-ikutan yang lain. Gue ikut dan memodifikasinya sedikit dengan menambahkan satu skenario. Yaitu keluar lalu berlari mencari semak untuk boker.
Satu jam berlalu. Sekarang, gue sudah bisa diajak bercanda atau mendebatkan hal yang nggak penting sekalipun seperti: lebih dulu ayam atau telur? Gue mampir ke mobilnya Matt. Mereka sedang duduk lesehan di aspal sambil makan kacang rebus yang dibeli dari penjual keliling.
“Lu tadi boker di mana? Kan, toilet umumnya cuma bisa dipake pipis.” Tanya Rico, penasaran.
“Di gedung itu.” Gue menunjuk gedung dengan tinggi tiga lantai.
“Emang bisa?”
“Untungnya bisa. Mungkin penjaganya maklum karena di sekitar sini enggak ada toilet.”
“Gue tadi juga pengin boker. Tapi enggak jadi karena toilet umumnya cuma bisa dipake buat pipis.” Kata Rico sambil mengupas kacang rebus.
Setelah puas mengobrol, gue pamit untuk kembali ke mobil Opik. Baru saja menutup pintu, dua polisi dengan motor besarnya lewat sambil menyalakan sirene sebagai tanda bahwa jalur menuju puncak telah dibuka. Perjalanan kembali dilanjutkan.
***
Rasa kantuk dan pegal yang gue rasakan selama di jalan hilang begitu saja ketika kami sampai di villa. Badan gue terasa segar kembali. Entah karena takzim, atau villa ini memang memancarkan energi positif kepada penghuninya.
Setelah puas mengeksplor seisi villa, batin gue segera berkata “syukur gue ikut!” Villa ini jauh lebih besar dan luas dibanding foto yang diposting oleh Willy. Villa ini memiliki tiga teras, dua taman, dua ruang keluarga, dua dapur dan tiga kamar berukuran besar. Masing-masing kamar dapat menampung hingga 4 orang dengan perhitungan satu kasur ditempati dua orang.
Menurut Rico, villa ini persis seperti rumah pejabat daerah. Kalau dilihat lagi, memang benar apa yang dia bilang. Tempatnya persis seperti rumah pejabat atau saudagar kaya di suatu daerah.
Kami membubarkan diri setelah menyepakati pembagian kamar. Gue, Aldo, Amok dan Rico kebetulan mendapat kamar paling depan. Mungkin kamar tamu atau kamar anak bujang karena tempatnya yang sedikit berada di “luar” bangunan utama. Terlepas dari itu semua, kamar kami menempati posisi yang amat strategis karena memiliki pemandangan bukit.
“jam 4 nanti udah mulai tusuk-tusuk sate,” ujar Rico, saat semuanya sedang menonton televisi di ruang tengah.
Tidak satu pun memberi tanggapan. Semua terduduk lemas akibat santap siang “brutal”. Sengaja gue menamainya begitu, karena kami baru saja menyantap 18 bungkus mi goreng bersama satu pack nugget dan 1 pack kentang goreng. Tentu saja dengan nasi sebagai pelengkapnya. “Istirahat aja dulu. Masih kenyang banget.” Balas Jordi kemudian. Sambil menyembulkan asap di udara.
Gue berjalan ke dapur. Masak air lalu menyeduh kopi supaya enggak ngantuk saat acara puncaknya nanti malam. Selesai menyeduh kopi, gue berjalan ke teras depan. Menamatkan buku Eka Kurniawan. Gue enggak sendirian. Ada Ade dan Aldof yang juga duduk di bangku teras. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“eh, kita extend, yuk?” usul gue. Ide itu muncul begitu saja. Tentu gue enggak serius mengatakannya. Namun jika mereka setuju, gue siap jika harus patungan lagi.
Lucu rasanya ketika gue menjadi orang pertama yang merasa keberatan, justru menjadi orang pertama yang memberi usul untuk memperpanjang libur. Mungkin karena gue sudah lelah dengan polusi di Ibukota. Mungkin juga gue sedang butuh liburan sejenak untuk mengistirahatkan kepala akibat skripsi yang menguras banyak tenaga.
Tentu saja mereka menolak usulan tersebut. Sebab sebagian besar dari kami—termasuk gue—harus harus masuk kantor hari senin. Selain itu, persediaan makanan yang kami bawa dari Jakarta kemungkinan hanya cukup untuk dua hari satu malam.
Langit mulai berwarna keabu-abuan dan petir mulai bergemuruh ketika kami sedang menusuk daging sapi, ayam, sosis dan bakso menjadi sate. Adalah Jordi, Ahong, Raymond, gue dan Amok yang bertugas menyiapkan sate. Sementara itu yang lainnya bertugas untuk membeli bumbu di pasar.
Selesai mengurusi sate, kami berkumpul kembali di ruang tengah. Mengadakan rapat singkat untuk membahas acara nanti malam. Mulai dari pembagian tim, kapan mulai kerjanya, dan siapa yang bertugas sebagai support untuk membeli keperluan yang kurang.
Malam itu semuanya kembali bekerja. Kami membaginya menjadi dua tim. Tim pertama mengurusi sate. Tim kedua mengurusi tomyum sukiyaki. Adalah Jordi, Rico, Ahong, Raymond dan Amok yang bertugas membakar sate. Tim tomyum ada Aldo, gue, Opik, dan Ade.
Sementara itu, Matt, duduk di ruang tengah. Bertugas sebagai entertainer. Dengan peralatan DJnya yang ada di atas meja, Matt mulai memainkan lagu-lagu hits dari pelbagai genre untuk membakar semangat.
“Coba cicip, udah pas?” pinta Aldo.
Gue mengambil sendok yang ada di rak, lalu menyendoki kuah tomyum yang hampir jadi. “Kurang garam. Tambahin dikit lagi.” Kata gue. Aldo menambahi garam, memasukkannya ke dalam panci besar. Sementara itu tim sate sedang kewalahan karena kehabisan arang.
Tak kehabisan akal. Mereka membawa masuk sate-sate itu ke dalam. Lalu membakarnya menggunakan grill pan yang diletakkan di atas kompor. Ternyata ide mereka berhasil! Aktivitas bakar sate itu pun kembali dilanjutkan. Sementara mereka membakar, kami tim tomyum membereskan peralatan makan dan membersihkan ruang tengah.
“Berhubung teman kita ada yang baru pindah server, jadi mari kasih kesempatan buat dia,” kata Jordi. “Do, pimpin doa makan.”
“Ikuti gue, Do.” Opik berbisik ke telinga Aldo. Mengajarinya doa makan yang benar, karena Aldo baru saja jadi mualaf dua hari yang lalu. Semua berdoa dengan penuh hikmat. Mengikuti ajaran agamanya masing-masing.
Di depan kami sudah tersedia berbagai jenis hidangan. Mulai dari sate, telur dadar, tomyum dan sosis goreng. Malam ini, menjadi acara makan brutal jilid 2.
***
“Udah nggak ada yang ketinggalan lagi, kan?” tanya gue. Memastikan kembali tidak ada barang yang tertinggal sebab sore ini kami akan kembali ke Jakarta.
“Harusnya udah enggak ada lagi.” Jawab Amok.
Kami berpamitan, sekaligus mengucapkan banyak terima kasih kepada ibu yang menjaga villa sebab beliau banyak sekali membantu kami selama di sini. “Pulang dulu pak, bu.” Ujar kami semua.
Keluar dari gang, kami mampir ke minimarket sebentar. Tidak lain untuk membeli camilan dan minuman untuk di jalan. Jordi kembali membagikan uang jajan. Masing-masing menerima modal sebanyak lima puluh ribu. Gue menggunakan uang tersebut untuk membeli minyak angin, dengan harapan dapat mencegah mual dan masuk angin selama di jalan.
Selesai jajan, kami kembali melanjutkan perjalanan. Dipandu dengan aplikasi waze dari hape Opik.
Kami terhitung beruntung sebab ketika akan pulang, jalur turun sedang dibuka. Sehingga tidak ada adegan terjebak atau harus menunggu pembukaan jalur seperti sebelumnya. Perjalanan kami lancar begitu saja. Tidak ada drama apalagi kesialan yang mengharuskan kami untuk menghetikan perjalanan seperti sebelumnya.
“Kita menepi, yuk. Gue laper.” Kata Opik. Saat itu waktu hampir menunjukkan pukul 7 malam.
“Gue juga. Tapi di mana, ya? Rest area?” Balas Jordi.
“Boleh juga, tuh. Kasih tau anak-anak, kita mampir di rest area.”
Jordi menghubungi perwakilan di mobil Matt. “Mereka setuju.” Kata Jordi singkat, begitu panggilan berakhir. Mobil yang kami tumpangi melesat dengan cepat di jalanan.
Rest area yang menjadi tujuan kami sedang ramai-ramainya saat itu. Membuat kami kesulitan mencari tempat parkir. Setelah keliling dua putaran, akhirnya kami menemukan tempat kosong. “Sini, ada satu tempat kosong di sebelah kami.” ketik Opik di grup. Tidak lama, kelompok Matt muncul dan memarkirkan mobilnya.
Kami semua berkumpul di tempat parkir. Sesuai pembahasan di dalam grup, Jordi mulai mencairkan sisa uang dari acara ini. Pencairan dilakukan dengan cara transfer ke rekening pribadi masing-masing. Termasuk mengembalikan uang Willy yang tidak jadi ikut.
Setelah menerima uang, pencarian pun dimulai. Adalah tugas gue dan Aldo yang mencari tempat makan. Sementara itu yang lainnya pergi mencari jajan. “KFC penuh.” Ketik gue. “Gimana kalau di BK?” usul Aldo. Saat memberi usul gue dan Aldo sudah lebih dulu mengatur meja tanpa menunggu konfirmasi dari mereka.
Lima menit kemudian, batang hidung mereka terlihat. Gue melambaikan tangan agar dapat terlihat oleh mata mereka. “Langsung pesen aja, biar gue yang jagain meja.” Kata gue ketika mereka datang. Gue mengangguk singkat ketika mereka pamit untuk mengantre. Setelah mengantre, mereka kembali sambil menenteng pesanan masing-masing. Melahapnya dengan penuh kenikmatan.
“Yuk jalan.” Usul Rico ketika semuanya sudah menghabiskan makanan. Semua bangkit dari tempat duduk. Siap untuk melanjutkan perjalanan. Kami tiba di Jakarta tepat pukul setengah sepuluh malam. Opik menghentikan mobilnya di depan kos Jordi, menurunkan kami serta barang bawaan yang dititipkan di mobilnya. “Orang Tua jangan lupa” kata Opik mengingatkan.
“Oiya. Bentar, Pik, gue ambil Orang Tua dulu.” Kata Aldo. Bersegera mengambil satu botol anggur merah yang masih tersegel di bangku belakang.
“Udah enggak ada lagi yang tertinggal, kan?” Opik memastikan untuk kali terakhir. Kami berempat kompak menjawab, “beres.”
“Oke. Gue duluan, ya. Masih ada urusan habis ini.” Pamit Opik.
“Gue juga pamit dulu, ya. Capek.” Kata Matt.
“Makasih, Opik, Matt. Hati-hati di jalan.” Balas kami, kompak.
Mobil Toyota Rush silver itu kembali melaju di jalan Jakarta. Begitu pula dengan mobil merah yang dikendarai oleh Matt. Mereka berdua melanjutkan perjalanan. Begitu juga dengan kami. Kembali ke kos masing-masing.
Sesampainya di kos, gue menghela nafas panjang. Senang karena bisa menghabiskan waktu bersama teman, geng, sahabat dari awal pertama masuk kuliah. Mungkin ini akan menjadi cerita pengalaman liburan bersama teman yang nggak akan bisa gue lupakan sepanjang hidup. Terima kasih, kawan. Kalian adalah teman, sahabat sekaligus keluarga yang menyenangkan.
Ini lah cerita pengalaman liburan bersama teman versi gue. Gimana dengan kalian? Punya cerita menarik berlibur atau jalan bersama teman juga? Ceritain di kolom komen, dong!
kalau sama teman memang asyik ya, seru