Awal Januari kemarin gue mendapatkan sebuah pengalaman baru dan kali ini gue ingin membagi pengalaman tersebut kepada kalian yang sedang membaca blog ini. Tulisan kali ini sengaja gue beri judul Supermarket dan Kuliner karena pengalaman ini berkaitan dengan dua kata tersebut. Jadi, begini ceritanya…
Pagi itu gue sedang mengumpulkan segenap tenaga setelah lelah duduk menghadap layar laptop selama 3 jam. Gue berusaha meraih hape yang letaknya tak jauh dari kasur untuk melirik waktu yang terpampang di layar hape.
Melihat ada pesan masuk, gue langsung membuka dan membaca pesan tersebut. Pesan itu berbunyi, “Za, lu mau belanja, kan?”
Bagi gue, itu adalah pertanyaan yang tidak butuh waktu untuk berpikir karena gue sudah punya jawabannya. “iya,” balas gue.
“Mau ikut kami ke supermarket korea, enggak?”
“Boleh, di mana tuh tempatnya?” tanya gue.
“Jaksel,” balas Rico.
Membaca kata Jaksel, gue langsung membayangkan sebuah supermarket besar yang baru saja buka pada penghujung tahun 2020 dan menjual pelbagai jenis produk korea dan beberapa produk mancanegera. Tempatnya mungkin saja di dalam sebuah Mall, atau bisa juga satu gedung sendiri.
Karena gue membayangkan supermarketnya baru buka, jadi, gue sama sekali tidak mencari tahu terlebih dahulu. “Oke, gue ikut.” balas gue, singkat. Gue buru-buru mandi karena Rico hanya memberi gue waktu sebanyak 20 menit untuk bersiap-siap.
Selesai mandi, gue langsung memberi kabar bahwa gue sedang jalan ke lokasi penjemputan. Selang dua menit kemudian, mobil dengan plat Palembang tersebut berhenti di depan gue. Gue membuka pintu belakang dan masuk ke dalamnya. “Mana Jordi?” tanya Rico.
“Lagi beli rokok,” jawab gue, sambil mengatur posisi duduk senyaman mungkin. Melihat Jordi sepertinya masih lama, gue izin untuk mengambil uang di ATM.
“Ya udah, gue jemput Sintia dulu,” kata Rico.
Sepakat, gue pun keluar dan berjalan menuju ATM yang jaraknya hanya beberapa langkah dari tempat gue turun.
Selang 5 menit kemudian, mobil Rico berhenti di depan titik penjemputan. Gue dan Jordi menyebrang dan buru-buru masuk karena tidak ingin membuat jalan menjadi macet.
“Aduh, Oppa. Udah siap belanja?” ledek Rico dengan nada bercanda.
Julukan “Oppa Korea” sebetulnya bukan hal baru buat gue. Gue mendapat julukan tersebut akibat mengubah gaya rambut saat semester tiga. Yang awalnya tidak berponi, menjadi berponi.
Berponi saja tentu tidak cukup. Yang menjadi faktor utamanya adalah gaya “poni lempar” yang mirip seperti aktor korea.
Karena sudah terbiasa, gue enggak menganggap serius perkataan Rico karena bagi gue itu hanya sebuah candaan. “Udah, dong. Tapi nanti gue nitip barang di elu, ya, Co. Gue lupa bawa tas,” balas gue dari kursi belakang.
“Emang lu mau beli apaan?” tanya Rico, penasaran.
“Sampo, pengharum ruangan sama snack. Sisanya lihat nanti.”
Di perjalanan, kepala gue terus membayangkan seperti apa supermarket yang akan kami kunjungi. Apakah di sana ada produk yang gue cari? Jika di sana hanya menjual produk korea, lalu apa yang akan gue lakukan? Pulang dengan tangan kosong atau pulang dengan membawa produk apapun yang gue kenali, seperti mie instan?
Mobil yang gue tumpangi pun mulai masuk ke areal parkir. Di sini gue merasa ada yang janggal ketika Rico mematikan mesin mobilnya. Mata gue menatap sekitar dengan tatapan curiga. “katanya supermarket korea, Kok di tempat begini?” kata gue dalam hati.
Melihat Rico dan Sintia bersiap untuk keluar, gue hanya mengekor tanpa ada keinginan untuk bertanya. Rico menunjuk sebuah ruko yang ada di ujung jalan.
Rupanya yang kami datangi bukanlah sebuah supermarket besar seperti yang gue bayangkan. Melainkan ruko yang dijadikan sebuah toko kelontong dan ukurannya sedikit lebih besar dari minimarket Indoapril dan Alfajuli.
“Oke, gue enggak boleh men-judge dari luarnya saja. Gue harus masuk untuk melihat langsung dan penilainya bisa dipikirkan nanti karena yang gue butuhkan saat ini adalah belanja keperluan bulanan”, pikir gue dalam hati.
Sesuai aturan dan standar yang berlaku, sebelum masuk, setiap pengunjung harus diukur terlebih dahulu suhu tubuhnya menggunakan mesin yang ada di depan pintu masuk. Alat ukur yang digunakan oleh “supermarket” tersebut terbilang canggih karena mesinnya dapat bekerja sendiri.
Setelah suhu tubuh gue diukur, gue mulai berkeliling. Melihat rak demi rak yang ada di dalam “supermarket”. Mulai dari produk lautan seperti ikan sampai rak makanan instan.
Sesuai perkiraan, tempat ini secara khusus hanya menjual produk asal negeri gingseng saja. Karena tidak ada yang gue kenali, gue pun mendatangi Jordi yang kebetulan sedang mengantre dibagian makanan. “Lu beli apa, Jor?” tanya gue.
“Gue kayaknya mau pesan Tteokbokki. Lu mau sekalian pesen makan, enggak? Tadi katanya belum makan.”
“Boleh. Bentar,” kata gue sambil melihat menu yang sedang dipegang oleh Sintia. “Gue pesen Gimbab. Minumnya Ice Lemon Tea.”
Pesanan gue langsung dicatat oleh Sintia yang juga ingin membeli makan. Hati gue merasa cukup lega karena akhirnya menemukan sesuatu untuk dibeli. “Yah, setidaknya enggak pulang dengan tangan kosong”, pikir gue.
Kenapa Gimbab? Karena gue cukup sering melihatnya di drama korea yang gue tonton.
Sebenarnya masih banyak menu lainnya yang bisa gue pesan. Namun, sebagai orang Indonesia, gue perlu makan nasi sehingga pilihan gue akhir jatuh kepada Gimbab. Karena tempat ini tidak menyediakan meja dan kursi, sehingga semua pesanan langsung dibungkus.
Buat yang belum tahu, Gimbab merupakan nasi yang digulung dan dilapisi rumput laut. Biasanya menggunakan isian yang terdiri dari kepiting, telur, ketimun, wortel dan acar.
Yang unik dari tempat ini adalah Gimbabnya dibuat langsung oleh Ahjumma—sebutan formal untuk bibi atau wanita paruh baya yang sudah menikah—sehingga rasanya enggak beda jauh dengan yang di korea sana.
“Hari ini lemon tea-nya sedang tidak ada. Mau ganti?” tanya bibi tersebut.
“Saya air mineral saja,” jawab gue.
“Air mineralnya ada di sebelah sana,” bibi itu menunjuk kulkas di dekat rak buah-buahan. Sementara Jordi dan Sintia mengurusi makanan yang kami pesan, gue berinisiatif mengambilkan minuman untuk mereka berdua.
Gue sempat kesulitan saat mencari air mineral karena di dalam kulkas tersebut yang gue lihat hanya ada minuman kaleng berwarna-warni dan juga beberapa minuman botolan yang tidak gue kenali merk dan tulisannya.
Melihat gue kebingungan, Rico pun menghampiri gue dan bertanya, “nyari apaan lu?”
“Enggak ada air mineral,” kata gue.
“Masa?” lalu dia membuka pintu kulkas itu dan mengambil satu minuman kaleng.
“Itu air mineralnya?” tanya gue.
“Ini? Ya enggak, lah. Ini kopi. Cobain, Za. Enak.” Jawabnya, penuh percaya diri.
“Enggak, ah. Kan, gue mau makan. Ya kali minumnya kopi.”
“Pesan apa, lu?” tanyanya, sambil mencari sesuatu di dalam kulkas. “Nih,” tangannya menyerahkan minuman dalam kemasan botol sebelum gue sempat menjawab.
“Gimbab.” Gue membaca ingredients yang ada di kemasan tersebut. Benar saja, yang gue pegang adalah air mineral. “Makasih, Co,” sambung gue. Maklum saja, gue belum pernah lihat produk air mineral korea. Hehe.
Sebelum dibantu, gue sempat berpikir akan menemukan air mineral yang biasanya ada di warung gitu. Ternyata perkiraan gue salah. Tempat ini betul-betul hanya menjual produk negeri gingseng saja.
Setelah membayar minuman, kami langsung mencari tempat yang sepi dan jauh dari keramaian.
“Ini punya lu,” Jordi memberikan pesanan gue.
“Makasih, Jor,” kata gue.
Berhubung ini akan jadi pengalaman pertama gue nyobain Gimbab, gue memerhatikan makanan tersebut dengan lekat. Saat digenggam, tanpa perlu membuka bungkusannya gue bisa langsung tahu bahwa Gimbab ini berukuran besar.
Secara visual, Gimbab ini kelihatan mirip dengan Sushi dari Jepang. Lalu apa bedanya Gimbab sama Sushi? Yang membedakan adalah isian dan bumbunya.
Karena sudah lapar banget, gue pun membuka bungkusannya dan mencoba satu potong. Setelah suapan pertama, dalam hati gue berkata, “kalau porsinya sebesar ini mah, kayaknya gue enggak perlu masak untuk makan sore lagi.”
“Gimana? Udah kangen Korea belum?” ledek Rico.
Ucapan Rico itu langsung membuat gue tersedak. Gue segera meraih air mineral di samping tempat gue duduk dan menenggaknya. “Sialan,” balas gue, tergelak.
Puas tertawa, gue lanjut melahap makanan yang ada di tangan. Selang beberapa menit kemudian, Rico datang dengan sebuah gagasan baru yang cukup aneh.
“Gimbab lu cocok tuh digabungin sama punya Jordi”.
“Ah, masa?” tanya gue, tak percaya.
“Iya, Za. Cobain aja. Enak, kok.” Sambung Sintia.
“Punya lu spicy, kan, Jor?” tanya Rico.
“Gue pesan yang original. Tadinya mau coba spicy, tapi kata Sintia pedes banget. Jadinya gue ganti,” jawab Jordi.
“Mau nyoba enggak, Za?” tawar Jordi kemudian.
Tentu saja gue tidak yakin dengan usulan Rico. Karena dilihat dari sisi mana pun, mencampur nasi gulung dengan kuah Tteokbokki yang mirip seperti saus sardine kalengan itu menurut gue sudah cukup aneh.
Tapi karena Jordi mengajak gue untuk barter, tanpa berpikir panjang gue langsung menyetujui ajakan tersebut. Lagipula gue juga penasaran dengan Tteokbokki ini.
Berbeda dengan Gimbab, Tteokbokki adalah makanan yang paling sering muncul atau sering dikonsumsi di drama korea yang gue tonton.
“Oh, jadi seperti ini rasa Tteokbokki,” kata gue dalam hati. Teksturnya sedikit kenyal. Untuk rasa, gue enggak bisa komentar karena baru pertama kali mencoba.
Begitu juga dengan Gimbab yang gue pesan. Gue tidak bisa mengatakan ini enak atau enggak karena belum punya pembandingnya. Kedua makanan ini boleh dibilang lumayan karena cocok di lidah gue. Kalau disuruh menghabiskan, gue rasa, gue sanggup melakukannya.
Yah, walau pun gue batal belanja keperluan, paling tidak gue pulang dengan membawa pengalaman baru: mencicipi kuliner korea.
Demikian cerita pengalaman tak terlupakan tentang Supermarket dan Kuliner. Gue tidak akan pernah lupa pernah diajak ke sebuah “supermarket” yang ternyata hanya menjual produk atau brand dari korea saja.
Gue juga tidak akan melupakan pernah mencicipi kuliner korea asli walaupun belum pernah mengunjungi negaranya langsung. Yah, doakan saja semoga gue punya rezeki dan bisa mengunjungi negeri gingseng secara langsung!