Pernah enggak sih, kalian para lelaki berada di posisi di mana kalian merasa gagal sebagai seorang laki-laki? Gue pernah, dan kejadian ini baru saja terjadi beberapa waktu lalu, tempatnya senin kemarin. Tapi karena gue udah terlanjur janji, jadi gue enggak bisa menceritakannya sampai sedetail mungkin sebab ini adalah rahasia yang hanya diketahui oleh kami berdua.
Sebenarnya gue enggak mau dan enggak enak menceritakan hal ini di blog. Tapi entah kenapa, gue merasa seperti mendapat dorongan batin yang cukup kuat supaya menceritakannya di sini. Karena dorongan itu, gue berencana untuk memposting cerita ini tanpa sepengetahuan dia. Bahkan awalnya doi sendiri pun enggak tau kalau gue mau nyeritain pengalaman dia di blog gue ini.
Tapi karena gue enggak mau mengkhianati kepercayaan yang telah dia beri, akhirnya rencana itu gue batalkan dan gue berbalik meminta izin terlebih dahulu apakah cerita ini boleh gue share di blog dengan tujuan edukasi. Katanya, boleh banget. Sampai sini jelas, ya, kalau gue udah mendapat izin dari orang yang punya pengalaman ini. Memang gue enggak terlibat secara langsung, tapi gue punya peran penting di dalam cerita ini. Jadi tolong baca sampai selesai biar kalian tahu sepenuhnya cerita ini.
Ini bakal menjadi cerita yang amat sangat panjang dibanding tulisan-tulisan yang pernah gue posting di blog ini. Jadi siapkan snack dan kopi biar lebih asik. Oya, biar bacanya lebih enak, nama-nama tokoh di dalam cerita ini ada yang sengaja gue samarkan dan ada juga yang pakai nama asli. Nama yang akan gue samarkan ada dua orang. Doi gue ganti menjadi Bunga, dan satu orangnya lagi akan gue kasih tau nanti. Sudah siap dengan ceritanya? Oke, begini ceritanya.
20 Agustus, 2018.
Suatu pagi di tanggal 20 Agustus, Bunga ngeWhatsapp gue. Dari pesan yang dia kirim, gue bisa merasakan bahwasannya dia lagi seneng. Karena penasaran gue bertanya, “kenapa sih? Senang banget kayaknya.”
“Iya, Za. Gue lagi seneng. Tapi ceritanya nanti aja kalau orangnya udah bales.” terangnya. “Bukan chat cowok, kok,”
“Maksudnya bukan ngedeketin cowo.” Cepat-cepat dia membetulkan. Lalu kami berdua ngobrol seperti biasanya. Karena obrolannya enggak berkaitan dengan cerita ini, mari kita lewatkan saja karena enggak penting banget dan hanya akan buang-buang waktu.
Dua jam kemudian, Bunga mengirim sebuah gambar berisi percakapan antara dia dengan seorang pria berumur 40an tahun yang menjadi pemicu dari cerita ini. Pria tersebut gue beri nama Dimas.
Dimas ini sedang bekerja untuk sebuah film yang namanya enggak bisa gue sebutkan. Inti dari percakapan tersebut adalah, Bunga akan main film. Hari demi hari berlalu. Bunga selalu mengabari gue tentang bagaimana perkembangan dari kerjasama yang baru saja dia dapatkan. Main film cuy. Gue bangga sama dia.
Pada suatu hari gue bertanya, sekadar mengkonfirmasi, siapa saja yang tau soal ini. Dia bilang, baru gue doang yang tahu. Sahabat bahkan kedua orangtuanya sama sekali enggak tau akan hal ini. Dia bilang, dia baru akan cerita ke orangtua dan para sahabatnya kalau sudah selesai syuting pertama. Dan dari sinilah janji itu dibuat. Gue bilang, “baiklah, gue enggak akan mendahului sebelum lu sendiri yang ngasih izin.”
24 Agustus, 2018.
Lalu pada hari jumat, Dimas langsung mengabari dia tepat setelah lebaran haji. Dimas bertanya, Bunga lagi apa dan kapan bisa bertemu. Pada tahap ini, gue pikir mungkin Dimas ingin bertemu Bunga untuk sekadar ngebriefing soal aturan dan hal-hal yang berkaitan dengan film tersebut.
Waktu itu gue ingin menyarankan ketemuannya di tempat yang ramai dan dekat dengan rumahnya Bunga. Misalnya kayak Puri atau Mall Taman Anggrek. Tapi dia (Bunga) udah terlanjur minta di tempat yang sebenarnya cukup jauh untuk sekadar meeting kecil. Lokasinya sendiri yaitu di daerah Jakarta Utara sana.
Karena Bunga sudah terlanjur minta di sana, dan berhubung Dimas sudah menyetujui, otomatis gue enggak boleh ikut campur gitu aja dalam persoalan ini. Sebab Bunga dan Dimas sudah mencapai kata sepakat soal lokasinya.
Berhubung tempatnya lumayan jauh, maka gue memikirkan bagaimana caranya supaya dia tetap aman. Baik di lokasi maupun saat mau pulang menuju rumah, sesudah pertemuan itu. Gue terus memikirkan siapa yang bisa dimintai pertolongan untuk menjaga dan mengawasinya selama dan sesudah pertemuan.
Berbagai nama muncul. Gue mengambil beberapa nama yang kiranya bisa dimintai pertolongan. “Yah, jangan. Kan ini masih rahasia,” katanya ketika gue menyarankan untuk ditemani oleh salah satu sahabatnya. Gue terkesiap. Lupa kalau ini masih menjadi rahasia. Kemudian gue memikirkan nama lain. Dan saat itu muncul satu orang yang kira-kira bisa dimintai pertolongan.
“Kan tempatnya jauh tuh, besok minta temenin sama si Mba aja.” Gue menyarankan. Sebenarnya gue sangat ingin menemani dia untuk bertemu dengan Dimas. Tapi masalahnya adalah gue enggak bisa karena besok gue ada urusan. LAGIPULA KENAPA SIH KETEMUANNYA HARUS DI SAAT GUE LAGI ADA URUSAN PENTING?! APA ENGGAK BISA HARI-HARI LAIN?!
“Hahaha… engga usah. Lagian cuma ketemuan doang. Dan gue juga udah biasa ke sana, kok.” Dia membalas. “Toh, Dimas juga bilang kalau gue boleh izin cabut duluan.”
Pikiran gue masih enggak bisa tenang. Bunga udah mencoba untuk meminta supaya pertemuannya diundur jadi hari Senin. Tapi, entah kenapa Dimas kesannya terlalu memaksa supaya ketemuannya besok, di hari Sabtu. Padahal hari Sabtu itu sedang ada acara di rumahnya Bunga. Acara keluarga. Kenapa harus hari itu juga, sih? Apa enggak ada hari lain? Pikir gue. “Doain gue ya, Za” kata Bunga.
Gue membalas, “selalu, kok. :)”
“Besok standby di WA terus ya, Za!” Dia memohon. Gue tertawa ketika dia ngomong begitu. Tanpa perlu diminta, gue selalu siap untuk mencurahkan segala waktu dan tenaga yang gue punya untuk dia.
Baca Juga: Keluar dari Zona Nyaman
Yang Bunga bilang ada benarnya. Lagipula, janjiannya pagi, kok. Masih terbilang aman untuk bepergian seorang diri. “Yaudah, tapi tetap kabarin gue, ya? Kalau ada yang aneh-aneh, langsung cabut aja.” Kali ini gue mencoba untuk tidak terlalu memaksa karena ini cuma ketemuan doang. “Bila perlu, bawa alat perlindungan diri. Kayak semprotan cabai, misalnya.”
Di seberang sana dia tertawa membaca setiap kalimat yang gue kirimkan. Di sini gue khawatir dan ketakutan. Ya takut mikirin kalau dia sampai kenapa-napa.
Keesokan harinya gue sengaja bangun lebih pagi dari biasanya. Gue bangun jam 7 pagi dan melihat last seen dari WhatsAppnya dia jam 06.59 pagi. Pada saat itu gue berpikir, mungkin dia udah berangkat ke Jakarta Utara sana.
Gue mengirim pesan. Bertanya, apakah dia sudah sampai atau belum. Tapi pesan itu tak berbalas. ‘Ah, mungkin dia enggak sempat cek hape karena lagi diinterview’, gue berusaha untuk berpikir positif.
Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Bunga masih belum membalas pesan. Last seennya masih sama seperti sebelumnya yaitu jam 06.59 pagi. Gue mengirim pesan lagi. “Kalau sekarang pasti udah nyampe. Good luck ya!”
Lalu tak lama muncul notifikasi. Gue langsung membuka pesan tersebut karena gue tau itu pesan dari Bunga. “Gue di rumah. HAHAHAHA,” balasnya. “Gue enggak yakin aja kalau ketemuannya hari ini. Soalnya sore ini kan ada acara di rumah. Takutnya pas pulang nanti terburu-buru gitu.”
“Gue pikir hari ini lu jadi ketemuan sama si Dimas. Soalnya tadi gue lihat last seennya jam 06.59”
“Hahaha… Iya itu gue udah bangun. Terus tidur lagi”
KAMPREEET. Gue agak kesel membacanya. Keselnya bukan karena merasa sia-sia udah bangun pagi. Lebih tepatnya karena dia berhasil bikin gue khawatir. Tapi gue bersyukur karena Sabtu itu dia enggak jadi ketemuan sama Dimas. Dari percakapan itu gue jadi tau bahwa ketemuannya diundur jadi hari senin.
Lagi-lagi janjiannya di hari yang gue enggak bisa datang buat ngejagain dia. Tapi gue bisa sedikit tenang karena Bunga setuju mengikuti ide gue. Hal yang cukup sulit di dunia ini adalah bagaimana meyakinkan seorang perempuan supaya dia mau mengikuti ide kita. Setelah beberapa kali dibujuk dan diyakinkan, akhirnya dia mau menuruti gue. “Oke, nanti gue coba minta tolong temenin sama si Mba.”
Hari minggu pun tiba. Si Mba sudah tau dan mau nemenin Bunga untuk ketemuan sama Dimas hari senin nanti. Gue semakin lega mendengar kabar baik seperti ini. Ya, walaupun gue enggak bisa datang, setidaknya ada yang jagain dia gitu. Jadi pergi sama pulangnya enggak sendirian.
Malamnya dia mengabari gue kalau besok itu janjiannya jam 10.30 pagi. Lagi-lagi sama seperti sebelumnya, dia (Bunga) memohon supaya gue selalu standby di WhatsApp. Gue menyanggupi karena cuma itu yang bisa gue lakukan.
Permintaan dari Dimas pun masih sama, yaitu supaya Bunga datang dengan berpenampilan modis serta membawa dress dan heels. Oya, katanya hari itu langsung syuting.
Senin, 27 Agustus 2018.
Ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu. Gue sengaja bangun lebih awal supaya bisa memastikan apa saja yang sudah dia persiapkan. “Duh, gue berangkat jam berapa, ya?” tanyanya. Gue menimbang-nimbang.
Jarak dari rumah dia ke Jakarta Utara sebenarnya cukup jauh. Dalam perjanjian tersebut, Dimas meminta supaya dia datang jam 10.30 pagi. Dimas juga bilang, kalau sudah sampai, langsung kasih tahu supaya nanti bisa dijemput dan dibawa langsung ke lokasi syuting. “Sekiranya aja. Kalau lu takut telat, mending datang lebih awal biar enggak kena marah,” balas gue.
“Nanti jam 08.50 gue jalan.” Kata Bunga. Gue membuka Google Maps untuk memprediksi berapa lama waktu yang akan dia tempuh dari rumah menuju ke lokasi syuting yang ada di daerah Jakarta Utara.
“Kecepetan enggak, sih? Kan janjiannya jam 10.30. Mending lu sarapan dulu, deh, biar pas nyampe di sana nanti enggak kelaperan.” Gue mengingatkan.
“Iyaa… habis ini gue makan. Ini gue lagi makeup dulu,” balasnya. Lalu tak lama kemudian dia mengirim foto, menunjukkan bahwa dia sudah selesai makeup dan sudah berpenampilan modis. Dengan makeupnya itu gue yakin dia enggak perlu kena sentuhan dari makeup artist yang ada di sana. Kalaupun butuh, paling-paling hanya untuk di touch up doang. Gue bisa seyakin itu karena dia memang sudah terlihat cantik dan modis.
Setelah semua persiapan selesai, akhirnya dia berangkat dari rumah sekitar jam 09.20 dan sampai di lokasi jam 09.57. ANJIR CEPAT JUGA! CUMA SETENGAH JAM DOANG! Komentar gue, saat tau dia sudah sampai di lokasi. “Kalau tau bakal secepat itu, mending tadi lu berangkatnya agak telatan aja.” kata gue.
Dan dari percakapan itu, dia cerita, kalau Dimas belum membalas pesannya. Gue jadi kesal, karena dia terpaksa harus menunggu sendirian di sana. Ini kalau gue lagi kosong, gue mau nih berangkat nyusulin ke sana. Menemani supaya dia enggak sendirian di tempat itu. Tapi apa daya karena gue juga udah terlanjur bikin janji sama temen gue buat belajar statistik untuk quiz besok.
Ingin rasanya gue membuat sebuah kejutan dengan menyusul ke sana tanpa sepengetahuan dia. Ingin rasanya gue menemani dia lewat telpon, tapi gue takut kalau nanti malah keasikan ngobrol dan lupa waktu; menyebabkan dia kena marah karena dianggap enggak tepat waktu.
Akhirnya kami cuma ngobrol lewat chat di WhatsApp. Supaya dia enggak ketinggalan kabar dari Dimas.
Waktu sudah menunjukkan pukul 11.39 dan masih belum ada kabar Dimas. Gue mulai merasa ada yang aneh. Sebenarnya bukan baru-baru ini sih, tapi udah lama. Terlalu banyak hal ganjil yang gue temukan dari ceritanya dia tentang Dimas. Iya, saking banyaknya, sebelum dia berangkat, gue udah menyimpan nomor Kantor Polisi terdekat. Ya, takutnya kalau sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan?
Lalu Bunga bilang, kalau dia akan menunggu sampai setengah satu siang. Karena dia udah terlalu lama nunggu di kafe itu, dia bilang mau jalan-jalan aja biar enggak bosan menunggu di sana. Gue setuju dengan ide itu. “Eh, kalau nanti gue diajak lagi, lu mau enggak nemenin gue?” tanyanya.
Dengan perasaan senang gue membalas pesan itu, “Mau banget!” kata gue.
Tak lama kemudian Dimas mengabari Bunga. Memberitahu bahwa ia sedang membeli makan. Saat itu gue masih mencoba untuk berpikir positif. Kalau dia aja bisa pikir positif, kenapa gue enggak? Pikir gue. Satu jam berlalu. Dan di sinilah hal tidak mengenakan itu terjadi.
Firasat gue mulai enggak enak. Tak lama kemudian dia mengabari gue. “Za, gue takut.”
“Lu di mana?” tanya gue, khawatir.
“Nanti gue videoin, deh.” Balasnya. Dan begitulah seterusnya tiap kali gue bertanya dia lagi di mana dan seperti apa situasinya saat itu. Tak ada jawaban dan penjelasan darinya membuat gue semakin khawatir. Pikiran pun enggak tenang.
Saat itu rasanya gue ingin menelpon ke kantor polisi saja. Tapi gue enggak bisa karena belum ada 24 jam dan dia belum ceritain detailnya kayak gimana.
Lebay? Drama? Persetan dengan itu semua. Ini bukan drama dan gue enggak lebay. Bukankah hal yang wajar kalau kita merasa khawatir jika hal buruk sampai menimpa orang yang kita cintai? Bukankah wajar jika kita merasa takut kehilangan orang yang kita sayangi? Gue rasa semua orang pun bakal begitu kalau ada di posisi gue.
Kalau dia sampai kenapa-napa, gimana caranya gue menghadap dan ngomong ke orangtuanya? Gue enggak bisa gitu aja duduk di kantor polisi sambil ngomong, ‘om, tante, Bunga hilang’, ke orangtuanya. Jangankan ngomong, bahkan untuk menghadap dan bertatap muka sekalipun gue enggak berani karena gue telah kehilangan muka; sebab gagal menjaga dan memastikan keselamatan anak perempuannya.
Maksudnya gini. Gue tau dia mau pergi, gue tau ada hal yang aneh, ya masa gue enggak melarang atau mencegah supaya dia enggak jadi pergi ke tempat itu. Kan logikanya begitu, ya.
Karena belum ada kejelasan, gue memutuskan untuk buang hajat. Iya, entah kenapa di saat-saat genting kayak gini gue malah kebelet pengen boker. Mau boker sambil bawa hape tapi gue takut kalau nanti hape gue jatuh ke lubang dan menyatu bersama para tai. Akhirnya gue memutuskan supaya enggak bawa hape sama sekali. Tapi sebelum gue pergi ke toilet, gue sempat mengirim pesan dulu ke dia: lu bukan lagi di tempat sepi, kan?
Saat lagi boker pun pikiran gue enggak tenang. Gue terus menerus memikirkannya. Dia lagi di mana sekarang, sedang apa, gimana keadaannya, dan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Selesai boker, gue buru-buru ngecek hape. Ada pesan masuk dari dia.
Gue membuka pesan itu sambil baca bismillah. Sambil berharap yang datang adalah kabar baik, bukan kabar buruk. Dan… jeng jeng jeng. Ternyata dia enggak kenapa-napa. Syukurlah. Sekarang gue bisa sedikit tenang. Gaya bicaranya pun khas dia banget. “Sekarang di tempat rame.” Balasnya.
“Lu tadi kenapa?” tanya gue, dengan nada sangat-sangat penasaran apa yang sedang terjadi di seberang sana.
“Nanti gue ceritain. Sekarang gue lagi di tempat syuting, enggak bisa bikin video.”
Karena dia bilang begitu, gue menuruti aja. Lalu setengah jam kemudian, dia mengirim video ke gue. Dalam video tersebut, dia cerita soal apa yang dia alami, apa yang membuat dia takut dan enggak bisa cerita ketika gue bertanya.
Pertanyaan gue terjawab. Ternyata benar, ada yang enggak beres. Ia cerita, kalau dia disuruh masuk ke dalam mobilnya Dimas. Di dalam mobil itu, sudah ada dua orang cowo (termasuk Dimas) dan satu orang cewek.
Bunga juga cerita, saat dia ingin masuk mobil, matanya menangkap Dimas sedang nonton bokep—WTF?! Saat dia sudah di dalam mobil pun Dimas sama sekali enggak menyalakan AC, kaca jendela juga ditutup yang membuat mobil menjadi panas. Pokoknya terlalu banyak hal buruk yang membuat dia merasa kurang nyaman dan takut saat itu.
Dari suaranya, gue bisa menangkap bahwa dia benar-benar sedang ketakutan. Iya, ini bukan drama. Ini benar-benar terjadi. Karena nada suaranya seperti ketakutan, gue langsung bales, “cabut, pergi dari tempat itu sekarang juga!”
Iya, enggak ada cara lain lagi selain kabur dari sana. Karena kalau dilanjutkan, nanti semakin banyak hal aneh yang bikin dia makin ketakutan, makin trauma. Dan disitulah gue merasa gagal sebagai seorang laki. Gue gagal membuat dia merasa aman. Gue gagal melindungi dia. Dan, gue gagal menjaga dia. Untungnya dia bisa kabur dari sana. Nah, pas dia mau kabur, sempat terjadi drama. Dia harus narik uang di ATM untuk bayar transportasi, sempat tertangkap—ketahuan—oleh orang-orang yang ada di dalam mobil. Saat itu gue langsung bilang, “gue isi saldo OVO lu aja, ya, biar lu enggak usah narik uang di ATM lagi.”
“Bener nih gapapa?” tanyanya.
“Iya, gapapa. Tapi yang jelas, lu menjauh dulu dari tempat itu.” Kata gue. Akhirnya ada sebuah taksi yang kebetulan melintas di tempat itu. Dia masuk ke dalam taksi itu dan menjauh dari lokasi syuting. Gue bisa bernafas lega karena dia berhasil menjauh dari tempat itu. Setelah melewati berbagai macam drama, akhirnya dia pulang dengan selamat sampai ke rumah.
Buat Pak Herman supir taksi, terima kasih karena sudah membantu dia kabur dari tempat tersebut. Terima kasih juga karena sudah nganterin dia dengan selamat sampai ke rumah.
Dari kejadian ini gue belajar sekaligus ingin mengingatkan kepada para pembaca, khususnya perempuan supaya jangan bepergian seorang diri. Apalagi bertemu dengan orang yang belum dikenal di tempat yang cukup asing. Untuk para lelaki, lindungi lah orang yang kamu sayangi. Jagalah ia dengan sebaik mungkin. Sebagaimana kamu menyanyangi orangtua dan dirimu sendiri.
Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca. Gue harap, semoga keluarga dan orang-orang yang kita cintai selalu dalam perlindungan Allah SWT dan dijauhkan dari segala hal buruk yang mengintai. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran berharga dari cerita ini.
:)
Ada banyak pertanyaan. Siapa Bunga? Cewek yang suka bola itu? Kenapa nggak laporin ke polisi aja? Kalau ada bukti sih laporin aja. Apa ini fiksi? Gue kesulitan nebak ini kisah nyata atau fiksi. Tapi kalau fiksi, tiga pertanyaan pertama lupain aja. Kalaupun nyata, nggak dijawab juga nggak apa-apa. Identitas Bunga kan emang harus rahasia demi keamanan dia.
Di luar ini fiksi atau nyata, gue jadi belajar banyak hal dari tulisan ini. Menurut gue, lo nggak gagal. Lo udah berusaha sebaik mungkin yang lo bisa. Gagal itu kalau lo udah nyerah sama keadaan. Selama lo masih mau bertindak, gue yakin Bunga juga masih berterima kasih sama lo.
Satu hal yang gue salut, lo kalau sayang sama orang bisa segila ini ya? Gokil, men. Lo keren. :)
Yap, betul, dia lah cewek yang gue maksud. Soal barang bukti, dia enggak punya cukup bukti. Kalau ada, mungkin udah gue laporin.
Enggak, ini bukan cerita fiksi. Kan diawal udah gue ingetin, kalau gue udah minta izin sama si Bunga. Itu artinya, ini kisah nyata. Real. Emang kelihatan kayak cerita fiksi, ya? HAHAHAHA. Walaupun lu bilang begitu, gue tetep ngerasa gagal, Gip, karena ngebiarin dia gitu aja. Maksudnya, gue enggak ngelindungi langsung gitu, lho, yang menyebabkan dia menanggung semuanya sendiri. Ya kaburnya lah, ya pengalaman buruknya lah. Dll. Coba kalau gue ada di situ, kan bisa ditanggung bersama-sama. Jadi dia menanggung semuanya sendiri. :’)
Iya. Gue memang gini kalau udah sayang. Suka khawatiran, suka timbul firasat kalau dia lagi kenapa-napa. Bahkan saat lagi senang sekalipun. Kan tadi ada gue sebutin di dalam cerita itu, dimana gue merasa enggak tenang. Btw makasih ya, Gip. :)
Nope. Gue kesulitan nebak antara fiksi dan kisah nyata karena masih kaget soal fake agent itu. Mungkin karena gue juga baru denger modus kayak gini. Ngeri sih. Merinding sendiri ketika baca dan ngebayangin Bunga adalah pacar gue. Dan ya, ketika ngebayangin Bunga adalah pacar gue, tentunya gue pun gereget parah kayak lo. Gereget sama sikon yang kurang mendukung.
Untung Bunga nggak kenapa-napa ya. Jagain aja, men, kasus kayak gini pasti ninggalin trauma buat dia. Yah, setidaknya, di sinilah lo bisa mencegah “kegagalan” lagi. Semoga dia selalu dalam perlindungan Tuhan ya! Aamiin.
Syuting buat film apaan emangnya? Apakah film layar lebar? TV? Atau, buat di Youtube gitu kali, ya?
Terlepas dari buat film apa, gue dari dulu pun sering curiga sama yang ada di cerita lu. Dari zaman gue bocah, kan udah banyak casting-casting ngaco dan ada yang nakal gitu. Mesti ada pendamping sebetulnya ketika cemas takut ada hal-hal buruk. Tapi intinya, sih, ketika dari awal udah ragu dan merasa kagak beres, mendingan tawarannya jangan diambil. Kata hati, kan, sering bener begitu. Apalagi kalau yang intuisinya tajem~
Gue rasa hal kayak gitu bukan gagal sebagai lelaki sih, Za. Kenapa merasa gagal? Lu juga udah berusaha menemani dia, meski sebatas chatting. Menyarankan buat kabur aja. Terus, walaupun gue tahu laki-laki pengin bisa melindungi perempuannya, tapi gue percaya perempuan pun bisa menjaga dirinya sendiri. :)
Bukan buat Youtube, bang. Yang pasti untuk film gitu.
Iya. Memang seharusnya perlu didampingi. Apalagi kalau cewek, kan. Sebetulnya gue pengen nyuruh dia buat tolak tawaran itu sedari awal. Tapi gue enggak mau ngerusak kesenangan dia gitu aja. Apalagi dari kecil dia memang bermimpi ingin jadi bintang film. Makanya, waktu awal-awal dia cerita itu, gue lebih pilih diem. Bahkan ngedukung keinginannya itu. Sekaligus ngelihat, orang yang nawarin kerja sama itu bener-bener orang baik apa bukan. Ternyata intuisi gue bener kalau orang itu enggak beres.
Hm, bener juga, sih. Tapi ya gue bersyukur banget dia enggak kenapa-napa. :)
Bener jga sih, harusnya teliti dulu soal film apanya, yang sutradara-in siapa dan lain-lainnya..
tapi mungkin karna saking senengnya, dia gak bilang sama yang lain, ya ada untungnya juga bilang ke Reza. hmmm.. :’)
Buset insecure banget sampai last seen di WhatsApp aja hafal.
Tadinya gue mikir terus lo sibuk apa sampai nggak bisa nemenin Bunga tapi bisa on di WhatsApp terus. Untung kejawab di paragraf berikutnya. But, still, apa gunanya juga kerja kelompok kalo elonya sibuk sama Bunga. Kalau gue sih milih nemenin Bunga sekalian kalau memang lokasinya kejangkau.
Tapi syukur deh Bunga nggak kenapa-kenapa. Lain kali temenin, sebagai bentuk tanggung jawab.
Bukan hafal, tapi memang kelihatan. Hahaha.
Bukan kerja kelompok, kok. Tapi belajar untuk quiz gitu. Gue juga udah izin sama temen yang ngajarin statistik kalau gue mungkin lebih banyak ngelihat hape dan temen gue bilang gapapa. Walaupun sambil lihat hape, tapi gue tetep bisa fokus kok sama materi yang temen gue sampaikan. Lagipula, gue on di WhatsAppnya setiap ada notifikasi aja. Kalau lagi enggak ada notifikasi dari dia, ya, gue fokus belajar lagi. Hahaha.
Iya, Man. Lain kali gue pasti temenin kok sebagai bentuk tanggung jawab. Ini kebetulan timingnya belum pas aja :’)
Bacanya ikut deg deg an Za… Makin sereem ya skr ini :(.. Banyak banget modus2 aneh yg gampang mengecoh anak2 skr. Aku kepikirannya ama anak2ku nanti soalnyaa.. Moga2 mereka mau setidaknya cerita ke aku sbg ortunya kalo seandainya dpt tawaran2 begitu.
Iya mba. Serem banget kalau sekarang. Terlalu banyak modus aneh yang bisa mengecoh anak-anak zaman sekarang. :( Tapi aku bersyukur banget dia selalu cerita dan terbuka soal ini ke aku. Jadi aku bisa memastikan keamanan dan keselamatannya (walaupun aku enggak ada di depan saat itu). Aamiin… semoga anak-anak mba nantinya mau cerita setiap hal yang mereka alami. Di sekolah, mau pun di luar sekolah (lepas dari pengawasan)! :)
ceritanya persis seperti perekrutan artis2 bodong dengan hasil akhir dinodai gitu. tadi saya sempet mikir hal yg paling buruk terjadi ke bunga, tp syukurlah bunga baik2 aja.
sebaiknya memang wajib bersikap awas untuk hal2 yg kayak gini…semoga jadi pelajaran buar org yg mau terjun ke perfiliman
ini si Mba ini akhirnya ga bisa nemenin bunga ya?
gue kalo kayak gini, bakalan gue tinggal urusan gue sih. daripada enggak bisa fokus terus akhirnya kepikiran. hahaha
gue seumur-umur belom pernah sampai segininya sih sama orang lain. ya emang belom saatnya aja kali ya.
tapi lu sekhawatir itu ya sama orang yang lu sayangin gitu. gokil sih. keren cuy!!
besok” si bunga diajarin muaythai aja, za. biar senggaknya bisa nendang kepala si orang jadi-jadian gini. kayaknya kalo di jakarta tuh, hawa nya bisa bikin manusia terus”an negatif thinking gitu ya. hahaha. karena emang banyak cerita aneh sih
cepet” kawinin cewek lu bang, pacaran tuh kagak boleh, gua bukan ustadz, dibilang soleh juga kagak, cuman mao ngingetin :v btw web nya keren
Waduh, enggak segampang itu. Banyak yg mesti dipertimbangin. :)
Makasih :)