“Nanti malam jadi, nggak?” tanya gue.
“Jadi. Mending sekarang kumpulin uangnya dulu,” jawab Rico. Dia masih berusaha membujuk gue dari tempat duduknya kala itu yang persis bersebelah sama gue saat kami sedang ada kelas kecil. Dia sudah seperti bendahara GePeEl yang kerjanya nagih uang iuran untuk yang ingin ikut acara nanti malam.
“Waduh…, gue masih belum tahu ini bisa ikut atau enggak. Soalnya hari ini gue mau kerja.”
“Mending lu setor uangnya dulu, kalau seandainya nggak bisa dateng, nanti kita ganti uangnya.” Bujuk dia.
Gue masih menimbang-nimbang ketika Rico memberikan penawaran serta solusi terbaik yang terpikirkan olehnya waktu itu. Begitu keputusan gue sudah bulat, gue menyerahkan uang tersebut kepadanya. “Terima kasih atas kerjasamanya saudara kambing,” kata Rico setelah menerima uang dari gue. Entah datang darimana julukkan tersebut dan siapa pembuatnya, yang pasti gue sudah mendapat julukkan tersebut pada masa FEP.
“Sialan lu!” omel gue tidak terima disebut dengan julukkan tersebut.
Rico terkekeh melihat gue protes karena tidak terima dengan ucapannya barusan.
***
Sebentar lagi gue pulang. Yang lain sudah pada di sana belum? Tanya gue lewat grup chatting.
Belum semua. Tapi yang hadir sudah banyak. Balas seseorang.
Oke, sudah ini gue pulang ke kost, ganti baju, lalu ke sana. Balas gue lagi.
Setelah pesan tersebut terkirim, gue membereskan meja kerja dari bungkusan plastik bekas snack yang gue beli di minimarket di seberang kampus. Kerja di ruangan ber-ac sambil nelponin orang-orang cukup menguras tenaga siapapun yang terlibat di dalamnya. Apalagi pada saat itu gue hanya mengenakan kemeja lengan pendek.
“Ko, Ci, aku pulang dulu, ya?” pamit gue kemudian dengan atasan.
“Iya, hati-hati di jalan ya Reza,” balas mereka yang ada di dalam.
Gue tersenyum simpul.
Baca Juga: Terbius Oleh Senyum
Tak ingin membuat yang lain lama menunggu, gue mempercepat derap kaki sebatas yang gue bisa. Setibanya di kost, gue cuma ganti baju lalu bersiap ke lokasi acara yang letaknya tidak jauh dari tempat gue ngekost.
“Kalian belanja apa saja tadi?” tanya gue dengan nafas terengah-engah. Sepertinya lari bukanlah ide yang bagus mengingat mereka baru saja habis dari belanja bahan-bahan serta perlengkapan untuk acara malam ini ketika gue sampai di Sekre.
“Itu, liat saja sendiri.”
Gue menukar pandang ke yang lain. Sudah ada ayam, bakso ikan, sosis, kecap dan masih banyak lagi bahan-bahan yang mereka beli dari pasar modern. “Tenang Za, semuanya halal kok,” tambah Willy.
Gue mendegus keras, merasa sedikit kesal karena mereka salah mengartikan maksud pertanyaan gue. “Bukan halal haramnya yang gue tanyakan, gue pengen tahu apa saja yang habis kalian beli tadi. Itu saja.” Komentar gue.
“Ohh…,” kata Willy dengan nada empat ketukan. “Ada sosis, ayam sama bakso ikan.” Balas Willy kemudian begitu paham dengan maksud pertanyaan gue.
“Sip.” gumam gue pendek.
Dalam rangka menyambut datangnya bulan Oktober kami membuat sebuah acara yang kami beri nama Octofest atau October Festival. Tentu bukan sekedar untuk menyambut datangnya bulan Oktober saja, tapi sekaligus merayakan hari kelahiran salah seorang anggota keluarga GePeEl, Hartono atau akrab di sapa Ahong.
Saat orang-orangnya sudah dikumpulkan, kami semua bergerak berbagi tugas dan menyiapkan segala macamnya untuk mensukseskan acara malam ini. Ada yang bersihin tusuk sate, ada yang memisahkan sosis dari plastik yang membungkusnya dan ada juga yang mencuci bakso ikan dengan air bersih.
“Ini, kalian bawa ke atas.” Kata Ivan, memberikan bakso dan sosis yang siap untuk di bakar.
“Kalau saya yang bakar, berarti saya yang pertama kali makan, ya?” kata Jordi.
“Iya, atur saja.”
“Asik!” seru Jordi dan Ahong saat mendengar kabar gembira tersebut. Mereka berdua mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan makanan tersebut jadi makanan yang siap untuk di makan. Jordi dan Ahong kemudian pergi ke atap tempat di mana kami mendapat izin untuk bakar-bakar. Sementara mereka berdua naik ke atas, kami lanjut menusuk sate dan sosis yang masih tersisa.
Setelah selesai dengan sosis-sosis tersebut, kami membereskan sisa-sisa sampah dari bahan makanan yang kami bersihkan, lalu menyusul mereka ke atap. Ketika sampai, mereka berdua sedang memanaskan panci. Ada CV yang sedang meracik bumbu untuk BBQ-nya.
Setelah panci tersebut panas oleh bara api dari kompor portable, Jordi meneteskan bumbu yang habis diracik oleh tangan CV dengan sedok untuk menguji seberapa jauh api memanaskan panci tersebut. Setelah yakin dengan tingkat kepanasan dari panci tersebut, dia meletakkan beberapa tusuk sosis di atas panci. Pada percobaan pertama, sosis yang di letekkan pada panci tersebut memiliki tingkat kemantangan yang kurang pas. Objek pertama gagal. Pada percobaan kedua Jordi menaikkan volume kompor tersebut yang berarti akan menghasilkan api yang cukup besar.
Percobaan kedua masih gagal. Pada percobaan selanjutnya volume dari api kompor tersebut diturunkan ke level medium. Hasilnya cukup membanggakan walaupun ada beberapa potong yang kurang matang.
Acara yang kami selenggarakan berjalan dengan kurang maksimal akibat minimnya penerangan di tempat itu. Kami bahkan terpaksa mengandalkan penerangan dari lampu senter yang ada pada ponsel canggih saat ini. Bergantian satu sama lain karena memiliki kepentingan yang berbeda. Pada saat kita sama-sama sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing, tak jarang sosis juga bakso yang sedang di bakar tersebut terabaikan. Kalau saja juru masaknya tidak protes, sosis juga bakso tersebut bisa saja gosong karena kurang mendapat perhatian dari tangan sang jurumasak dan penikmatnya. Layaknya manusia, makanan juga membutuhkan perhatian dari jurumasak dan penikmatnya jika ingin mendapatkan kualitas rasa yang terbaik. Sebaliknya, jika kurang mendapat perhatian seperti kurang asupan cahaya, dia akan menuntut balas: mengeluarkan citarasa yang tidak diinginkan oleh lidah manapun.
Baca Juga: Meetup Di Tengah Inagurasi
Ego menguasai kami.
“Eh, lampunya, Pak.” Komentar Jordi.
“Sebentar-sebentar,” balas gue masih asyik dengan dunia sendiri. Setelah menyelesaikan urusan, gue memberikan perhatian lewat cahaya dari lampu senter yang ada pada ponsel gue.
Setelah dirasa cukup dengan sosis dan bakso, selanjutnya kami membakar beberapa potong ayam. Potongan pertama akan menentukan peluang keberhasilan ayam tersebut matang dengan sempurna. Waktu itu lebih kurang ada 13 potong ayam. Jumlah yang bisa dibilang cukup untuk seluruh anggota GePeEl yang hadir.
“Gue pulang, ya? Besok gue ada kelas,” pinta Chelsea.
“Iya… sebentar ya Chel.”
Seseorang memberikan beberapa potong sosis dan bakso yang sudah di bakar kepada Chelsea. “Ini, mending lu makan dulu. Lu mau pulang, kan?” katanya.
“Iya.”
***
Air muka Ahong berubah jadi muram. Sepertinya dia merasa sakit ketika Jordi mengatakan sesuatu tentang matanya. Ahong tak membalasnya. Dia tetap mengerjakan apa yang menjadi tanggung jawabnya—mengiris-iris sosis yang ada di depannya. Mukanya yang saat itu ceria berubah dengan cepatnya saat Jordi mengomentari sesuatu tentang matanya. Wajar saja, barusan Jordi meledeknya terlalu keras. Terlalu dalam. Belum sembuh dari rasa sakit yang di sebabkan oleh ucapan Jordi, yang lain pun ikut-ikutan ngeledekin dia. Mengudarakan komentar-komentar pedas tentang diri Ahong.
“Hong, mending kau loncat sekarang juga supaya mata kau satu lagi itu sama seperti yang sebelahnya.” Komentar Jordi.
Berada di posisi ini membuat gue bingung. Seakan ingin tertawa, tapi tidak bisa. Ingin membela pun tak bisa karena ini bagian dari rencana kami untuk memberikan kejutan buat Ahong. Gue hampir saja tergelak dengan keras kalau saja gue tidak segera membekap mulut gue dengan tangan.
Ivan terus mengirimkan pesan ke gue, meminta Jordi supaya terus manas-manasin Ahong dengan komentar-komentar pedas. Sampai pada akhirnya mereka semua naik, membawa kue ulangtahun serta menyayikan lagu ulangtahun untuknya. Ahong terkejut. Muka murungnya seketika berubah jadi cerah.
“Maaf ya Hong kalau kata-kata kita barusan menyakiti perasaan kau. Sebenarnya kita itu sengaja manas-manasin kau buat ini.”
“Bercanda… bercanda… tadi itu Jordi serius ngomong begitu ke elu, Hong.” Komentar seseorang.
Muka Ahong nampak bahagia di balik remangnya cahaya lilin. Seperti tanpa beban. Mungkin dia sudah memaafkan kata-kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu. Setelah lilin-lilin itu di tiup sebagaimana mestinya, kue itu di simpan di tempat yang cukup aman.
Baca Juga: Keluarga Baru
Sebelum menyatap hidangan yang ada di depan mata, seseorang memimpin doa makan, sekaligus medoakan salah seorang anggota keluarga kami; di GePeEl yang sedang berulang tahun. Setelah memanjatkan doa-doa, kami menyantap hidangan yang sudah terhidang di hadapan kami. Meski sebagian ada yang belum matang dengan sempurna, setidaknya makanan ini diolah dengan cinta dan di makan bersama-sama. Walaupun rasa dari makanan tersebut tidak sepenuhnya memuaskan lidah, setidaknya makanan ini dapat memuaskan hati. Meski mereka bukan keluarga kandung, setidaknya ini cukup untuk mengobati kerinduan gue akan suasana makan bersama sekeluarga.
kumpul-kumpul sama temen tuh acara paling seru, walaupun kadang cuman becanda ga jelas hahaha
wedewww asik ni kumpul2, ajak2 gue lahh
Boleh… sini sini… wkwkwk
ini komen gue uda masuk belum si -_-
Sudah kok XD