Ucapan selamat mengisi sepanjang lorong. Di titik itu gue merasa beban yang gue pikul telah luntur belaka tatkala dosen penguji menjadi orang pertama dan kedua yang memberi ucapan selamat kepada kami di dalam ruang bernomor 414. Dengan ini gue merasa sedikit lega karena bisa istirahat sejenak, sebelum akhirnya terjun ke medan tempur untuk kali terakhir.
Di titik itu gue juga menyadari bahwa gue masih memiliki janji yang harus diselesaikan. Janji yang memang tidak begitu memiliki pengaruh besar tapi gue merasa perlu melunasinya. Yang gue butuhkan hanya waktu. Dan mungkin sekaranglah waktunya membayar.
***
Hola! Selamat siang, salam dari gue yang sedang menikmati libur panjang dengan #dirumahaja setelah pertempuran akhir kemarin. Bagaimana kabar kalian di sana? Semoga kalian sehat-sehat saja. Tetap jaga kondisi tubuh dan selalu menjaga jarak bila harus pergi keluar, dan bagi yang tidak punya agenda penting mari kita #dirumahaja sambil melakukan kegiatan produktif.
Berhubung sekarang gue sedang punya banyak waktu, di momen ini, gue ingin bercerita tentang apa yang sudah gue lalui sampai sejauh ini. Semua berawal dari kegundahan di bulan Maret. Ya, persis satu tahun yang lalu.
Baca juga: Lika-Liku Dalam Mengambil Skripsi
Bagaimanapun juga, yang ingin gue ceritakan adalah proses yang terjadi setelah itu. Ini tentang Skripsi dan Kerja dan Janji. Jadi begini ceritanya…
Phase 1: Penyusunan.
Beberapa bulan lalu, tepatnya bulan Oktober 2019, gue bersama kelompok memulai pertemuan pertama bersama dosen pembimbing skripsi yang ditunjuk oleh pihak jurusan. Sebagaimana layaknyanya pertemuan pertama, yang kami lakukan yaitu mengenalkan diri dan menjelaskan topik yang akan kami angkat pada skripsi yang akan kami susun.
Selain mengenalkan diri dan topik yang ingin kami angkat, pertemuan tersebut juga bertujuan untuk membahas judul.
Pertemuan tersebut selesai begitu saja tanpa menghabiskan banyak waktu. Mungkin tidak sampai 60 menit, tapi kami membawa pulang informasi yang cukup berharga. Setidaknya untuk saat itu. Setibanya di kos, gue kemudian bersuara di dalam grup. “Yok, kita mulai bahas siapa mengerjakan apa.”
Esok harinya kami mulai bekerja sesuai dengan bagian yang sudah disepakati bersama. Untuk tahap awal, kami memulai dari BAB 3. Alasan kami memilih untuk mulai dari bab 3 adalah karena bab tersebut menjadi fondasi utama dari skripsi kami. Ya, harus gue akui bahwa cara kami bekerja memang sedikit berbeda dari skripsi pada umumnya. Kami bekerja bukan menurut urutan bab seperti yang dilakukan mahasiswa semester akhir pada umumnya. Tetapi kami bekerja menurut skala prioritas dan tingkat kesulitan.
Untuk diketahui lagi, di kampus gue, ada tiga macam jalur skripsi yang dapat dipilih oleh masing-masing kelompok atau mahasiswa. Yaitu jalur penelitian, jalur internship (mengambil kasus di perusahaan), dan bisnis start-up. Kami bertiga memilih jalur skripsi bisnis start-up, di mana kami membuat dan membangun sebuah bisnis dari nol hingga jadi.
Skripsi ini sendiri disusun dalam kurun waktu 4 bulan. Di mulai dari Oktober dengan batas pengumpulan akhir bulan Januari. Karena berkelompok dan diberi waktu 4 bulan, gue merasa bahwa skripsi kami dapat berjalan dengan lancar tanpa ada suatu halangan apapun.
Sebagaimana yang diharapkan, skripsi kami berjalan dengan baik. Hal tersebut terlihat saat bimbingan kedua, di mana pembimbing kami merasa puas dan memuji kerja kami bertiga sebab berhasil menyelesaikan bab 3 dalam waktu kurang dari 2 minggu. Bab 3 pada skripsi kami merupakan bab yang secara khusus membahas tentang analisis bisnis. Di dalam analisis tersebut terdapat bagian-bagian yang berkaitan dengan bisnis seperti analisis pasar, analisis keuangan, dan analisis persaingan industri.
Selesai mengurus bab 3, selanjutnya kami masuk ke bab 4 yang membahas gambaran sistem atau cara kerja dari bisnis yang kami bangun. Jika bab 3 adalah fondasi dari sebuah rumah, maka bab 4 merupakan rumah yang sudah dibangun dan siap untuk dihuni. Dalam bab tersebut kami membahas proses bisnis dan hasil rancangan sistem yang dibuat agar mampu bersaing dengan kompetitor atau menjadi solusi dan memenuhi kebutuhan pasar.
Bab 4 merupakan bagian yang paling banyak memakan waktu dan menguras tenaga kami. Untuk menyelesaikannya kami membutuhkan waktu lebih kurang 2 bulan. Dan tentu, selama 2 bulan tersebut kami tidak hanya fokus untuk mengerjakan bab 4 saja, tetapi juga mulai menyicil yang lain seperti bab 1, 2, dan 5.
Keadaan mulai berubah saat Desember datang. Kami mulai sibuk dengan pekerjaan di tempat magang masing-masing. Tidak satupun dari kami bertiga yang tau persis kapan kesibukan ini berakhir dan tak satupun yang berani mencuri waktu untuk menyicil skripsi di kantor. Dengan situasi yang seperti itu, mau tidak mau kami hanya bisa menyicil di rumah setelah pulang kerja atau menghabiskan akhir pekan di depan laptop mulai dari bangun hingga tidur lagi.
Baca Juga: Pengalaman Magang di Mandiri
Dengan keadaan seperti itu, gue hanya bisa mengalah dengan memberi segenap perhatian dan tenaga kepada skripsi. Tentu saja kerjaan di kantor tetap jadi prioritas utama. Setelah postingan terakhir di bulan Desember kemarin, gue memutuskan tidak membuat konten untuk sementara waktu dan berjanji akan membayarnya setelah pertempuran akhir.
Tepat pada tanggal 26 Januari kemarin, skripsi kami dinyatakan rampung dan tinggal menunggu persetujuan dari dosen pembimbing. Untuk dapat lanjut, kami harus mendapatkan tanda tangan pada salah satu dokumen yang menjadi syarat untuk pengumpulan softcover skripsi. Dokumen tersebut ialah surat rekomendasi dosen pembimbing, yang pada salah satu pointnya menyatakan bahwa skripsi kami dapat diterima dan dilanjutkan ke proses berikutnya.
“Saya ada di jurusan mulai jam 13.00 nanti.” balas dosen pembimbing kami.
“Baik pak, terima kasih,” jawab kami bertiga. Selepas membalas pesan gue langsung bersiap untuk berangkat ke kampus. Sebelum itu gue sudah minta izin supervisor untuk kerja setengah hari karena gue harus mengumpulkan skripsi.
Pada waktu pengumpulan, tentu ada saja dramanya. Seperti print ulang, bongkar jilidan dan menambahkan lampiran. Syukur dramanya tidak begitu banyak, sehingga kami tidak perlu mengeluarkan banyak uang dan bisa langsung ukur toga. Selesai mengukur toga, masing-masing kami menerima email berisi “bukti tanda terima” yang menyatakan bahwa softcover skripsi kami sudah diterima oleh pihak kampus.
Hari-hari selanjutnya merupakan waktu yang tepat untuk mengambil sedikit ketenangan dan fokus pada kerjaan di kantor sebab tak lama lagi gue akan selesai magang.
Phase 2: Sidang
Seminggu setelah mengumpulkan softcover skripsi, terbit lah jadwal sidang. Untuk jurusan gue sendiri, sidang dilakukan secara bertahap mulai dari tanggal 11 Februari hingga 20 Februari. Kelompok gue sendiri kebetulan mendapat giliran sidang pada tanggal 14 Februari jam 17.00 WIB. Ya, persis pada hari valentine.
Persiapan gue menghadapi sidang terbilang biasa-biasa saja. Dalam hal ini gue menggunakan sistem cicil untuk urusan belajar. Tepatnya tiga hari sebelum sidang. Dalam sehari gue membagi waktu belajar ke dalam tiga babak: setengah jam sebelum berangkat kantor, satu jam selesai makan siang, dan setengah jam sebelum tidur.
Ya, gue enggak mau menyiksa diri dengan menghabiskan lebih dari tiga jam sehari untuk belajar. Apalagi menerapkan SKS (Sistem Kebut Semalam). Terlalu berisiko. Lebih-lebih lagi, dari jam 08.30 hingga 17.30 posisi gue berada di kantor, tentu gue harus lebih mengutamakan pekerjaan daripada kepentingan pribadi.
Hari yang ditunggu pun tiba. Gue bersama kelompok sudah standby di kampus sejak jam 10 pagi. Selain untuk belajar, tujuan kami datang lebih awal yaitu untuk memberi dukungan dan ucapan selamat kepada teman-teman kami yang sidang pada hari itu.
Suasana hati gue mulai berubah tatkala gue melirik jam di sudut layar handphone. Tak ingin larut dalam kecemasan yang berlebih, gue pamit mencari udara segar sebentar. Sepanjang jalan gue terus memikirkan siapa yang akan menjadi dosen penguji kami nanti. Satu-satunya yang gue harapkan saat itu hanyalah mendapat dosen penguji yang baik.
Rasa penasaran gue semakin memuncak tatkala teman gue sedang menunggu di luar ruang sidang yang akan kami isi pada pukul lima sore nanti. “Siapa pengujinya, Bil?” tanya gue, penasaran.
“Pak Wisnu—bukan nama sebenarnya—tapi ketua pengujinya belum datang.”
Gue merasa cukup antusias mendengar nama dosen tersebut, karena dosen yang akan menguji kelompok teman gue merupakan dosen yang baik dan jarang memberi nilai buruk kepada mahasiswanya.
Yang bikin gue tambah senang lagi adalah dosen tersebut akan tetap berada di ruang tersebut untuk menguji sidang sesi berikutnya. Artinya, beliau akan menjadi dosen penguji untuk kelompok gue.
Rasa cemas yang gue alami sejak jam 1 siang mulai berkurang begitu mendengar nama beliau. Setelah mendapat informasi yang cukup, gue kembali melanjutkan belajar. Kali ini dengan suasana hati yang tenang.
Waktu menunjukkan pukul 16.50 saat gue dan kelompok duduk bersila di depan ruang 414. Gue berusaha melihat ke dalam melalui celah kaca di pintu, mencari tau apa yang sedang terjadi di dalam. Tak lama, teman gue keluar dengan raut wajah senang.
“Gimana pertanyaannya tadi?”
“Biasa aja, sih. Si Kevin, tuh, paling lama. Satu jam lebih dia ditanya.” Kata Billy.
“Vin, lu tadi ditanya apa aja sama pengujinya?” tanya Afin.
“Biasa aja sih, kebanyakan dari isi skripsi. Bapaknya asik, jadi santai aja.”
Gue menghela nafas dan mengusap dada karena merasa lega mendengar review singkat dari teman gue yang sudah disidang oleh dua dosen penguji di dalam ruang 414. Obrolan tersebut harus berakhir ketika mereka dipanggil masuk oleh salah satu penguji. Artinya, tak lama lagi giliran kami yang akan dipanggil ke dalam untuk diuji.
Tak lama kemudian mereka berdua keluar dan disambut oleh kami semua yang sudah menunggu. Ucapan selamat memenuhi lorong. “Gue dapet A-, si Billy dapet B+” jawab Kevin saat ada yang menanyakan nilainya. Seketika itu juga Pak Wisnu memanggil kami untuk masuk ke dalam.
Formasi penguji untuk sesi ini masih sama seperti sebelumnya. Tidak ada pergantian posisi apalagi mengambil jeda istirahat. Sidang dimulai saat itu juga, persis setelah kami selesai menyiapkan laptop untuk menampilkan materi presentasi.
“Sebelumnya kalian sudah pernah nonton sidang?” tanya ketua penguji.
“Belum, Pak.”
“Baik, jadi aturannya begini. Presentasi dilakukan selama 7 menit, jika waktunya habis, langsung lompat pada kesimpulan. Silakan tunjuk siapa yang maju presentasi. Presentasi dapat dilakukan bergantian atau diwakilkan oleh satu orang.” Ketua penguji menjelaskan. “Sampai sini paham?”
“Paham, Pak.” Jawab kami serentak.
“Kalian sudah siap?” tanya Pak Wisnu.
“Siap.”
Sidang pun dimulai.
***
“Selamat S.Kom, Kambing.” Ujar sekelompok orang yang sudah menunggu gue di luar ruang sidang.
Gue mendatangi kelompok itu sambil berkata, “belum cuy, nilainya belum dikasih tau.”
“Udah, yakin aja lu pasti lulus.”
Gue bingung bagaimana harus merespon ucapan selamat yang datang dari para sahabat gue ini. Sehingga yang bisa gue lakukan hanyalah berdoa, berharap ketua penguji hari ini sedang berbaik hati sehingga tidak satupun dari kami bertiga yang harus sidang ulang. Tak lama, kami dipanggil masuk ke dalam ruangan. Panggilan kedua merupakan momen di mana nilai diberitahu.
“Kira-kira kalian lulus atau enggak?” tanya ketua penguji dengan wajah tersenyum.
Kami bertiga saling melihat satu sama lain. Berharap menemukan jawaban. “Tidak tau, Pak.” Jawab kami satu persatu.
“Bukan itu jawaban yang saya harapkan. Saya ingin pendapat kalian bertiga.”
“Kalau menurut kami lulus, Pak. Tapi kembali lagi, keputusan ada di bapak.”
Ketua penguji tersenyum lagi. “Biar saya beri clue. Kita akan berjumpa dua minggu lagi.”
DEG. Jantung gue berdegub kencang mendengarnya. “Kita akan berjumpa dua minggu lagi”, terakhir kali gue mendengar kalimat tersebut, salah dua teman gue harus ikut sidang ulang atau dengan kata lain gagal. Kaki gue bertambah lemas. Tidak sanggup berdiri lebih lama lagi. Bahkan rasanya seperti mau pingsan.
“Lulus, Pak.” Afin menjawab.
“Kamu?” ketua penguji bertanya ke gue.
“Nggak tau, pak.”
“Kalau kamu?” ketua penguji bertanya kepada Feny.
“Nggak tau juga, pak.”
“Baiklah, dapat saya informasikan bahwa kalian bertiga… dinyatakan lulus.”
Kami bertiga menghela nafas panjang. Merasa cukup puas karena lulus dengan nilai yang lumayan. Namun kegembiraan kami harus terhenti sejenak ketika penguji mengatakan “Tapi, ada revisi. Tolong dikerjakan, ya.”
Phase 3: Revisi
Selesai sidang, masuklah fase revisi di mana kami harus melakukan perbaikan sesuai catatan notulen sidang. Untuk revisi sendiri kami hanya diberi waktu untuk bekerja sebanyak 12 hari dan tanpa ada tawar-menawar. Tak peduli sebanyak apapun revisinya.
Ketika notulen sidang keluar, kami bertiga langsung membagi tugas sesuai dengan catatan notulen. Setiap ada waktu luang, selalu gue pergunakan untuk mencicil revisian. Beruntung gue sudah selesai magang sehingga gue punya lebih banyak waktu luang.
Selain revisi, di waktu yang sama gue juga harus menyiapkan laporan magang. Yang mana laporan tersebut akan di konversi menjadi nilai untuk semester ini. Deadlinenya sendiri sama seperti batas pengumpulan revisi skripsi, yaitu sama-sama tanggal 28 Februari. Di sinilah, decision making skill gue dilatih.
Dalam situasi ini gue tidak langsung membuat keputusan begitu saja. Ada beberapa hal yang patut gue pertimbangkan untuk membuat keputusan yang tepat. Salah satunya yaitu efisiensi waktu.
Untuk menyiasatinya, gue harus membagi waktu antara mengerjakan revisi dan laporan magang. Ketika gue sudah mulai bosan mengerjakan revisi, kemudian gue akan beralih mengerjakan laporan magang. Pada saat gue bosan mengerjakan laporan magang, maka gue beralih mengerjakan revisi atau sekadar mengambil istirahat sejenak. Dan begitu terus hingga salah duanya selesai.
Oh sial, pikir gue saat mengetahui bahwa working paper harus dikerjakan dan dikumpul bersamaan dengan revisi skripsi. Gue baru saja mendapat informasi tersebut ketika salah satu teman membahasnya di grup. Sementara itu deadline tinggal beberapa hari lagi dan revisi belum juga rampung. Mau tidak mau gue harus mengorbankan waktu istirahat demi meningkatkan kecepatan.
Beres mengerjakan laporan magang, gue langsung menyicil working paper.
Tanggal yang dinanti telah tiba. Laporan magang, working paper dan, revisi skripsi kami sudah selesai dan siap untuk dikumpulkan. Pagi itu, gue izin mengurus laporan magang dan berjanji akan menyusul mereka ketika laporan magang gue telah dikumpul. Untungnya, dua orang teman gue ini sudah lebih mengumpulkan laporan magang sehingga kami tidak saling rebutan.
Ketika gue sedang menunggu giliran untuk mengumpulkan laporan magang, Afin dan Feny bersiap ke kampus untuk mengumpulkan hasil revisi skripsi.
“Menurut panduan di sini, surat pernyataannya hanya bisa satu lembar saja.”
“Tapi mbak, punya teman-teman kami diterima kok walaupun dua lembar.”
“Nggak bisa, karena panduannya seperti ini.” Si petugas menunjukkan panduan yang dia lihat.
“Jadi gimana?” tanya gue saat Afin berusaha membujuk petugas Student Services agar mau menerima surat pernyataan publikasi kami.
“Nggak bisa. Kita harus hubungi bapaknya buat minta tanda tangan baru.”
Tak ingin berdebat lebih jauh, kami bertiga sepakat menghubungi dosen pembimbing untuk minta tanda tangan baru. Send. Pesan terkirim lengkap dengan kronologinya.
Sambil menunggu jawaban, kami bertiga berunding untuk membersiapkan diri apabila menghadapi kemungkinan terburuk. Seperti perlu tidaknya menyusul ke kampus Alam Sutera, Bekasi atau ke rumah dosen pembimbing kami. Dari perundingan tersebut kami bertiga sepakat untuk menghampiri di mana pun posisi dosen pembimbing kami.
Tidak lama pesan kami di balas. “Waduh, saya udah di jalan menuju Alam Sutera. Masa iya nggak boleh?”
“Iya pak, petugasnya nggak mau terima sehingga kami harus print dan minta tanda tangan bapak lagi.” Balas gue. “Kalau kami bertiga nyusul ke Alam Sutera apakah boleh, pak?”
Pesan terakhir yang gue kirim belum juga dibalas. Dalam situasi yang amat mendesak itu, mau tidak mau kami bertiga mengambil langkah nekat, yaitu menyusul. Selepas makan siang, kami bertiga bergegas menuju Binus Alam Sutera. Sepanjang perjalanan, pandangan kami bertiga tidak bisa lepas dari layar handphone karena menunggu kabar. Berharap beliau masih mengajar di kampus dan belum pulang ke rumah.
Setelah keluar dari jalur tol kami menerima pesan masuk. Benar saja, ternyata pesan tersebut dari beliau. Dengan sigap Afin menggunakan handphone Feny untuk membalas pesan sementara Feny tidak bisa berbuat apa-apa karena sedang menyetir.
“Oh, kalian sudah di Alam Sutera?” tanya beliau.
“Iya pak, sudah. Kami mohon, pak. Kami janji, waktunya cuma 10 menit saja, pak.”
“Boleh, deh. Saya tunggu di lobby, ya.”
Gue dan Afin berselebrasi karena senang berhasil membujuk dosen pembimbing sebelum akhirnya membalas. “Baik, terima kasih, pak.”
***
Perjalanan dari Alam Sutera menuju Kemanggisan rupanya tidak seburuk perjalanan kami sebelumnya. Sepanjang jalan kami melihat tidak ada truk atau mobil-mobil besar yang mengganggu sehingga kami dapat melesat dengan cepat di jalan tol yang tidak begitu ramai. Perjalanan pulang terasa lancar tanpa hambatan suatu apapun.
Yang kami harapkan saat ini hanyalah mendapat petugas yang baik dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil.
Setibanya di kampus kami langsung mengambil nomor antrean dan menunggu seperti yang lainnya. Setelah menghabiskan satu jam untuk menunggu, tibalah giliran kami untuk dilayani. Gue langsung menyerahkan hardcover skripsi beserta dokumen pendukung. Dokumen diterima, petugas mengecek kelengkapan dokumen yang kami lampirkan.
“Baik, ukuran toga kalian apa?” tanya si petugas yang melayani kami.
“Semuanya ukuran S, bu.” Jawab Afin.
“Yakin, ya?” petugas memastikan.
Kami bertiga mengangguk.
“Coba cek email.”
Kami kompak mengecek email masing-masing dan benar saja, kami menerima email berisi surat bukti bahwa hardcover skripsi sudah diterima oleh Student Services. Saat itu juga gue merasa senang karena usaha kami selama ini telah terbayar lunas dan dibuktikan lewat surat bukti tanda terima dari Student Services.
“Habis ini kalian mau ke mana?” tanya gue.
“Gue mau pulang, ke Bali.” jawab Afin. “Menjalankan usaha di sana, dan mungkin tidak akan kembali ke Jakarta.” Afin melanjutkan.
“Lu?” mata gue tertuju ke Feny.
“Liburan, Jak. Lu gimana?”
“Gue mau pulang kampung dulu, liburan gitu. Tiketnya juga udah siap.”
Hari-hari berikutnya sampai dengan saat postingan ini terbit, gue sedang menikmati waktu tenang di rumah. Menunggu keluarnya jadwal wisuda dan berakhirnya status darurat bencana wabah penyakit yang saat ini sedang melanda seluruh negeri.
Itulah yang sebenarnya terjadi selama beberapa bulan ini ketika gue mengambil langkah untuk fokus kepada skripsi dan kerja. Bagaimana denganmu? Adakah hal luar biasa yang sudah atau akan kamu lakukan setelah ini? Cerita, yuk!
e-mail: [email protected]
setiap anak kuliahan apsti mengalami yang di atas ya, perjuangan
Perjuangan banget ya. Btw, klo saya malah kebimbangan soal KKN tahun ini, belum ada kepastian yg jelas mengenai pelaksanaan KKN. Oiya, salam kenal.