Bulan lalu banyak kejadian menarik juga mengesankan yang menghiasi hari-hari gue di bulan Oktober. Sebut saja Octofest. Mereka jadi pengobat rindu di kala gue sedang merindukan suasana rumah. Meskipun mereka bukan keluarga kandung, paling tidak suasana yang mereka ciptakan sudah cukup untuk mengobatin hal-hal kecil yang gue rindukan dari kampung halaman gue sendiri: duduk bersama sambil menyantap hidangan hasil olahan tangan seseorang yang gue sebut mama.
Selain Octofest, ada satu lagi kejadian menarik yang nggak bisa gue lupain begitu saja. Masih berbau festival, namanya Binus Festival. Dari namanya saja kita sudah tahu kalau acara ini dibuat oleh Universitas Swasta ternama di Ibukota.
Gue pernah berandai-andai, bermimpi ingin bisa menikmati makanan yang harganya mahal, yang rasanya bisa menggetarkan lidah tanpa harus ngeluarin uang sepeser pun. Awalnya gue berpikir, ah, nggak mungkin bisa. Kalau mau makan enak itu harus ngeluarin uang. Namun pada suatu hari, impian yang selama ini gue anggap mustahil betul-betul terjadi. Di sini, di acara Binus Festival, makanan enak yang harganya cukup untuk mencengkik saku anak kost itu bisa di nikmatin secara gratis. Mengusung konsep All You Can Eat.
Gue adalah penyuka gratisan. Ya, gue yakin semua orang juga suka sama yang namanya gratis. Apapun itu, selama gratis, gue akan berusaha mendapatkannya. Bagaimana pun caranya. Termasuk minta tolong sama seseorang supaya mendaftarkan nama gue.
Baca Juga: Globalicious
Jadi ceritanya bermula ketika Irwan mengirimi gue pesan. Dia menanyakan gue ikut acara di Serpong atau tidak. Gue yang sama sekali tidak tahu soal informasi tersebut besoknya melapor ke atasan. Ketika di konfirmasi, gue harus menyerahkan data diri terlebih dahulu sebelum mendapat undangan acara.
Sayangnya ketika ingin mendaftar catatan tersebut sudah di serahkan ke panitia penyelenggara acara. Gue hampir putus asa karena kesempatan untuk ikut acara tersebut sirna. Kaki gue lemas. Pijakkan gue melemah. Gue duduk terjatuh di kursi kantor. Tatapan gue nanar. Satu notifikasi masuk. Pesan masuk dari seseorang. Menampilkan nama orang yang gue kenal, Andre.
“Jak, lu kerja sampai jam berapa?” tanya Andre melalui pesan singkat.
Pesan singkat itu memberi gue petunjuk. Harapan. Gue masih punya kesempatan. Mungkin Andre adalah malaikat penyelamat yang diutus untuk menyelamatkan gue dari keputusasaan. Jemari gue menari dengan lincah di atas papan keyboard Android. “Gue sebentar lagi mau selesai, nih. Soalnya ada kelas BNEC.” Kata gue. “Oya, Ndre, gue boleh minta tolong sesuatu, nggak?”
“Boleh. Minta tolong apa, Jak?” tanyanya.
“Tolong tanyain bang Tito dong, pendaftaran untuk acara Bifest masih di buka nggak, ya?” tutur gue. “Gue tadi kan mau daftar, terus kata Ko Alvin datanya sudah di serahin sama bang Tito.”
Ko Alvin adalah nama atasan gue. Dan Andre yang gue ceritain saat ini adalah teman gue yang pernah gue ceritain di postingan Meetup Nggak Tahu Malu. Kalau kalian belum kenal dia, saran gue cek postingan beberapa bulan yang lalu.
“Kata Kak Tito waktu itu, kemarin batas pendaftarannya, Jak.”
Mampus. Pupus sudah harapan gue untuk ikut acara di Serpong nanti.
“Ntar gue coba tanyain lagi deh sama Kak Titonya.” Tambah Andre.
Gue hampir menenggak Asian Dolce latte kalau saja Andre tidak meneruskan kata-kata yang sudah di ujung jemarinya itu. Lalu apa hubungannya sama Asian Dolcolatte? Karena kenyataan dan rasa dari minuman tersebut sama-sama memiliki arti dan kecocokan yang serasih: pahit. Benar-benar mewakili perasaan gue pada saat itu seandainya Andre tidak menekan tanda send pada hapenya.
Besoknya Andre datang membawa kabar gembira. Masih dengan cara yang sama, dia menghubungi lewat pesan singkat karena kita berdua sama-sama tidak punya waktu untuk bertemu. Sesuai janjinya, dia mendaftarkan nama gue untuk acara di Serpong.
Singkat cerita, hari yang di tunggu-tunggu pun tiba. Gue harus mengorbankan kesempatan juga waktu untuk teman-teman gue khususnya yang jauh-jauh datang dari Alam Sutera ke Kemanggisan, dan memilih untuk ikut acara Binus yang diadakan di Serpong. CV mendengus keras malam itu ketika mendengar keputusan gue yang lebih memilih acara tersebut daripada dia yang sudah bela-belain datang ke Kemanggisan. “Giliran aku di Alam Sutera, kamu nyuruh aku buat ke sini. Pas aku di sini, kamu ke sana.” Protes dia kesal.
Gue cuma bisa tertawa. Bingung bagaimana harus menanggapi ucapannya barusan. Sebab keduanya sama-sama penting bagi gue. Pada kesempatan kali ini gue terpaksa harus jadi egois.
Gue mengirimkan pesan ke Tedy. Menanyakan keberadaannya pada pagi itu. Setengah jam tak mendapat balasan dari Tedy, gue mengirim pesan ke Irwan. Berharap dia membalas dengan cepat.
Irwan tak kunjung membalas pesan yang gue kirimkan padanya. Gue semakin panik. Bingung. Apalagi pagi itu langit Jakarta sedang menangis. Pada saat-saat kritis, Tedy membalas pesan yang gue kirimkan padanya setengah jam yang lalu.
“Lu di mana?” balas dia. “Gue sama teman-teman gue tunggu di Lawson, ya?”
“Oke.. gue ke sana sekarang.” Balas gue. Pada saat ingin bergegas menuju Lawson, gue sadar kalau ada sesuatu yang kurang. Kunci sama gembok kamar gue hilang pada waktu yang bersamaan. “Sial!” kutuk gue.
“Cepat Jak,” pesan Tedy.
Gue nggak membalas pesan yang dikirimkan Tedy.
“Ah, ini dia!” gumam gue. Lalu menyusul Tedy dan teman-temannya yang sudah lebih dulu di Lawson.
***
Dari Kemanggisan kami di bawa dengan kendaraan yang sudah di siapkan oleh Binus. Sebuah bus mengantar kami menuju lokasi acara yang letaknya di Binus Serpong. Salah satu cabang milik Binus. Gue sama sekali belum pernah mendengar yang namanya Binus Serpong. Mungkin yang di Serpong baru di buka seperti Binus Bekasi, pikir gue.
Bus yang di tumpangin berhasil mengantarkan kami dengan selamat di Bumi Serpong Damai. Gue baru menyadari, bahwa yang di Serpong bukan lah sebuah Universitas seperti yang gue bayangkan sebelumnya, melainkan sebuah sekolah yang dengan standar Internasional.
Satu persatu penumpang turun. Di arahkan menuju tempat registrasi. Setelah registrasi dengan menempelkan Binusian Card ke mesin Card Reader, kami diberi semacam souvenir yang awalnya gue kira adalah sebuah tempat pensil. Tangan kami juga dibubuhi oleh cap yang gambarnya 35th Binus.
Setelah semuanya diberi cap, gue dan teman-teman dari bagian Team Promotion Binus melakukan salam tos sambil meneriakkan yel-yel, “Followup… TP!” ke udara.
Semua orang melirik ke arah kami dengan tatapan aneh. Kami tidak menghiraukan pandangan mereka dan masih asyik dengan dunia kami sendiri. Terserah mau di bilang aneh atau bagaimana, karena kami sudah tidak peduli lagi dengan penilaian orang-orang tentang kami.
Kami di arahkan menuju panggung utama. Di panggung utama acara belum di mulai sama sekali. Bahkan MC dari acara besar ini saja masih latihan. Sementara departemen lainnya sedang mempersiapkan segala macamnya.
“Keliling yuk?” usul gue.
“Ayok.” Balas mereka setuju.
Penjelajahan pun di mulai. Kami bersebelas menyusuri setiap sudut gedung Binus Internasional School. Dua hal yang gue garisbawahi dari sekolah ini, LUAS dan BESAR. Di dalam sekolah ini juga terdapat kolam renang dan taman bermain anak. Wow!
Penjelajahan yang kami lakukan tidak hanya berbuah lelah, tapi juga menarik karena kami menemukan lokasi untuk tenant-tenant makanan mahal. Berbeda dari dua spot sebelumnya, spot yang satu ini tempatnya bisa dibilang cukup tersembunyi. Jauh dari ke ramaian dan juga jangkauan orang-orang karena akses menuju ke tempat itu di tutup.
Usai berkeliling, kami pun kembali ke tempat semula. Mengincar beberapa tenant yang menyediakan makanan kecil seperti Pempek, Donat dan Ice Cream Singapore. Bukan cuma makanan kecil, di spot ini terdapat beberapa makanan besar seperti: Nasi Padang, Sate Kambing, Lontong Medan, Soto dan lain-lain.
Yang gue incar sejak pertama datang ke sini adalah Sushi. Namun antreannya yang panjang membuat gue berubah pikiran. Dari tenant Sushi gue beralih ke tenant bakmie yang letaknya tidak jauh. Satu kali antre gue bisa mengambil tiga bungkus bakmie yang langsung gue oper ke belakang di mana teman-teman gue sudah menunggu. Licik memang, tapi kami memang harus menghabiskan makanan yang ada di tiap tenant. Buktinya saja kami diberi souvenir berupa tas. Gue baru menyadari fungsi dari tas tersebut setelah beberapa kali melihat orang-orang antre sambil menggandeng tas tersebut di pundak.
Kami berbagi tugas. Ada yang mengambil makanan di tenant makanan luar, ada yang mengambil makanan di tenant makanan kecil dan ada juga yang tugasnya menjaga makanan yang sudah kami kumpulin.
Mengingat badan gue yang kecilnya kebangetan di antara kerumunan orang yang lagi antre, gue bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang bertubuh lebih besar dari gue. Dengan cara seperti ini, kami berhasil mengumpulkan banyak makanan. Sayangnya ada beberapa makanan tidak bisa di bawa pulang dan harus di makan di tempat seperti pempek dan lain-lain. Karena gue penyuka pempek, akibatnya perut gue lebih dulu penuh dibanding mereka. Gue nggak sanggup lagi melanjutkan makan. Padahal malam sebelumnya gue sengaja ngosongin perut supaya bisa memuat lebih banyak makanan.
Hujan kembali mengguyur Bumi Serpong Damai. Membubarkan kerumunan orang-orang yang lagi ngantre. Ada juga yang tetap memaksakan diri menunggu di barisan antrean. Bergelut dengan hujan yang turun dari langit.
Perut gue memang sudah penuh. Tapi nafsu berhasil menguasai jiwa dan raga. Memaksa gue bergelut dengan guyuran hujan dan orang-orang yang sedang dikuasai oleh hawa nafsunya sendiri.
Selain makanan gratis, di sini juga terdapat minuman gratis. Starbucks dan Chatime salah satunya. Mereka menyediakan minuman gratis bagi siapapun yang berbaris dengan tertib.
Setelah memuaskan nafsu dan perut masing-masing, kami pun izin pulang sama salah satu atasan dari tim promotion. Meskipun dia bukan atasan gue, tapi izin darinya sudah cukup untuk membulatkan tekad kami untuk pulang ke rumah masing-masing.
Pada akhirnya uang kami keluar juga. Tadinya kami pikir uang kami tidak akan keluar sereceh. Pada kenyataannya justru keluar di saat-saat terakhir. Andai kami menunggu lebih lama lagi di sana, pasti tidak akan keluar uang. Hujan dan baju basah membuat kami tidak punya pilihan selain pulang jika tidak ingin masuk angin dan berujung dengan terbaring di kamar kost dalam keadaan lemas tak berdaya.
Sudah satu bulan berlalu dan gue merindukan acara seperti Binus Festival. Sering-sering aja bikin acara seperti ini supaya gue bisa memperbaiki gizi. Hoho.
seru yaa gan acaranya.. makin sukses dah
Wah, seru sekaliii acaranya, keren2!!
Rumah gue deket banget ini dari Binus Syahdan. Yoi, gue anak Kemanggisan. Ehehe. Nongkrongnya di Lawson sebelah Binus tuh? Wih.
Oiya, kalo soal gratisan. Ya, gue juga pencinta gratisan. Cara lainnya bisa dengan jadi partner kondangan temen. Gak apa-apa gandengannya cowok. Yang penting makan gratis! Muahaha.
Gue baru tau kalau ada Binus yang di BSD. Norak sekali. :(
Wii anak kemanggisan, men! Iya, biasa nongkrong di Lawson sebelah Binus.
Sama, gue juga baru tau kalau di BSD ada Binus.
Wah asik bener ya emang dari kampus jadi dikasih transpportasi sendiri. Gue malah baru thau ada binus di BSD. Di mananya sih? .._.
Di BSDnya, Di. Gue juga kurang tau letak persisnya di mana. Soalnya gue orang baru. Hohoho
Ikutan dong kalau ada acara begini lagi.
Haaa gratisan di daerahku sering ada sih festival, tapi kebanyakan bukan gratisan
Penulisan alur yang mengalir, berasa larut di dalamnya.